Monday, November 27, 2006, posted by Van Elki at 23:39
JENIS mobil sedan merek BMW tahun 1993 itu sudah sering saya lihat di jalanan. Tapi masuk ke dalamnya, adalah hal yang belum pernah saya lakukan seumur hidup. Mobil paling mahal yang saya tumpangi paling hanya sekelas Opel Blazer, itu pun milik bos. Sedangkan yang pernah saya kendarai paling mewah hanya sekelas Kijang Innova, itu juga milik kantor. Tapi Sabtu sore itu, akhirnya saya dapat kesempatan menaiki BMW.

Seorang kawan lama yang baru seminggu melangsungkan pernikahan, mengajak saya untuk bertemu. Dia adalah kawan satu kos saya saat kuliah dulu. Saya terpana, ketika tahu ternyata dia membawa sebuah mobil sedan BMW buatan tahun 1993 yang dia klaim miliknya. Rasa kaget coba saya tutupi. Saya terpana karena proses “kemajuannya” saya anggap cukup cepat. Sebagai kawan sekos-nya dulu, saya merasa terkalahkan.


TIGA minggu sebelum hari resepsinya, kabar rencana pernikahannya sudah saya dengar dari orang lain. Banyak kawan bertanya, apakah saya juga diundang dalam acara resepsinya. Nyatanya, sampai satu hari sebelum hari H, undangan belum juga sampai di tangan saya, atau setidaknya pesan singkat via handphone pun juga belum masuk.

Tiadanya undangan, membuat bathin saya bergolak. Mengapa kawan satu ini, tak menghubungi saya. Padahal saya dulu kawan satu kosnya. Kawan yang dia anggap amat berpengaruh dalam hidupnya. Kawan yang dia anggap telah menjerumuskannya dalam dunia yang di kemudian hari mengkatrol eksistensinya di belantara politik nasional.

Apakah saya sudah dilupakannya. Apakah saya bukan dianggap kawan yang tak punya arti penting lagi baginya. Apa mentang-mentang dia mampu mendatangkan seorang petinggi salah satu partai politik terbesar di Indonesia untuk menjadi saksi dalam akad nikahnya. Semua pertanyaan bernuansa eksistensi lain muncul di benak saya.

Tapi malam menjelang hari H resepsinya, akhirnya saya putuskan menghubunginya via telepon. Saya lepaskan perasaan-perasaan ego saya kepadanya. Meski dalam percakapan, kata makian dan sindiran bernada jenaka tetap saya lontarkan untuk maksud menyudutkannya akibat ia tak mengundang saya. Akhirnya kata maaf terlontar dari mulutnya.

“Ya udah deh, gua minta maaf. Tapi awas, kalo lu sampai gak datang Fan, gak berkawan lagi kita. Gua gak butuh lo bawa apa, yang penting gua bisa lihat batang hidung lo di hari pernikahan gua,” ancamnya kepada saya. Tak lama usai meneleponnya, sebuah SMS undangan dari nomor HP-nya masuk ke HP saya. Sebagai tanda bahwa ia menguatkan ancamannya.

Usai menelepon, saya pun memantapkan diri untuk datang ke acara resepsinya. Tapi problemnya, apa yang akan saya bawa sebagai kado untuk pernikahannya. Setelah berpikir sana-sini, saya tetapkan untuk memberikan sebuah kado. Karena kado dapat tahan di makan zaman. Bukan angpaw, yang amat miskin nilai sejarahnya.

Berbekal keahlian sedikit menguasai program Adobe Photoshop, serta diramu kemampuan sedikit dalam merangkai kata, akhirnya jadilah sebuah kado berupa kreasi antara gambar dan kata-kata yang dikemas dalam sebuah bingkai photo ukuran 10 R.

Saya ingin tampilkan kado kreasi saya itu dalam blog ini. Tapi karena ini privasi, jadi saya tampilkan teksnya saja. Inilah teksnya;

Selamat Jalani Hidup Baru... Kawan...

Belum sirna dari ingatan ku...
Manakala megaphone tak pernah bosan menyaringkan suara kita...

Belum hilang dari ingatan ku...
Betapa gas air mata, pernah amat memedaskan mata kita...

Masih segar di ingatan ku...
Saat jalan Cendana, Teuku Umar, Taman Suropati, Diponegoro, menjadi rute marathon kita...
Masih ingat dibenak ku... Ketika kau bertanya,
“Kenapa harus bentrok Fan..?”

Ya... dulu... peluh keringat, darah dan air mata,
pernah kita peras untuk satu cita...
“Indonesia harus bebas dari penindasan...”

Saat ini masa lalu tinggal kenangan...
Meski perjuangan, tak boleh jadi kenangan...
Perjuangan akan tetap melaju, selaju desah nafas kita...

Roda zaman pun semakin berputar...
Masa depan kita, sudah menunggu di beranda...
Bahkan bahtera rumah tangga,
Menanti untuk kita nakhodai...

Dan kini kau melesat bak Rajawali...
Yang telah berhasil menerkam Merpati...
Jaga dan rawat Merpati mu...
Sampai akhir hayat mu...

Bina bahteramu...
Jaga haluanmu, jangan oleng dihantam gelombang
Agar kelak, kau punya generasi pejuang dari darah daging mu...

Dan... agar kau bisa bercerita kepada anak cucu mu...
Bahwa kau pernah menjadi pejuang hebat
dan sekaligus “pelari hebat” dari jalan Cendana...
Selamat kawan...

Semoga bahtera rumah tanggamu...
Dapat kau bawa ke dermaga keabadian...
Jabat erat tangan ku di hari pernikahan mu...

Kawan se-Kos Mu di Gang Boentoe...
Fan el Kindy


SAYA ragu, seberapa penting arti kado saya ini buatnya. Apalagi saya berikan kado yang terbungkus rapi itu lewat satu minggu setelah resepsinya. Tapi saya tetap berikan kepadanya. Sore kado itu diterimanya, jam 11 malam, ia mengirim sms ke HP saya.

“Boy. Tks yah kadonya. Mantap. Gw bingung balasnya nich. Hehehehe... Hadiah seperti itu sangat sulit terlupakan. Tks kawan. Kalau kau menikah, kabari jauh2 hari sebelum matahari terbenam. Akan ku simpan dan ku rawat baik-baik (kado dari mu)....” katanya dalam sms.

Ya, siapa pun dia saat ini, dia tetap seorang kawan bagi saya. Meski cara pandang, dan pilihan politiknya barangkali banyak sudah tidak lagi sejalan dengan saya. Bahkan bisa jadi bersebrangan. Tapi toh sebagai seorang kawan, tali silaturahmi tidak lah boleh putus.

Dalam hal ini, persahabatan bung Karno dengan bung Hatta, adalah hubungan persahabatan yang patut diteladani. Meski keduanya secara politik pernah baku hantam, tetapi dalam urusan pribadi, keduanya tetap menghormati sebagai seorang kawan. Contohnya ketika Hatta datang menjenguk Soekarno yang sedang sakit.

Saat saya ketemu terakhir dengan kawan satu ini, pesan saya cuma satu kepadanya.

“Freind, lo boleh main manuver politik kaya apa pun. Karena itu pilihan lo... dan gua hormati itu. Apalagi lo dah berkeluarga. Tapi satu pinta gua. Jangan lo buat adik-adik kita yang masih idealis ini termoderasi semangatnya. Biarkan semangat mereka menyala seperti bara api. Tugas kita adalah menjaga bara semangat itu tetap membara di dada mereka. Dan jangan lagi diintervensi kepentingan-kepentingan pragmatis kepada mereka.”


BMW milik kawan saya itu masih nampak gagah sekali, meski buatan tahun 1993. Saya tak peduli, uang dari mana ia beli mobil itu, tapi saat saya pinjam untuk test mengendarainya, muncul obsesi untuk memilikinya juga. Manusiawi memang.

Untunglah, sebait tembang milik Iwan Fals mengingatkan saya. “Keinginan adalah sumber penderitaan...”. Di tambah, pengalaman berkunjung ke Aceh saat paska Tsunami melintas segera di kepala saya. Sebab sepulang dari sana, banyak pengalaman rohani yang amat positif dalam diri saya.

Pengalaman rohani itu pula, yang akhinya menyadarkan, bahwa kenikmatan mengendarai dan memiliki mobil BMW, tak seindah bila saya mempunyai kenikmatan di dalam hati, dan kenikmatan hidup dalam kesederhanaan. Ya, benar memang. Keinginan adalah sumber penderitaan.
 
Thursday, November 23, 2006, posted by Van Elki at 18:54
Sifat : Surat Terbuka.

Kepada Yth.
Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. (azyumardiazra@yahoo.com)
Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Di Ciputat

Hal: Surat Protes
STOP KEKERASAN DI UIN CIPUTAT

Bapak Rektor yang saya hormati…

Perkenalkanlah saya, Fan el Kindy, mahasiswa bapak, alumni Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. Saya masuk kuliah di UIN (doeloe masih IAIN) tahun 1997, dan lulus Maret 2004 silam. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya salah seorang alumni yang gelisah dan kecewa dengan kondisi UIN akhir-akhir ini. Di mana kebebasan berekspresi mahasiswa UIN mulai bapak berangus.

Maka itu, setelah membaca dan mendengar kronologi insiden kekerasan yang dilakukan oleh Satpam UIN terhadap mahasiswa-mahasiswa UIN yang sedang aksi damai pada hari Sabtu, 18 November 2006 lalu di dalam kampus UIN, dengan ini saya sampaikan surat pribadi saya kepada Bapak mengenai hal-hal di bawah ini sebagai berikut;

Sebenarnya saya bangga kuliah di kampus yang Rektornya adalah figur seperti bapak. Di mata publik, nama bapak amat familiar. Bahkan familiar bapak melebihi familiarnya nama kampus UIN sendiri. Sering saya mengenalkan diri dengan bangga kepada banyak orang, bahwa saya ini alumni UIN. Tapi amat banyak orang yang juga bertanya. “UIN itu di mana ya…?”. Kontan, kebanggaan saya hilang. Susah saya menerangkannya kepada mereka. Cuma satu cara mudah untuk menerangkannya. Saya katakan, “Itu lho… kampus yang Rektor-nya Bapak Profesor Azyumardi Azra, dan lebih banyak sering masuk TV ketimbang Rektor UI”. Dan baru akhirnya mereka tahu. Saya pun lega.

Nama bapak bukan hanya familiar… Tapi juga harum… Dimana-mana, bapak selalu tampil dengan statement-statement yang mewakili wajah Islam moderat. Wajah Islam yang tak garang. Dan wajah Islam yang penuh dengan kesejukan. Tapi itu kata orang pak. Bukan kata saya.

Kredibilitas dan komitmen bapak sebagai cendikiawan pun juga banyak mendapat apresiasi. Lantaran, gagasan-gagasan bapak dinilai pro “penegakan demokrasi dan HAM”. Bahkan salah seorang sesepuh saya pun, Pak Hendardi, juga percaya dan hormat dengan bapak, sehingga bapak diajaknya duduk sebagai Board pada lembaga barunya, Setara Institute.

Tapi hari ini, setelah mengetahui kejadian di hari Sabtu 18 November lalu, saya amat miris. Mengapa, kekerasan oleh Satpam bisa terjadi di kampus yang Rektornya justru di mata publik adalah pembela HAM, pembela demokrasi….?

Jika begitu, saya ingin tanya kepada bapak. Sandiwara apa yang sedang bapak mainkan di depan publik itu…? Apakah bapak tidak malu, di publik bapak seakan-akan sebagai seorang demokrat, tetapi dalam kampus, bapak ternyata adalah seorang diktator refresif..?

Mungkin bapak bisa saja menjawab, “oh saya tidak tahu itu. Itu urusan kepala keamanan.” Tapi apa pun itu, ingat, bahwa kejadian ini bukan yang pertama kali pak… melainkan yang kesekian kali… Jika bapak masih tidak tahu, waduh… kesuksesan kepemimpinan bapak sebagai Rektor UIN selama dua periode itu patut dipertanyakan.

Bapak Azyumardi, Rektor UIN yang terhormat… Saya juga bangga, bapak akhirnya berhasil memoles fisik kampus UIN yang dulu “rombeng" itu, kini tak lagi “rombeng”, bahkan teramat megah. Tapi kebanggaan saya menjadi luntur seketika, manakala ternyata hilangnya kebebasan ekspresi mahasiswa adalah harga yang harus dibayar atas kemegahan itu. Bahkan bukan hanya kebebasan ekspresi yang hilang, tapi bapak juga sudah menciptakan suatu budaya baru. Budaya yang akhirnya menggeser budaya khas UIN. Yaitu, budaya mahasiswa-mahasiswa kritis, berganti dengan budaya mahasiswa-mahasiswa hedon.

Dulu… mahasiswa UIN (IAIN) adalah mahasiswa yang bangga bila berjalan di dalam kampus sambil memegang buku-buku filsafat, sosial, politik, dan agama, dengan judul-judul terbaru. Semakin terbaru judulnya, semakin bangga para mahasiswa membawanya. Kini tradisi itu hilang sudah. Mahasiswa UIN lebih bangga berjalan di dalam kampus bila sambil memegang Handphone dengan model-model terbaru. Semakin baru mereknya, maka bangganya pun melonjak tidak ketulungan.

Dulu… di bawah pohon rindang, para mahasiswa senang berdiskusi tentang seputar problem-problem sosial yang hangat di masyarakat. Di bawah pohon rindang itu pula, mereka asyik berdebat menentukan dan merencanakan strategi aksi demonstrasi sebagai wujud tanggungjawab sosial mereka sebagai mahasiswa kepada masyarakat.

Kini bukan hanya pohon rindang itu yang hilang, tetapi juga diskusi-diskusi jalanan yang renyah itu juga hilang. Kalau pun ada diskusi, diskusi itu sudah berganti tema. Harga lipstik yang melambung. Harga velg mobil dan motor yang sudah melambung. Kini menjadi tema yang seksi didiskusikan.

Bukan hanya diskusi informal mahasiswa yang hilang. Diskusi formal juga mulai pudar. Sekian banyak aturan birokrasi bapak buat untuk menghambat akses kemudahan mahasiswa menggelar diskusi ilmiah formal di dalam kampus. Betapa sulitnya mahasiswa menggunakan ruangan. Dan betapa jelimetnya ketika organisasi ekstra bekerjasama dengan intra kampus mengadakan diskusi di dalam kampus. Bahkan belakangan mulai dilarang.

Ya… atas semua fenomena itu, bapak adalah orang yang paling bertanggungjawab. Saya yakin, dengan tradisi kampus seperti itu, ke depan UIN yang bapak “set-up” ini hanya akan melahirkan seorang intelektual “tukang,” dan cendikiawan “badut” belaka.

Bapak Rektor yang mudah-mudahan akan tetap terhormat di mata saya… dan di mata publik….

Demonstrasi, adalah bajunya mahasiswa pak. Mahasiswa tak pernah demonstrasi, berarti hakikatnya ia tak mengenakan baju. Mahasiswa dan demonstrasi punya sejarah panjang. Orde Baru pun lahir dari demonstrasi mahasiswa. Begitu juga ia tumbang dengan demonstrasi mahasiswa. Tanpa demonstrasi, mahasiswa tak punya eksistensi. Betul, kekayaan intelektual adalah kekuatan mahasiswa. Tapi tanpa demonstrasi, kekuatan intelektual itu hanyalah “kibasan pedang” di ruang kosong.

Betul, bahwa demonstrasi punya etika. Tapi kekerasan bukanlah jawaban untuk menghadapi demonstrasi yang menurut bawahan bapak itu, tidak beretika. Alasan Satpam juga manusia, yang punya rasa ketersinggungan bukan lah alasan. Satpam itu sudah memang tugasnya akan menghadapi situasi yang tak mengenakkan di lapangan. Untuk itu mereka dilatih untuk bersabar dalam menjalani profesinya. Lagi pula, etika yang dimaksud masih sesuatu yang bebas nilai dan bisa kita perdebatkan.

Karena itu, saya amat mengutuk dan mengecam kejadian ini.

Apakah ada penyesalan bapak atas kejadian ini…?

Mohon bapak jawab dengan penuhi tuntutan saya:

Menyatakan permohonan maaf kepada para mahasiswa yang menjadi korban maupun mahasiswa UIN secara keseluruhan atas tindak kekerasan yang dilakukan Satpam. Juga termasuk kepada alumni UIN serta masyarakat umum, selaku pemilik saham UIN.

Menyatakan tidak akan mengulangi kekerasan kembali kepada mahasiswa yang berdemonstrasi.
Memberikan sanksi seberat-beratnya kepada pejabat-pejabat yang bertanggungjawab secara komando atas kejadian tersebut.

Demikian surat ini saya sampaikan, sebagai tanda cinta saya kepada UIN Syarif Hidayatullah, almamater saya.

Matraman, 22 November 2006
Hormat saya,

Fan el Kindy
Alumni UIN Syarif Hidayatullah


Lampiran :
KRONOLOGIS AKSI ALIANSI PEDULI MAHASISWA

Keluarga Mahasiswa Bogor (KMB), Komite Mahsiswa dan Pemuda Anti Kekerasan (KOMPAK), Fron Mahasiswa Nasional Ciputat (FMN), Lingkar Studi dan Aksi untuk Demokrasi (LS ADI), PMII, KAM UIN.
Ciputat, 18 November 2006

Aksi dilakukan bertepatan dengan rencana kedatangan Mendiknas Bambang Sudibiyo dalam munas Ikatan Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.(IKALUIN) . Aksi ini menuntut kepada Mendiknas agar subsidi 20% dana APBN dapat direalisasikan dengan baik untuk pendidikan. Selain itu, Aksi ini juga menolak, UIN Syarif Hidayatullah yang direncanakan menjadi Kampus yang berkelas Internasional, karena melihat ketidaksiapan kampus UIN dan belum memenuhi syarat untuk menjadi World Class University.

Sebelum aksi dibuka pukul 08.45 WIB, kepala kemanan UIN Syahid (Kepala Satpam) mendatangi massa aksi yang sedang berkumpul dan Ka. Satpam tsb memperingatkan agar aksi tersebut berjalan dengan tertib, ssetelah itu dia menemui Kordinator Lapangan aksi (korlap – Taufiqqurrahman).

Aksi dibuka pukul 09.00 WIB dengan peserta aksi 9 orang di depan Fak. Tarbiyah dan Keguruan UIN Syahid.

Pukul 09.30 WIB sekitar 12 orang massa aksi bergerak menuju Fak. Syari’ah dan Hukuim, Adab, Ushulluddin dan Filsafat, dan terakhir di Fak. Dakwah untuk mengajak mahasiswa (penyisiran) untuk turun aksi.

Setelah melakukan penyisiran di fakultas-fakultas, pukul 10.20 WIB massa aksi sekitar 21 orang bergerak menuju Auditorium Utama, lokasi tempat Munas IKALUIN berlangsung.

Saat perjalanan menuju tempat Audit pada pukul 10.28 WIB massa aksi dihadang didepan gedung rektorat oleh satpam kampus yang berjumlah sekitar 30 orang. (Audit terletak dibelakang Gedung Rektorat)

Mendapat hadangan, massa kasi berhenti dan menggelar aksi di gedung rektorat dengan orasi-orasi. Ditengah kegiatan aksi, aparat satpam terus mendesak massa untuk membubarkan diri dan menyuruh massa aksi pindah ke lokasi lain. Salah satuassa aksi bernegosiasi ( Joglo – KAMJAK) sampai akhirnya diberikan waktu untuk membacakan statement saja.

Setelah melihat kondisi hujan dan siatuasi mulai memanas karena desakan dari satpam, korlap aksi memutuskan untuk membacakan pernyataan sikap dan menutup aksi Pukul 10.38 WIB.

Namun ketika pembacaan statement, yang dibacakan oleh Sahlah (Mahasiswa smt 3 fak. Ushuluddin), terlontar ucapaqn salam “kami ucapkan selamat bagi satp[am kampus yang rela menjadi budak rektorat”.

Mendengar ucapan tersebut, salah seorang satpam bernama Toro membalas dengan menyatakan “ saya bukan budak rektorat, hati-hati kalau ngomong”. Kemudian aparat yang lain mengahmpiri massa aksi dan melontarkan omongan “sialpa yang ngomong budak tadi”, dengan nada marah dan mengancam Sahlah. Satpam kemudian mendesak massa aksi ke belakang sambil mendorong dengan kasar. Pukul 10.41 WIB.

Melihat situasi, masa aksi mencoba melindungi Sahlah, Taufiqurrahman menghalangi pukulan satpam, dan Joglo melerai satpam agar tidak melakukan hal yang lebih jauh.

Situasi tesebut membuat massa aksi kocar kacir dan berlarian menuju pintu keluar kampus. Massa aksi tetap dikejar oleh puluhan Satpam yang mencopot bajunya sambil mengatakan “maju lo…minta dekengan siapa lo…?”, “ kalau mau ribut, di lauar”, “siapa lagi yang mau nantang”. Satpam mengejar massa akasi hingga pemukiman penduduk dan sempat ada yang yang mengambil botol saos bakso dari pedagang mi ayam, digunakan sebagai alat untuk memukul Fahmi (KMB)salah satu massa aksi. Agung berusaha mengejar Fahmi (samapai bajunya robek) dan berusaha melerai, namun malahan Agung menjadi sasaran pemukulan Satpam yang juga mengejar dari belakang, pun juga dipukul oleh satpam yang membawa botol saos. Tidak berhenti di situ, dengan menggunakan kendaraan (motor) satpam, melakukan penyisiran di sekitar kampus.

Daftar Korban:
Fahmi (KMB). Fakultas Psikologi I. : hingga baju robek, dan dikejar dengan mengacungkan botol saos hingga Jl Pesanggarahan (Jln samping Kampus).

Sahlah LS Adi Fak. Ushuluddin Smt .Ushuluddin III.: Didorong, diintimidasi dan ditonjok,tapi mengenai korlap (Taufiqurrahman) yang melindungi sahlah, shook dan kemudian pingsan didepan kost ketika menyelamatkan diri, saat siuman dikejar lagi dan sembunyi di warung makan, dan ditunggu oleh 5 orang satpam di depan warung.

Agung KOMPAK, Fak. Psikologi III.: Dikroyok tiga satpam dipukuli, dijambak, kepala dipukul dengan tangan dan botol.

Bagus Fak. Ushululuddin Smt III (LS ADI).: Diserang 3 orang satpam, satu menyekik, satu mendorong dan satu lagi memukul perut dan dipukili bereme-rame

Taufiqurrahman (Omen) Ushuluddin Smt III: kena pukul dibagian punggung ketika melindungi Sahlah.

Deni Fak. Adab I: Dikeroyok tiga Satpam kena pukul bagian punggung.

Fredi FMN: Dikroyok, ditendang di perut, dipukul bagian wajah /pipi memar ringan, dan dikejar hingga di pintu kecil keluar kampus.

 
Wednesday, November 15, 2006, posted by Van Elki at 20:26
SEJAK pagi, kantor PBHI sudah disesaki oleh ragam aktivitas. Semua “civitas academica” PBHI larut dalam kesibukan. Ada yang angkat meja. Angkat kursi. Pasang balon. Pasang hiasan. Siapkan makanan. Mendirikan tenda. Dan banyak kerjaan lainnya. Aktivitas yang dilakukan lebih dari 15 orang itu berjalan seirama di bawah komando sang dirigen, Diah Hastuti, sang sekretaris. Biasa dipanggil Mbak Diah.

Hari itu, Minggu, 5 November 2006 lalu, kesibukan luar biasa di kantor PBHI, ternyata sedang menyiapkan sebuah perhelatan sederhana. Yaitu, perayaan ulang tahun ke 10 PBHI. Mbak Diah, ditunjuk sebagai penanggungjawab pelaksananya. Rencananya, sekitar jam 15.00, perayaan akan dimulai.

Photobucket - Video and Image Hosting
Karangan Bunga Ucapan Ulang Tahun ke 10 untuk PBHI dari Salah Seorang Anggota.

Acara ulang tahun kali ini sengaja dibuat sederhana. Jauh-jauh hari, Johnson Panjaitan, Ketua Badan Pengurus PBHI, biasa dipanggil bang Johnson, minta acara ulang tahun ini hanya bersifat internal saja. Cukup mengundang anggota-anggota saja. Tidak perlu besar-besaran seperti tahun lalu di Goethe Institut. Suasana di tahun ini menyebabkan kita harus tampil sederhana.

Menurut Mbak Diah, untuk acara ini ia telah melayangkan 150 undangan. 100 untuk anggota. 50 untuk undangan umum. Lho kok ada undangan umum? Katanya internal. Ya, tampaknya memang tak bisa dihindari. Ada orang luar yang akhirnya tetap diundang. Mereka diundang, karena selama ini mereka telah memberikan perhatian dan menjadi mitra yang baik kepada PBHI. Tak enak hati rasanya, jika tak mengundang.


JAM di Hand Phone saya sudah menunjukkan pukul 15.00. Namun kursi-kursi tamu dengan kapasitas 150 orang itu, nampak masih kosong. Hanya 5 bangku saja yang baru terisi. Saya pun gusar. Seorang kawan coba menenangkan, “biasa, waktu Indonesia, jam karet coy…” Tapi tak hanya itu, belum munculnya beberapa orang staf senior di PBHI juga turut membuat saya gelisah.

Akhirnya baru pukul 16.15 acara di mulai. Freddy, dan Susan, maju ke depan panggung. Keduanya mengambil peran sebagai Presenter.

Photobucket - Video and Image Hosting
Freddy dan Susan saat menjadi presenter

Freddy, advokat muda bermarga Simanungkalit ini, tak hanya bakat dalam urusan gertak-menggertak dengan dalil hukum, tapi juga bakat jadi presenter. Setiap acara PBHI, ia selalu menjadi presenter langganan. Bayarannya cukup “tinggi”. “Saya dibayar 2 M oleh PBHI. 2 M, Makasih ya Mas…!” kata Freddy mengguyon.

Freddy dan Susan mencoba menghidupkan suasana. Acara doorprize mereka gelar untuk menambah meriah acara. Para tamu pun mulai bertambah berdatangan. Para tamu disambut dengan dua meja untuk tanda tangan. Satu meja untuk undangan di non anggota. Satu meja lagi untuk undangan para anggota.

Untuk anggota, disiapkan sebuah kain kanvas selebar 2x1.5 meter. Kanvas ditempel di atas sebuah whiteboard. Di atas kanvas itu, para tamu anggota, menuliskan sebuah kalimat-kalimat refleksinya atas 10 tahun PBHI.

Dalam coretannya di atas kanvas, bang Johnson menuliskan, “bersama kita melawan impunity”. Pak Hendardi menulis, “Semoga PBHI tetap menjadi organisasi yang membela orang-orang yang dilemahkan oleh penguasa.”

Beberapa saat sebelum menulis, Pak Hendardi nampak menggaruk-garuk kepala, berdiri di depan kanvas. Freddy yang melihatnya dari jauh, kemudian menyapa. “Udah pak Hen, gak usah bingung-bingung, tulis aja...!” Suasana pun menjadi pecah dengan tawa ringan.

Photobucket - Video and Image Hosting

Anggota-anggota lain juga menuliskan refleksinya. Bahkan Baim, kawan satu angkatan saya di PBHI, tak mau kalah. Meski belum anggota, ia tetap memaksa menggoreskan sepatah katanya dengan spidol di atas kanvas. Sebuah tanda, betapa dia amat mencintai PBHI.

Acara kian meriah lagi ketika anak-anak Sanggar Akar mulai menunjukkan keterampilan memainkan alat musik sekaligus olah vokal. Alunan musiknya sangat harmonis. Paduan dari berbagai alat. Ada gitar, bass, kendang, suling, biola, dan alat musik flut. Rata-rata usia mereka masih seumuran anak-anak SMU. Tapi skill memainkan alat musiknya, cukup oke. Tamu undangan pun mampu dihipnotis oleh permainan musik mereka.

Photobucket - Video and Image Hosting
Grup Musik Sanggar Akar Menunjukkan Aksinya

Di antara tamu undangan yang terhipnotis, ada Luhut M.P.Pangaribuan., seorang advokat senior kondang, yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Anggota PBHI. Lalu ada ibu Zoemrotin K Soesilo, pendiri PBHI. Juga ada Hendardi, yang kini masih menjabat sebagai Ketua Majelis Anggota PBHI.

Dalam pidatonya, bang Johnson mengungkapkan alasan mengapa ulang tahun ke 10 ini sengaja tak dibuat semeriah ulang tahun ke 9.

“Biasanya ulang tahun ke 10 merupakan usia yang penting bagi kita. Tapi mungkin, banyak teman-teman yang berpikir, kok ulang tahun ke 10 ini, dari segi momentum politik, tidak sehebat seperti ulang tahun ke-9. Memang ulang tahun PBHI ke 10 saat ini, diselenggarakan bersamaan dengan hari besar Idul Fitri... Sehingga masih dalam suasana hala bihalal. Saya kira, bagi orang-orang yang tinggal di Jakarta, pertemuan seperti ini adalah sesuatu yang mahal....”

“....Saya harap di ulang tahun ke 10, PBHI lebih berani masuk pada complicated persoalan-persoalan masyarakat, dan semakin dibutuhkan oleh masyarakat. Saya atas badan pengurus, mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri, mohon maaf lahir bathin...”
demikian bang Johnson menyampaikan pidato sambutannya yang singkat.

Sementara itu, saat acara mulai berjalan, saya lebih banyak mengambil peran menjadi photografer. Mungkin karena sering motret dan jadi photografer dadakan, yang menjadi alasan Mbak Diah menunjuk saya bertanggungjawab atas dokumentasi dalam acara ulang tahun PBHI ini.

Saat asyik mengambil gambar bang Johnson yang sedang pidato, Mbak Diah datang menghampiri saya. “Fan, setelah bang Johnson pidato, siap-siap lo baca do’a. Setelah baca do’a, baru nanti bang Johnson potong nasi tumpeng,” kata Mbak Diah mengingatkan saya.

“Hah... sekarang Mbak...? Cepat amat... Bukannya di akhir acara...?” tanya saya kaget. “Nggak... Sekarang...” tukasnya. Saya pun bergegas menyiapkan diri.


PADA briefing sebelumnya, tak ada keputusan untuk menugaskan saya membaca do’a. Tugas membaca do’a diserahkan pada orang lain yang akan dicari Bogel. Tapi pagi hari itu, Bogel, rekan saya di PBHI ini, memberikan saya secarik kertas. Isinya terdapat tulisan Arab. Sebuah kalimat pembuka do’a dalam ajaran Islam. Sebagian lagi isinya bahasa Indonesia. Bogel meminta Mbak Diah menunjuk saya untuk membaca do’a. Mbak Diah pun mengangguk. “Fan, ini konsep do’anya yang dah gue buat. Sebagian lagi elu tambahin aja...!” pinta Bogel.

“Huh... Udah kaya gini, baru kasih gue...” gumam saya.

Tapi gak papa. Saya suka tantangan. Meski kali ini tantangannya hanya baca do’a di acara ulang tahun PBHI. Baca do’a? Rasanya gak pantas. Saya bukan rohaniawan. Sholat saja kadang masih bolong-bolong. Kok bisa-bisanya mimpin doa. Gak punya legitimasi.

Tapi karena ini momentum pas. Terpaksa saya terima. Sehingga waktu yang sempit cuma dua jam itu, saya kejar untuk membuat dan menyempurnakan teks doa yang sudah dibuat Bogel. Saya lalu duduk di depan komputer, mengetik teks dengan konsentrasi penuh. Diselingi beberapa kali memejamkan mata untuk mencari inspirasi. Dan hasilnya, lembar teks doa bertambah banyak. Satu halaman menjadi dua halaman.


USAI bang Johnson pidato, Freddy langsung memanggil nama saya untuk membawakan doa sebelum acara potong nasi tumpeng. Dengan peci bulat warna hitam di kepala, serta T-Shirt tulang tahun PBHI, dan celana Jeans warna biru gelap, saya maju ke depan. Dan teks doa pun saya baca dengan intonasi bicara yang dinamis. Kadang tinggi. Kadang rendah. Bahkan mimik atau ekspresi wajah juga saya mainkan. Inilah teks doa yang saya baca.

[Prolog dengan bahasa Arab]

Ya Allah... Ya Tuhan Kami...
Engkau sumber keselamatan.
Engkau lah yang mendatangkan kebahagiaan.
Engkau pula yang merenggut segala kenikmatan.
Engkaulah pemberkah yang agung nan mulia.

Ya Allah... ya Tuhan kami.
Dzat yang memiliki kehidupan ini... ridhoilah langkah kami...
Agar pandangan kami menjadi nikmat. Ucapan kami menjadi rahmat. Karya kami menjadi manfaat.

Ya Allah... Ya Tuhan kami...
Hari ini, di sore yang indah, Minggu, tanggal 5 November 2006, kami berkumpul dengan segala kesederhanaan untuk memperingati ulang tahun Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). Sebuah organisasi yang kami dirikan, dan kami jalani, untuk suatu tujuan agar ajaran Mu, tentang Keadilan dan Kebenaran, dapat tegak dan membumi di negeri ini. Negeri, tempat di mana kemunafikan, kemunkaran kezhaliman masih merajarela.

Ya Allah... Ya Tuhan kami...
10 tahun tak terasa, sejak tanggal 6 November 1996 lalu, kami para pendiri, kami para anggota serta kami para pengurus, telah menggerakkan roda organisasi ini.

Berkat Kekuasaan Mu, segala onak dan duri yang merintangi perjuangan kami, telah dapat kami lalui, meski tertati-tatih. Sehingga sampai hari ini, PBHI masih tetap berdiri dan bergerak, untuk membela mereka yang tertindas.

Mereka yang dimarjinalkan oleh penguasa. Mereka yang ditelantarkan oleh penguasa. Mereka yang dibodohi oleh penguasa. Dan mereka yang ditidakadilkan oleh sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya di negeri ini.

Kepada mereka, kami pijakkan kaki, berdiri di sisinya. Mendampingi membela hak-haknya.

Ya Allah... Ya Tuhan kami...
Kami sadar. Bahwa apa yang kami perjuangkan di PBHI, untuk memenuhi firman Mu, bukan lah perjuangan yang mudah. Ini adalah perjuangan yang amat sukar. Penuh dengan jurang-jurang rintangan. Penuh dengan tipu daya. Penuh dengan intrik, fitnah dan kebencian, dari mereka yang tak menyukai perjuangan kami.

Yaitu, mereka yang enggan untuk menjalani ajaran Mu.
Mereka yang ingin hukum menjadi vakum.
Mereka yang ingin Politik dibikin pelik.
Mereka yang ingin ekonomi menjadi semakin ironi.

Untuk itu, kepada Mu... kami berlindung. Kami memohon kekuatan Mu, agar memuluskan jalan perjuangan yang sunyi ini, dari marabahaya yang mereka timbulkan kepada kami.

Y Allah… Ya Tuhan Kami...
Seiring dengan 10 tahun perjalanan kami. Engkau tak hanya berikan hambatan dan tantangan perjuangan ini datang dari luar diri kami. Tapi engkau berikan juga hambatan dan tantangan itu datang dari tubuh kami sendiri. Kami tak pungkiri, bahwa ini sunnah Mu, yang memang pasti harus kami lalui.

Namun... Ya Allah... Ya Tuhan kami...
Berikan lah kami kedewasaan untuk membersihkan kerikil-kerikil ini. Berikan lah kami kelapangan dada, dan keluasan hati. Sehingga segala masalah yang menimpa kami, tidak membawa kami pada perpecahan. Tidak membawa kami pada kebinasaan.

Melainkan sebaliknya, justru membawa kami pada eratnya persahabatan. Kokohnya persatuan. Dan solidnya perjuangan kami.

Ya Allah, Ya Tuhan kami, Engkau yang Maha Adil, Engkau Maha Hakim...
Jikalau Engkau melihat, PBHI yang kami cintai ini, telah menyimpang dari ajaran Mu... telah membodohi sesama hamba Mu, tidak punya manfaat bagi sesama hamba Mu. Atau hanya mengeksploitasi sunnah Mu... Memperdagangkan penderitaan Hamba Mu...

Maka kami mohon, binasakan lah kami...

Namun... Ya Allah... Ya Tuhan Kami...
Jikalau sebaliknya Engkau Melihat, kehadiran PBHI mendatangkan manfaat bagi kemajuan peradaban manusia di negeri ini. Memberikan sumbangsih, serta mendorong pada terciptanya keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan di tengah-tengah hamba Mu...

Maka berikanlah kami keabadian... berikan kami kekuatan agar dapat memperjuangkan PBHI sampai akhir tetes darah, keringat dan air mata kami.

Ya Allah, Ya Tuhan kami, engkau yang maha kekal.
Karunia kami umur yang berkah. Dan jangan siksa kami dengan waktu yang sia-sia...
Berikanlah Kami kekuatan untuk menegakkan perintah Mu dan ajuran Rasulmu...

Ya Allah... Ya Tuhan kami... Dzat Yang Maha Suci...
Tunjukkan Kami jalan, dimana Kami Mengharap Mu. Di mana kami hidup dengan Nikmatmu dan mensyukurinya.

Ya Allah, Ya Tuhan kami, yang menguasai segala umur... Karunia kami kekuatan untuk menghiasi kehidupan ini dengan kebaikan Mu. Serta amalan-amalan yang dapat mendekatkan kami pada kebaikan Mu...

Tuhan... lebarkanlah jalan kami dan Tuntunlah Kami pada hidayah Mu..

Tuhan Masukkanlah kami pada golongan hamba-hamba pilihan Mu. Limpahkanlah kami daya untuk berlomba-berlomba dalam kebaikan Mu.

Ameeen....!


[Penutup: dengan bahasa Arab]

TAK ayal, isi doa saya mengundang respon beragam komentar dari para audiens. Koh Alay, simpatisan PBHI yang warga keturunan, melontarkan komentarnya. “Fan... Belapa hali lo buat tuh doa...? Gila lu ya...?” katanya kepada saya sesaat usai membaca doa.

“Waduh, Irfan, ko pu doa itu kayanya hasil kontemplasi ya...?” ujar Maya, yang juga kepala Divisi saya.

“Fan... kayanya doa lu itu beda-beda tipis ya. Antara baca doa, atau baca puisi..?” kata seorang kawan yang menyindir cara baca doa saya yang memang agak seperti orang membaca puisi, bahkan seperti demonstran berorasi.

Beberapa komentar lainnya juga ada seperti ini.

“Doanya bagus. Aktual dengan situasi saat ini..!” kata seorang kawan.

“Gua dibelakang panggung, dengarin lu baca doa, eh pas banget tuh waktu lu singgung situasi yang sedang terjadi sekarang...” kata Freddy.

“Wah bang... doanya mantap. Bakat juga baca doa...” kata Yadi, kawan staf kantor.

“Hah... Lu dengerin doa gua juga. Gua pikir gak ada yang khidmat dengerin doa gua,” balas saya.


PERAYAAN ulang tahun PBHI ke 10 itu cukup meriah. Meski dalam kesederhaan. “Gimana Mbak Diah, acaranya sukses gak?” tanya saya di saat akhir acara. “Ya teman-teman seh bilang pada sukses...” jawab Mbak Diah. “Oke sukses ya mbak...” lontar saya sembari mengulurkan jabat tangan.

Photobucket - Video and Image Hosting
Mbak Diah, sang ketua panitia, sekaligus sang Sekretaris, yang karena acara Ultah, rela berganti profesi.

Pukul 20.00 acara usai. Tapi saya dan beberapa orang kawan, merasa acara belum usai. Masih ada session lanjutan. Tapi ini “sessionnya anak muda”. Akhirnya sampai tengah malam, session anak muda itu pun berlangsung.


SELAMAT ULANG TAHUN PBHI YANG KE 10.
SEMOGA MAKIN KUAT,
DAN MAKIN CANGGIH DALAM MELAWAN KETIDAKADILAN.
WAR AGAINTS IMPUNITY


Photobucket - Video and Image Hosting
PBHI Full Team
 
Saturday, November 11, 2006, posted by Van Elki at 18:34
(Kado Wisuda Sahabat Lama)


Irfan Sahabatku. Aku sangat bangga kau bisa selesai studi. Dulu, aku ngga percaya, orang sepertimu bakal wisuda. Kau, dalam benakku dulu, adalah calon mahasiswa abadi atau nominasi penerima anugerah Drop Out Award. Hahahahaha.....

Tahun ini, mukjizat itu terjadi, sahabatku. Kau benar-benar mampu wujudkan obsesimu, realisasikan cita-citamu. Rupanya kau telah bangkit, dari kubangan mimpi-mimpi utopis-mu itu.

Hari ini 6 Maret, dunia kau bikin bungkam. Kala toga hiasi raga, kala selembar ijasah itu kau selipkan diantara ketiakmu yang bau.

Sekali lagi, aku sangat bangga padamu, Irfan.

Irfan Sahabatku. Setelah wisuda, rintis-lah hari esokmu serapi mungkin. Kau pasti bisa. Meski setahuku, kau tak suka tampil rapi berdasi. Kau lebih pilih kaos kucel, dan jeans belel, ketimbang peci dan minyak wangi.

Aku percaya, kau sosok mahasiswa dengan idealisme tinggi.

Kekompakan tim 'Komunitas' mu itu, kerap membuatku kaget dan terpana. Ruar biasa. Kau bersama kawan-kawan seperjuanganmu dulu – si Mixil, si Bogel, si Ginting, de es be - benar-benar manusia militan dengan dedikasi tinggi. Tak kupungkiri, keakrabanku denganmu, kelompokmu, besar artinya bagi hari-hariku saat itu, kini dan mungkin juga esok.

Kau bersama orang-orangmu dulu, telah membuka mata hatiku, terhadap apa itu yang kau namakan idealisme, reformasi, dan bahkan revolusi. Jargon kelompokmu "Jika penindasan menjadi kenyataan, maka revolusi adalah kebenaran", hingga detik ini, masih menancap kuat dalam relung sanubariku. Juga lagu-lagu perjuangan parodi yang sering kalian dendangkan di tengah arena demonstrasi, bukan hanya masih kuhafal, tetapi juga maknanya begitu merebak menjalar dalam hampir setiap desah nafasku.

Irfan Sahabatku, Ide-ide lama hasil persentuhan gagasan dulu, antara aku dan kelompokmu itu, hingga kini masih selalu kujaga. Meski kusadar, keterlibatanku, persetubuhanku dulu dengan konsep-konsepmu, sangat-sangat terbatas. Tentu karena aku dulu berdiri di atas banyak kaki. Aku adalah ketua BEM, yang tidak hanya harus dekat dengan kelompokmu yang berbaju lusuh, tetapi juga dengan para aktifis mesjid yang berpeci putih itu. Kau tau sendiri khan, aku adalah kawan akrab si Jafar yang pimpinan Paduan Suara ; aku suka nongkrong di Piramida, lingkar studi nakal-nya anak-anak Syariah itu ; aku juga cs-nya si Otong artis teater, dan juga sohib si Klutuk yang pecinta alam itu.

Dulu, kau kerap bantu aku, juga tak jarang pusingkan aku. Dengan 'Komunitas'-mu, kau amankan 'posisi'-ku dari segala hina dan cerca [lawan-lawan] politik kita. AS, Dekan kita yang gualak itu, pernah menghiba memohon bantu-ku, [untuk] redakan hujat dan ancaman kelompok-mu. Sekarang, semua itu tinggal kenangan, Sahabatku.
Kau telah wisuda. Kau akan jalani pasang-surut perjuangan karir yang sarat onak duri itu. Ingat Sahabatku, disana kau akan temukan makna hidup yang sebenarnya. Segala keindahan lama kala di kampus biru, hanyalah masa lalu yang tak perlu dibanggakan. Ia hanyalah memori kelabu yang mungkin malah disesali, olok-olok, atau 'angin lalu' yang hampa makna dan substansi.

Perpisahan itu memang menyakitkan, Sahabatku. Mari kita tebus sakitnya perpisahan, dengan kesuksesan nan gemilang, di hari depan.

Seperti halnya dirimu, kini aku dalam perjalanan panjang. Hingga ku tak tahu, kapan kan kutatap lagi tajam matamu, garang wajahmu, atau gondrong rambutmu. Entah kapan kita kan lewati malam dengan diskusi lagi, begadang hingga pagi menjelang. Juga camping di Sukabumi, atau sekedar nongkrong di gerbang kampus Ciputat nan biru, sambil pelototi para santriwati IAIN yang genit-genit itu. Aku juga tak mampu pastikan, kapan kau dendangkan lagi lagu dangdut 70-an favouritmu, dengan iringan gitarku, seperti dulu itu. Dan bahkan, aku juga tak tau, akankah kita bertemu lagi suatu hari nanti ?!

Irfan Sahabatku, Aku sangat bangga kau bisa selesai studi. Jabat erat tanganku, di hari wisuda-mu ini.

Pinggiran Nil, awal Maret 2004.

***
My Comment:
Tulisan ini dibuat oleh salah seorang sobat kental saya yang tinggal di negeri seberang sana. Tulisan ini ia dedikasikan untuk saya. Saatnya kelak, saya akan membalas 'kado wisuda' -nya ini pada hari pernikahannya nanti.
Thank you sahabat...
 
Thursday, November 02, 2006, posted by Van Elki at 21:40
Writed by: Ridwan Darmawan

KOMUNITAS MAHASISWA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI Jakarta (KM UIN), dilahirkan atau didirikan di Jakarta pada tanggal 22 Mei 1998, ketika situasi Jakarta dan seluruh Indonesia sedang mengalami euforia atas jatuhnya Rezim otoritarian Soeharto sehari sebelumnya (21 Mei 1998). Sejujurnya ini adalah awal dari kesepakatan lisan yang biasa, yang dikeluarkan secara bersama-sama di antara teman-teman JS’97 (Jinayah Siyasah angkatan ’97), ketika saat itu dihadapkan pada pilihan, bertahan di DPR-berarti menolak Habibie, karena bagian dari orde baru. Pulang atau keluar dari DPR- Berarti setuju terhadap pergantian Soeharto oleh Habibie dan perjuangan telah selesai.

Photobucket - Video and Image Hosting

Atas dasar pilihan itulah, kita menentukan sikap bahwa kita akan tetap bertahan dan tetap meneruskan perjuangan demi perubahan yang sejati atau REFORMASI TOTAL dan tetap bertahan di FORUM KOTA atau FORKOT (saat itu Senat Mahasiswa IAIN lewat Forum Komunikasi Mahasiswa Ciputat/FKMC bergabung dengan Forum kota/FORKOT). Pada saat itu memang terjadi pertentangan hebat di antara mahasiswa yang sama-sama mempertahankan argumentasi atas pilihan yang diambilnya, tak terkecuali di lingkup UIN (saat itu IAIN) terjadi juga “perpecahan” pandangan terhadap realitas politik yang terjadi saat itu. Dan FKMC termasuk Senat Mahasiswa IAIN menarik massanya dari DPR saat itu. Di situlah “perpecahan” pertama Mahasiswa terjadi setelah sekian lama disatukan isunya atau musuhnya, yaitu Soeharto.

Pada awalnya, kita bergerak dari satu kelas yang bersamaan,(JS ’97) yang secara prinsip tidak memenuhi kriteria sebuah organisasi, tetapi hanya berdasarkan pada tingkat emosionalitas yang kental dan kesamaan pandangan dalam melihat realitas. Kita turun ke jalan dan road show aksi-aksi keprihatinan atas krisis yang menimpa Indonesia dari kampus satu ke kampus yang lainnya pada saat itu ( September-Mei 1998).

Photobucket - Video and Image Hosting

Atas dasar kegelisahan beberapa kawan-kawan yang melihat bahwa KM UIN saat itu tidak lebih dari sebuah kerumunan massa yang tidak jelas arah dan tujuannya (tidak terkonsep). Maka pada awal tahun 1999 diadakan Kongres I, yang melahirkan organ JAMRUD (Jaringan Aksi Mahasiswa dan Rakyat Untuk Demokrasi) sekaligus menentukan prinsip-prinsip dasar perjuangan organisasi. Kemudian pada akhir tahun 1999, JAMRUD mengadakan Kongres I di Bogor, berdasarkan pembahasan dan evaluasi peserta kongres, akhirnya kongres menetapkan untuk mengganti nama organisasi JAMRUD dengan Forum Diskusi AcademiA, dan melahirkan Presidium organisasi.

Dalam perjalanannya terjadi dualisme organisasi dalam satu organisasi KM UIN (AcademiA dan KM UIN), AcademiA lebih menekankan dan cenderung diskusi wacana an-sich, sedangkan KM-UIN lebih menekankan aksi turun ke jalan (demontrasi) atau mempraksiskan wacana, yang berimplikasi pada keresahan dan kegelisahan untuk kedua kalinya. Kongres II dilaksanakan di Puncak Bogor. Kongres kali ini terasa lebih “panas” ketika membahas persoalan dualisme atau kontradiksi-kontradiksi dalam organisasi yang terjadi dalam setahun perjalanan organisasi.

Photobucket - Video and Image Hosting

Hasil kesepakatan kongres II kembali melahirkan kesepakatan yang meleburkan atau menghilangkan Forum Diskusi AcademiA dan menetapkan KM IAN Jakarta sebagai nama organisasi tunggal di basis IAIN. Gagasan yang mengemuka dalam peleburan tersebut adalah menyatukan dikotomi antara mendiskusikan wacana dan mempraksiskan wacana, bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan.dan sejak itulah sejarah telah melahirkan organ gerakan pertama lahir di IAIN (kini UIN).

Dan sejak itulah KM UIN terus “mengisi” dan selalu eksis dalam percaturan dinamika kampus UIN “tercinta” ini. Beberapa sejarah perlawanan gerakan mahasiswa baik di tingkat nasional maupun tingkat basis kampus telah ditorehkan oleh organ KM UIN selama perjalanannya di dunia gerakan mahasiswa dan selalu menjadi motor atau pelopor terhadap setiap gerakan-gerakan perlawanan, sehingga tidak heran bila organisasi ini mempunyai motto “Tunduk Ditindas atau Bangkit Melawan, Karena Mundur adalah Penghkianatan”. Beberapa aktivitas KM UIN itu antara lain adalah, pada tahun ajaran baru 2000 yaitu mahasiswa baru angkatan 2000, dinaikkan SPPnya dari Rp.300.000 menjadi Rp.400.000. KM UIN dengan tegas menolak kenaikan tersebut dan melakukan aksi-aksi penolakan ke rektorat, yang akhirnya rektorat membatalkan kenaikan tersebut dan mengembalikan uang Rp.300.000 kepada mahasiswa angkatan 2000 tersebut.

Contoh lain adalah ikut membidani dan membantu lahirnya organ-organ gerakan lain lahir di UIN, seperti KAM UIN, FAM UIN dan lain-lain. Dan sekaligus mempelopori Dewan Mahasiswa (DEMA) UIN Jakarta sebagai aliansi taktis organ kampus saat itu.

Prestasi yang paling membanggakan yang telah dicapai oleh KM UIN sampai saat ini adalah KONSISTENSI GERAKAN yang masih belum tergoyahkan dari awal berdirinya hingga saat ini, cita-cita awal organisasi ini adalah mewujudkan kemerdekaan 100% bagi rakyat Indonesia. Merdeka secara politik, ekonomi dan budaya (berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik). Sehingga tidak ada dalam sejarahnya KM UIN ikut terbawa arus oleh konflik elit politik, seperti yang terjadi pada organisasi-organisasi mahasiswa yang lain, terutama ketika konflik elit pada tahun 2000-2001 saat pelengseran Gus Dur dari kursi presiden. Saat itu mahasiswa layaknya seperti supertor klub sepak bola yang fanatik, mereka saling ngotot-ngototan untuk mendukung elit-elit politik yang sedang bertikai, tanpa rasa malu sedikit pun.

Saat ini, KM UIN sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika kampus UIN tercinta ini, basis massa/anggota KM UIN sudah semakin merata tersebar di setiap fakultas-fakultas di kampus ini, dan berdasarkan rekomendasi kesepakatan Kongres KM UIN IV di Anyer Banten, bahwa KM UIN membentuk sayap-sayap organisasi di setiap fakultas yang sudah memenuhi kuota 10 orang massa/anggota KM UIN, dan sampai saat ini sudah ada 5 basis Fakultas: Komunitas Mahasiswa Syariah (KMS), Forum Kajian & Aksi Ushuluddin (FOKUS), Gerakan Mahasiswa Adab & Ekonomi (GEMA), Aksi & Studi Tarbiyah & Dirasat Islamiyah (ASTRID), dan yang terbaru Komunitas Mahasiswa Psikologi & Dakwah( KMPD).

Demikianlah sekilas tentang KM UIN, semoga bermanfaat dan tetap pada Garis Perjuangan dan Cita-cita Perjuangan kita. Amien.

***
My Comment about this text:

NAMANYA Ridwan Darmawan. Biasa dipanggil Bogel. Ia salah satu kawan saya satu kelas di Fakultas Hukum dan Syari’ah UIN. Sama-sama angkatan 97. Pria yang usianya lebih muda satu tahun dari saya ini, memiliki tubuh agak gempal (gemuk) dan pendek. Barangkali itu yang membuat kawan-kawan Aliyah-nya di Ciamis dulu, memanggilnya dengan nama Bogel. Sebutan itu ternyata berlanjut, ketika pria yang suka berambut gondrong ini kuliah di UIN.

Photobucket - Video and Image Hosting Bogel dari arah belakang

Awal mengenalnya, saya agak riskan memanggilnya dengan nama Bogel. Gak enak. Kok nama bagus-bagus dipangil Bogel. Tapi karena nama itu sudah familiar, dan ia juga terlihat enjoy, ya sudah, sampai kini tak perlu riskan lagi memanggilnya dengan nama Bogel. Di memori HP saya, nomor HP-nya saya simpan dengan nama "Bogero." Dengan tampilan postur seperti itu, Bogel juga kadang diguyonkan oleh banyak kawan dengan panggilan ”Gusti Randa,” seorang artis sinetron sekaligus seorang advokat. Ya, selintas memang Bogel mirip ”Gusti Randa.” Lebih dari selintas, ya tetap aja, kaya Bogel. Orang yang unik. Supel. Mudah bergaul. Sehingga banyak orang cepat akrab dengannya. Coba aja tanya sama mahasiswi-mahasiswi yang ngekos di Jalan Pesanggrahan samping UIN Ciputat. Pasti kenal semua.

Setelah sama lulus kuliah, bersama dengannya, kemudian saya menjelajahi jam terbang di PBHI sejak April 2004. Pengalaman jam terbang inilah, yang membawa kami berdua akhirnya berhasil lulus dari ujian advokat pada tahun 2006 ini. Saya lulus di bulan Februari, dan ia di bulan September.

Di mata saya, Bogel memiliki dua nyawa. Satu nyawa ia sudah lepaskan di Banda Aceh. Sewaktu Tsunami menerjang Banda Aceh di akhir tahun 2004 lalu, kebetulan Bogel ada di sana. Puji Tuhan, meski badannya lumayan gemuk, tapi ia masih gesit untuk urusan lari dari kejaran Tsunami. Ruko (rumah toko) dua lantai tempat ia tinggal, lantai satunya hancur dilabrak air. Di sana ia menjadi saksi, betapa dahsyatnya kekuasaan Tuhan.


SUATU ketika saat sedang asyik mengutak-mengatik file di komputer kantor, saya menemukan sebuah file bertipe Word. Isinya merupakan teks yang dibuat oleh Bogel. Tulisannya berjudul ”Tentang KM UIN,” sebagaimana yang saya tampilkan di atas. Dalam tulisan ini, Bogel menuturkan asal muasal sebuah kelompok mahasiswa yang menamakan dirinya KM UIN. Tulisan ini ia memaparkan dinamika aktivitas dan sepak terjang dari KM UIN. Untuk itu, saya menampilkan tulisannya ke dalam Blog saya. Tidak banyak edit teks yang saya lakukan, kecuali hanya titik, koma, ejaan, dan spasi. Lebih dari itu, ini murni tulisan Bogel. Karena tulisan ini juga dijadikan salah satu bahan presentasi dalam pelatihan di KM UIN, maka saya merasa, ini sudah layak untuk dipublikasikan. Mungkin saja banyak orang menilai tulisannya sarat dengan klaim. Tapi inilah proses penulisan sejarah. Sah-sah saja bila ada kontroversi mengiringinya.

Kalau kita simak, hampir semua tokoh-tokoh politik yang terlibat dalam proses sejarah di tahun 98, telah menulis buku mengenai pengalamannya melewati kemelut politik di tahun 98. Coba aja perhatikan. Habibie sudah menulis buku yang kemudian menyulut pertikaiannya dengan Prabowo. Sebelumnya Prabowo juga sudah menulis buku. Wiranto juga. Kivlan Zein juga. Amin Rais apalagi. Gusdur apalagi. Pengamat politik juga gak mau ketinggalan. Dan banyak lagi tokoh lainnya. Semua buku yang mereka tulis, isinya sama. Mereka mengklaim diri ikut memberikan kontribusi positif dalam proses reformasi 98. Padahal, hanya tipu-tipu saja. Mau jadi pahlawan kesiangan.

Pendapat ini bukan hanya punya saya. Tapi juga seluruh aktivis mahasiswa angkatan 98 mengatakan begitu. Anehnya, mengapa mahasiswa angkatan 98, tidak menulis sejarahnya sendiri dalam sebuah buku. Padahal dengan menulis buku, mereka bisa mendelegitimasi para pahlawan kesiangan itu. Pertanyaan saya. Lalu siapa aktivis mahasiswa 98 yang sudah menulis itu? Setahu saya tidak ada. Kenapa bisa begitu? Kemana para aktivis itu? Selidik punya selidik. Ada kompleksitas problem di tubuh para aktivis 98 ini. Di antaranya, mereka lebih banyak disibukkan oleh urusan internal. Sehingga akhirnya, elit politik bertepuk tangan. Mahasiswa menjadi martir reformasi, elit politik yang menikmatinya. Mahasiswa dan rakyat, hanya gigit jari. Kembali menjadi kaum marjinal. Menjadi kaum yang terus ditindas, dan ditipu.

Itulah mengapa, membaca tulisan Bogel, membuat saya tertarik untuk menulis dengan tema yang sama. Yakni tentang pengalaman diri dalam melewati proses lika-liku dalam gerakan mahasiswa di tahun 98. Saya ingin membuatnya dari angel yang berbeda. Ya, sejarah memang perlu untuk ditulis. Agar kita tidak lupa. Agar kita bisa belajar dari masa lalu. Agar kita ingat, bahwa kita pernah melakukan sesuatu, sehingga bisa memotivasi diri untuk melakukan banyak sesuatu di masa depan. Tentunya untuk kemajuan peradaban manusia. Mudah-mudah saya punya banyak waktu untuk menulisnya.
Salam.
Irfan F.
 
Wednesday, November 01, 2006, posted by Van Elki at 18:46
Libur Kecil Kaum Kusam

SABTU lalu, 28 September 2006, saya kembali touring naik motor ke Pantai Carita. Kali ini bersama dengan kawan-kawan ‘tongkrongan’ di lingkungan dekat rumah. Jumlah motor dalam rombongan ini, hanya 5 motor. Atau total 10 orang. Jauh sedikit, dibanding dengan tahun lalu, ketika touring bersama dengan kawan-kawan ’tongkrongan’ di Citayam, yang berjumlah 37 motor.

Dalam touring ini, saya didaulat sebagai kepala rombongan. Rombongan berangkat jam 10.30 WIB dari Depok, dan tiba di Carita jam 18.00. Rute yang dilalui adalah lewat Tangerang, Balaraja, Serang, dan Cilegon. Sepanjang perjalanan, banyak memakan waku istirahat. Mungkin hampir 2 jam. Jarak tempuh waktu berangkat sekitar 180 KM. Sangat melelahkan memang. Untung saja, banyak kawan yang bisa bawa GL Pro saya. Sehingga saya bisa saling bergantian mengendarainya. Tidak seperti tahun lalu, pulang-pergi, GL Pro saya bawa sendirian. Hasilnya, sampai rumah harus cari tukang urut.

Di Carita, rombongan menginap di pinggir pantai di salah satu lingkungan tempat wisata yang sepi. Sengaja pilih sepi. Pada sebuah saung yang terbuat dari bambu dan beratap rumbia, kami menginap di dalamnya. Saung ini tidak ditutup penuh oleh dinding. Dindingnya hanya setengah saja, sekitar 50 Cm. Saya tidak terlalu suka tempat ini. Tapi karena kebanyakan anggota rombongan menyepakati, ya sudah, saya ikut.

Di lokasi itu, saya langsung masuk ke dalam saung. Tidak banyak aktivitas yang saya lakukan. Tubuh saya terasa diserang masuk angin. Saya langsung merebahkan diri dan coba memejamkan mata. Sial, ternyata serangan nyamuk pada tengah malam, membuat saya tak bisa tidur nyenyak. Akhirnya sampai matahari terbut saya tetap berada di dalam saung. Sementara kawan-kawan saya lainnya, justru menghabiskan malam dengan begadang. Mereka menikmatinya sambil bernyanyi, bermain gitar dan minum kopi.

Paginya, beberapa orang kawan complain kepada saya, karena saya menghabiskan malam hanya dengan tidur. Dan tidak larut dengan mereka dalam menikmati malam. Tapi setelah tahu, saya diserang masuk angin, mereka memaklumi.

Paginya hari Minggu, sekitar jam 08.30, rombongan kembali bergerak pulang ke Depok. Kami tak punya banyak waktu. Sebagian anggota rombongan, sudah mulai masuk kerja pada hari Senin. Jadi diputuskan untuk bisa tiba di Depok pada sore hari, sehingga punya banyak waktu untuk istirahat. Syukurlah, sejak berangkat dan kembali ke Depok, tidak ada masalah besar yang kami hadapi.


TOURING kali ini merupakan pengalaman pertama bagi komunitas saya yang satu ini. Komunitas ini menamakan diri dengan nama ”Camp Post”. Mereka adalah kawan-kawan lama saya di lingkungan dekat rumah. Sejak 2 bulan lalu, saya mengusulkan rencana touring ini sebagai wahana mengisi liburan Lebaran. Soal tempat tidak masalah bagi saya. Mereka pun setuju. Sebenarnya banyak orang yang mau ikut. Tapi kami sengaja untuk tidak mengajak. Mungkin touring berikutnya kami akan mempertimbangkan melibatkan banyak orang.

Touring ini saya namakan dengan ”Libur Kecil Kaum Kusam.” Sebuah baris judul milik musisi legendaris favorit saya, Iwan Fals. Karena touring kali ini, beda dengan liburan-liburan yang pernah saya lalui, yang lumayan mewah. Liburan ini adalah liburan yang sederhana. Liburan yang menyesuaikan diri dengan isi kantong. Sampai-sampai menginapnya saja di saung dekat pinggir pantai. Tapi biar begitu, esensi liburan tetap dapat dirasakan.

Belakangan ini, saya banyak akrab dengan kawan-kawan lama di dekat rumah. Hubungan komunikasi saya dengan kawan-kawan di rumah ini, mulai saya bangun kembali. Setelah sebelumnya, karena aktivitas saya yang banyak di luar rumah, membuat saya jarang berkumpul dan berkomunikasi dengan mereka. Kalau pun ada, hanya sesekali saja.

Hampir setiap malam minggu, saya berkumpul dengan mereka. Kadang jumlahnya bisa 14 orang, kadang hanya 2 orang saja. Dari sekedar ngobrol ”ngalor-ngidul,” bernyanyi dan main gitar bersama, bahkan sampai obrolan yang serius. Kadang diselingi drinking party ala ”peletokan.” Tapi saya kurang suka untuk yang ini. Paling kuat hanya 3-4 teguk saja mampir di tenggorokan. Lebih dari itu, nyerah. Lebih enak neguk Coffemix-nya Indocafe. Itu lebih nikmat. Kalo memasilitasi peletokan sih boleh. Tapi ikut sebagai user, nanti dulu.

Setelah kembali banyak kumpul dengan mereka, saya sadar, bahwa ada sisi positif yang bisa saya dapatkan dan berikan dalam proses ’malam mingguan’. Meski di antara kita menyebut ’malam mingguan’ itu, sebagai forumnya kaum jomblo, tapi di acara itu, saya bisa saling berbagi banyak pengalaman dengan mereka. Di situ saya tahu bagaimana problematika para pemuda desa yang tengah kesulitan menghadapi persaingan di dunia kerja. Dan bagaimana ternyata di dalam dunia kerja yang sudah mereka tekuni, mereka banyak menghadapi problem-problem kerja.

Umumnya, kawan-kawan saya di dekat rumah, adalah lulusan SMU. Di tongkrongan malam minggu itu, hanya ada 1 orang di luar saya yang lulusan S1. Maka itu, problematika yang mereka hadapi adalah input bagi saya. Sehingga problem sosial anak muda semacam itu tidak lagi hanya saya tahu dari buku, atau dari sebait lagu ’Darah Juang’, yakni ”...pemuda desa tak kerja...” Tapi riil, saya tahu dari kawan-kawan saya sendiri.

Sementara yang menjadi output, saya bisa berbagi wawasan saya mengenai hukum perburuhan. Mereka awam tentang hal ini. Padahal, dalam keseharian mereka banyak mengalami problem-problem yang sebenarnya sudah diatur dalam hukum perburuhan. Tapi karena mereka tak tahu, mereka akhirnya menjadi korban pembodohan oleh pihak majikan.

Di luar tentang itu, saya juga banyak meng-output wawasan tentang hukum dan politik kepada mereka. Saya sadar mereka adalah kelompok yang rentan menjadi ekploitasi politik elit. Karena itu, kesadaran politik mereka perlu untuk dibangun. Tapi bukan untuk menjadi apolitis. Melainkan menjadi anak muda yang kritis. Kritis bukan hanya pada level kebijakan politik yang lebih besar, melainkan juga pada problem-problem yang ada di tengah masyarakat lokal. Karena di masyarakat juga ada konflik. Konflik antar pemuda, antar bapak-bapak, juga antar ibu-ibu. Bila kesadaran politiknya sudah dewasa, harapan saya, mereka tidak larut dalam konflik yang tidak produktif. Sebaliknya bisa ikut membantu menyelesaikan konflik.

Maka itu perlu banyak dilakukan proses konsolidasi di kalangan anak muda di tempat saya tinggal. Ada banyak metode yang bisa dilakukan. Tapi saya sadar, ada proses yang harus dilalui. Proses itu penting. Semua tidak bisa instan. Pengentalan emosional adalah salah satunya. Acara touring ke Carita adalah salah satu cara yang digunakan. Sampai saat ini saya belum punya gambaran kongkrit, akan saya bawa kemana komunitas ini ke depan. Mau sekedar kongkow-kongkow aja, atau untuk wadah emansipasi sosial.
Sulit memang untuk menjawabnya. Terlebih saya juga disibukkan dengan banyak kegiatan kantor. Juga ini bukan satu-satunya komunitas yang saya punya. Ada banyak komunitas di tempat lain. Biarlah waktu yang akan menjawab. Yang penting, hari ini saya bisa menikmati proses yang ada di depan mata. Kalo lagunya Raihan tentang ”Lima Perkara,” maka saya menambahnya satu hal lagi. ”Ingat masa lajangmu, sebelum datang masa menikahmu...” Artinya, mumpung masih bujang (mudah-mudahan tidak lapuk), ”jalani terus coy...” Nanti kalau sudah berkeluarga, gak ada banyak lagi kesempatan datang seperti di masa bujang.
Depok, 30 Oktober 2006
 
, posted by Van Elki at 18:29
SETIAP Hari Raya Idul Fitri, selalu memiliki kesan yang begitu kuat kepada orang yang merayakannya. Termasuk saya. Tetapi lebaran kali ini, ada hal yang belum saya merasa puas. Bukan materi. Tetapi soal puasa. Puasa kali ini, kalah 16 hari. Angka ini melonjak jauh dibanding puasa tahun lalu yang hanya kalah 3 hari. Bukan apa-apa, tanggal 2 Oktober sampai dengan 17 Oktober lalu, saya ada di Papua, atau sekitar 16 hari. Di Papua saya tak puasa selama 13 hari. Sebelum berangkat ke Papua, sudah kalah 3 hari.

Di Papua, tepatnya di Wasior, agak sulit bagi saya menjalani puasa. Energi saya banyak terkuras, sehingga banyak membutuhkan cairan agar tidak dehidrasi. Dan baru tiga hari terakhir ada di Manokwari, puasa saya di Papua bisa kembali normal.

Di sisi lain saya mendapat kesejukan rohani yang luar biasa. Meski nilainya tak seberapa. Tapi lebaran kali ini, saya punya keberanian lebih untuk menyisihkan sebagian besar isi kantong saya untuk shadaqah kepada orang lain, termasuk juga sanak famili. Apalagi, adat betawi punya budaya angpaw. Budaya memberi uang di dalam amplop yang diadopsi dari orang-orang China saat merayakan hari tahun barunya. Target angpaw saya adalah saudara-saudara sepupu dari pihak ibu, yang jumlahnya ada 32 orang. Kebanyakan mereka masih berusia anak-anak. Ibu saya kebetulan dari keluarga besar dengan 11 orang bersaudara.

Dengan begitu, terpaksa bugjet beli pakaian baru atau pun barang-barang baru saya tiadakan. Ada rasa kepuasan sendiri, dan begitu nikmat ketika melihat orang lain bahagia. Saya termasuk orang yang meyakini, bahwa shadaqah itu adalah pintu rejeki. Semakin banyak kita shadaqah, semakin besar Tuhan membuka pintu rejeki kepada kita. Amin.


ADA dua versi lebaran, ada yang senin, ada yang selasa. Pemerintah memutuskan hari Selasa sebagai 1 Syawal 1427 Hijriyah. Saya dan keluarga ikut yang hari Selasa, 24 Oktober 2006. Warga Muhammadiyah umumnya melaksanakan lebaran pada hari Senin, 23 Oktober 2006. Tapi tak semua seragam, ada juga warga Muhammadiyah yang merayakannya pada hari Selasa. Hal yang sama juga terjadi pada warga NU. Tak semua warga NU merayakannya pada hari Selasa. Di Jombang dan Kediri, Jawa Timur, warga NU memutuskan lebaran pada hari Senin.

Soal perbedaan penentuan 1 Syawal ini, sampai kini masih membingungkan buat saya. Dulu waktu kuliah, ada mata kuliah ilmu falak. Ilmu yang salah satunya mengajarkan cara menghitung dan menetapkan tanggal dalam bulan Hijriyah. Tapi sayang, karena ini bersifat eksakta, membuat saya amat memusuhi mata kuliah ini, dan tidak tertarik untuk mendalaminya.

Memang tidak mengenakkan juga, ada dua versi lebaran. Terkesan, kok Islam beda-beda, Islam terpecah-pecah. Makanya beberapa tokoh agama, kemudian ’pagi-pagi’ sudah mengingatkan, bahwa perbedaan dalam pelaksanaan hari raya, tidak perlu dibesar-besarkan. Perbedaan dalam Islam adalah rahmah. Islam adalah agama yang menghargai perbedaan.

Saya salut atas peringatan ini, baik dari tokoh Muhammadiyah, maupun dari NU. Statemen-statemennya menyejukkan. Nampak sekali sepertinya mereka bukan hanya ulama, tapi juga negarawan.

Tapi ada hal yang saya masih tak habis pikir. Mengapa respon atas perbedaan itu, justru tidak mereka tunjukkan dalam menghadapi fenomena Ahmadiyah. Bisa jadi memang ada yang beda secara subtansial. Dalam kasus Ahmadiyah, ada perbedaan yang bersifat furu’iyah. Sementara, dalam perbedaan 1 Syawal, sebaliknya bersifat Syar’i. Antara keduanya, dianggap yang paling pokok, adalah yang furu’iyah. Sehingga perbedaan dengan Ahmadiyah dianggap sah dihadapi dengan kekerasan. Ulama Muhammadiyah dan NU memang menolak cara kekerasan, namun tak ada upaya kongkrit untuk mencegah kekerasan.

Adapun kasus perbedaan 1 Syawal, menurut saya tak kalah sama bobotnya dengan kasus Ahmadiyah. Karena di sana ada hukum haram yang ternyata dipaksa ditafsirkan secara kompromis. Padahal doktrin hukumnya, bersifat jelas, tidak syak. Hadist Nabi yang shahih menyatakan, barang siapa berpuasa di hari Raya Idul Fitri, maka haram hukumnya.

Haram adalah salah satu dari 4 hukum taklifi dalam hukum Islam selain Wajib, Sunnah, dan Mubah. Haram bermakna, apabila suatu perbuatan dijalankan maka mendapat dosa, dan bila ditinggalkan mendapat pahala.

Saya pernah ditanya oleh seorang kawan. Berdasar hadist Nabi tadi, lantas, apakah kaum muslim yang tetap berpuasa di hari Senin adalah berdosa, dan sebaliknya kaum muslim yang tidak puasa dan merayakan Lebaran di hari Senin justru mendapat pahala? Aduh, ini pertanyaan yang gampang-gampang rumit. Saya tak lincah menjawabnya.

Saya hanya tahu, bahwa para ulama memberikan pendapat dengan jalan tengah. Yakni, mengembalikan keyakinan kepada masing-masing individu. Puasa di hari Senin menjadi haram, apabila orang yang puasa meyakini bahwa di hari itu adalah tanggal 1 Syawal. Juga sebaliknya, tidak menjadi haram apabila diyakini bahwa hari itu masih tanggal 30 Ramadhan. Jadi misalnya, warga Muhammadiyah tidak bisa ’menjudge’ bahwa warga NU yang tetap berpuasa di hari Senin adalah dosa. Vonis dosa tidak bisa dijatuhkan kepada warga NU, karena mereka yakin, bahwa hari itu masih tanggal 30 Ramadhan.

Saya setuju dengan pendapat ini. Keyakinan subjektivitas individu dijadikan alat ukur untuk menjatuhkan vonis hukuman. Haram atau tidak haram. Begitu juga wajib atau tidak wajib, sunnah atau tidak sunnah, mubah atau tidak mubah. Tapi lagi-lagi, mengapa hal ini tidak dipraktekkan dalam menilai kasus Ahmadiyah? Toh secara subtansi juga sama. Ada soal keyakinan yang berbeda.

Saya bukan pembela ajaran Ahmadiyah. Tapi saya hanya tak senang pola intimidasi dan kekerasan dijadikan solusi menghadapi jama’ah Ahmadiyah. Termasuk juga terjadi banyak pada kasus lain. Itulah dinamika problem kaum muslim yang hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi.

ZAMAN sudah semakin canggih. Dahulu orang mengucapkan selamat lebaran kepada sanak famili dan koleganya secara langsung, atau via telepon. Kini di era Handphone (HP), sudah cukup dengan SMS saja. Ini metode yang murah meriah, tetapi efektif untuk menjalin tali silaturahmi.

Sejak tahun 2004 lalu, setiap Hari Raya Idul Fitri, HP saya menjadi sasaran SMS banyak kolega. Baik dari kolega yang muslim, maupun yang non-muslim. Isinya, ucapan selamat Hari Raya dan permohonan maaf lahir bathin. Lebaran kali ini, setelah saya hitung, ternyata saya mendapat kiriman sekitar 120-an lebih SMS. Semua SMS itu saya balas. Di luar angka itu, saya juga mengirim SMS ke sejumlah nomor HP. Sekitar 50-an nomor yang dikirim. Ada yang dibalas, juga ada yang tidak.

SMS di hari raya ini, bak festival. Semua orang sepertinya berlomba merangkai kata-kata puitis. Dari sekian banyak SMS itu, banyak yang isinya unik-unik. Kali ini SMS dari Kepala Divisi saya di kantor, seorang penganut Katolik, saya anggap salah satu yang indah. Saya tidak tahu, apakah teks itu dibuat sendiri olehnya, atau dia dapat dari orang lain lalu diforward ke saya. Isinya:

”Dalam kerendahan hati ada keluhuran budi... Dalam kemiskinan ada kekayaan jiwa... Hidup ini indah jika ada maaf di antara kita... Minal Aidhin wal faizin... Mohon maaf lahir bathin...”

Lalu juga ada SMS dari kawan junior di UIN.

“Berguru hidup pada perjuangan, berguru hati pada keikhlasan, berkaca jiwa pada mereka yang papa. Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir bathin.”

Ada juga yang bernada humor yang dikirim oleh kawan satu kelas di UIN.

“Kirim parcel dilarang KPK, transfer uang gak tahu rekening. Kirim karangan bunga, lo masih hidup. Jadi gw hanya bisa kirim ucap mohon maaf lahir bathin”

”Kadang ucapan tak sejernih XL & hati sulit menerima layaknya FLEXI, sehingga hari tak secerah MENTARI pagi. MY FREN, BEBAS-kan temanmu ini dari dosa-dosa. Mohon maaf lahir bathin.”

Dari semua SMS, ada satu SMS yang cukup istimewa. Karena si pengirim SMS adalah salah seorang kandidat calon wakil Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. Saya kira nomor HP saya sudah hilang di HP-nya setelah kini ia tampil menjadi calon elit politik baru di Aceh. Ternyata tidak, dia masih menyimpan nomor saya, dan mengirim ucapan selamat hari raya kepada saya.

Mendapat serangan SMS-SMS itu, saya juga tak mau kalah. Dua teks SMS saya siapkan untuk dikirim kepada orang-orang berdasarkan konteksnya. Dan kini saya sampaikan juga kepada anda semua.

”Saat politik menjadi pelik, saat hukum menjadi bingung, saat ekonomi menjadi ironi, tapi di hari suci ini, semoga menjadi modal memperbaki masa lalu. Selamat hari raya Idul Fitri, Minal Aidhin Wal Faizhin Mohon Maaf Lahir Bathin.”

”Jika ada lidah yang menikam, ada tingkah yang menghujam, ada janji yang terabai, saya mohon maaf lahir bathin. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 Hijriyah.”

LEBARAN kali ini, adalah pertama kalinya lagi saya bersilaturahmi ke seluruh tetangga satu RT (Rukun Tetangga) setelah usai shalat Id. Terakhir kali saya berkeliling adalah saat dulu duduk di bangku SD. Setelah itu tak pernah lagi, kecuali hanya tetangga yang persis di dekat rumah saja.

Dalam proses bersilaturahmi itu, ternyata banyak para tetangga yang baru melihat saya lagi. Mereka umumnya terkejut melihat penampilan fisik saya yang banyak berubah. Selain soal kehebohan melihat perubahan fisik saya, mereka juga ajukan sebuah pertanyaan yang membuat saya jadi risih. Ya, apalagi kalo bukan soal pertanyaan kapan saya menikah. Ini pertanyaan sama yang juga diajukan orang-orang tua dari keluarga Ibu. Lebih dari 10 orang menanyakan hal ini.

Terpaksa, guyonan klasik saya lontarkan. “Iya nih, tanggal dah jelas, bulan dah jelas, cuma tahun yang belum jelas…” jawab saya sambil terkekeh. “Lagian, magang saya di PKS belum selesai...”

“Lho apa hubungannya dengan magang di PKS..?” tanya salah seorang paman.

”Ya itu... Proses Koleksi dan Seleksi-nya belum selesai..!” kata saya dengan maksud sekedar joke. Kontan aja, banyak orang jadi terbahak-bahak mendengarnya.
Writed by Fan
Depok, 26 Oktober 2006
 
, posted by Van Elki at 15:45
MESKI jam menunjukkan pukul 23.30 wib, tapi malam itu di tanggal 24 Februari 2006, arus lalu lintas kendaraan di ruas jalan Buncit Raya ramai, meski tak terlalu padat. Langit sangat cerah, dihiasi banyak bintang.

Malam itu saya tengah berada di sebuah kantor LSM di kawasan Mampang-Jakarta Selatan. Di sana saya hendak menjumpai kawan-kawan saya dari Nusa Tenggara Barat (NTB) yang baru saja tiba di Jakarta hari itu. Saya antusias menyambut kedatangan mereka. Saat mengunjungi NTB pada September 2005 lalu, mereka sudah menjamu baik saya.

Rencananya, sepulang dari sana saya ingin meluncur ke Ciputat. Biasa, kadang setiap Jum’at malam ada agenda diskusi ”warung kopian” dengan kawan-kawan lama di kampus. Ini tradisi yang masih dijalani untuk saling share informasi soal situasi nasional up to date di negeri ini. Biar tidak menjumudkan, kadang diselingi juga ngerumpi sana-sini, bak acara ngegosip di infotainment.


MOTOR Honda GL Pro Neo Tech buatan tahun 97 akhir, yang hampir 1 tahun saya tunggangi, menjadi teman setia dalam membelah belantara kemacetan Jakarta. Meski barang lawas, tapi mesinnya bandel. Lebaran tahun lalu, 2005, saya pernah bawa GL Pro ini dari Depok ke pantai Anyar dengan jarak 380 km pulang pergi (PP), bersama rombongan touring 37 motor. Hasilnya, si GL Pro ini sehat-sehat saja, sementara kawan lain yang membawa ”King” dan ”Thunder”, ternyata mesinnya”batuk-batuk.”

GL Pro ini juga yang saya tunggangi pada malam itu. Usai pertemuan, motor langsung saya ‘geber’ ke arah Ciputat. Malam itu, jalan Buncit Raya tak terlalu sepi, juga tak terlalu ramai. Ruas di jalan ini ada 4 jalur. 2 Jalur ke arah Ragunan, 2 jalur ke arah Kuningan. Setiap 2 jalur, difungsikan untuk jalur lambat dan cepat. Antara jalur lambat dan jalur cepat terdapat Separator yang terbuat dari ’semen batu’. Separator berfungsi memisahkan jalur lambat dan jalur cepat agar arus kendaraan teratur. Tinggi separator dari permukaan jalan (aspal) sekitar 30 cm. Dan lebar sekitar 50 cm.

Seminggu sebelumnya saya melewati ruas jalan ini, dan melihat ada razia Polisi. Targetnya adalah pengendara roda dua (motor) yang melintas di jalur cepat. Sepertinya Polisi sudah mulai tegas. Padahal sebelumnya tak pernah terlihat ada razia seperti itu. Untunglah saya lolos, karena tidak jadi masuk di jalur cepat dan tetap di jalur lambat. Itulah mengapa pada malam 24 Februari, saya tetap melaju di jalur lambat, dan tidak tertarik masuk di jalur cepat, yang sebenarnya lebih lebar jalurnya.

Sementara itu, jarum indikator di speedometer menunjuk ke angka 60km/jam. GL Pro melaju kencang di jalur lambat dari arah Kuningan ke arah Ragunan. Di depan, sebuah bus Metromini ’75’ jalur Blok M – Ps. Minggu, berjalan lambat tengah mencari dan menurunkan penumpang. Hampir separuh bodinya menutupi lebar jalan di jalur lambat. Jalan saya terhalang. Emosi saya diuji. Saya pun mencoba bersabar berjalan pelan di belakangnya, sambil bersiap-siap menunggu moment untuk menyalib.

Memasuki sebuah tikungan tipis ke kiri, persis di depan kantor Dealer Nokia Mampang, kesempatan menyalib pun datang. Karena jalur lambat dan jalur cepat menyatu, dan tidak dibatasi separator. Saya bersiap menyalib. Arah belakang ditengok, aman. Dari arah depan, saya tidak mengintip. Pikir saya, menyalib kendaraan di jalan satu arah, tidak perlu mengintip ke depan lagi. Langsung hajar saja, karena toh tidak ada kendaraan dari arah berlawanan. Kecuali berada di jalan dua jalur berlawanan.

Tanpa pikir panjang, bodi motor saya goyang ke samping kanan Metromini. Gas ditarik penuh. ”BRRUUUM....,” GL Pro lincah menyalib. Separuh panjang bodi Metromini sudah berhasil dilewati. Posisi kedua ban GL Pro sudah berada di garis tengah antara jalur lambat dan jalur cepat. Tiba-tiba mendadak, di depan teronggok sebuah ujung separator yang membatasi jalur lambat dan jalur cepat. Jantung saya sepontan berdetak keras. Adrenalin saya meningkat cepat. Sepintas terpikir mau membanting setir ke arah kanan, tapi resikonya besar, karena arus kendaraan dari sebelah kanan cukup ramai dan berkecepatan tinggi. Membanting ke kiri, pasti akan membentur bodi Metromini.

Mau tak mau, rem tangan pun ditarik keras. Rem kaki diinjak dalam-dalam. Dan akhirnya... ”BRAAAAK....!!” Telat... GL Pro yang gagah itu terpental dan terseret di jalur lambat sejauh 10 meter di depan saya. Tubuh saya terlontar dan terguling, dan jatuh di jalur lambat. Kepala saya yang dilindungi helm itu membentur aspal. Tangan kanan membentur siku separator. Sikut menggesek aspal. Pinggul beradu dengan bodi motor. Motor dan saya jauh terpisah. Waktu begitu singkat. Sekejap, saya dapatkan posisi tubuh sudah tergeletak di atas aspal yang berjarak 1 meter dari separator.

Dengan sigap, otak saya yang masih sadar 100% itu meminta segera bangkit dari aspal. Kalau tidak, kendaraan yang datang dari arah belakang pasti akan melindas. Dengan sisa-sisa kekuatan, saya mencoba bangkit berdiri. Namun tak berhasil. Saya kehilangan tenaga. Tetapi perlahan-lahan saya merayap mendekati separator. Setapak demi setapak, separator akhirnya berhasil jangkau.

Dengan tenaga tersisa, saya naikkan tubuh ke atas separator. Lalu menelungkupkan tubuh di atasnya. Sesaat kemudian, saya mulai mengatur nafas dan detak jantung agar teratur. Rasa nyeri mulai muncul terasa di bagian pinggul dan tangan kanan.

Sampai 10 menit, saya masih ‘tengkurap’ di atas separator. Sampai akhirnya, seorang pria pengendara motor menghentikan kendaraannya, lalu menghampiri saya dan memberikan pertolongan. Beberapa orang warga juga ikut menghampiri.

”Mas... helmnya saya buka dulu ya... biar situ bisa bernafas...?” pinta seseorang.

Helm setengah tutup yang saya kenakan mulai dibantu dilepaskan.

”Gimana, masih bisa jalan gak mas...?” tanyanya lagi.

”Gak tau nih, kayanya tangan kanan saya patah...”

Perlahan tubuh saya mulai dibantu berdiri. Beberapa orang awalnya hendak menggotong saya. Tapi saya tolak. Saya mencoba berjalan meski dengan kaki terpincang. Sekitar 3 orang warga membantu memapah saya jalan ke arah trotoar jalan. Segelas air mineral disodorkan oleh salah seorang. Saya lalu meneguknya sembari duduk di atas trotoar. Tak lama, sekitar 20-an orang datang mengerubungi saya, melihat-lihat.

”Kenapa mas..?” tanya salah seorang.

”Iya... saya nabrak pembatas jalan. Niatnya mau nyalib Metromini dari kanan. Eh tau-tau ada pembatas jalan, dan saya gak lihat karena tidak kelihatan, mau banting ke kiri ato kanan ragu, saya sudah usahakan ngerem, tapi gak ketahan juga,” jelas saya.

”Wah, di situ memang sering banyak yang jatuh mas. Bukan mas aja. Emang posisinya di tikungan, jadi banyak orang yang nggak liat.”

Seorang berseragam Satpam menghampiri saya. ”Mas, motornya sudah saya angkat dan saya bawa masuk ke dalam parkiran hotel, biar situ nanti gak ada urusan sama Polisi,” katanya. Saya mengucapkan terimakasih kepadanya.

Saya masih tetap duduk di atas trotoar dengan kondisi yang masih shock. Saya masih tak habis pikir apa yang telah terjadi malam itu. Makian kepada diri sendiri yang ceroboh ini, terus menggumam.

Sementara itu perlahan-lahan, kerumunan orang di sekitar saya mulai menyepi. Mungkin mereka melihat kondisi luka saya nampak tak terlalu serius. Dan akhirnya hanya satu orang saja yang tetap tinggal di samping saya. Nampaknya seperti orang yang pertama kali membantu membuka helm saya. Ia adalah seorang pria pengendara motor yang kebetulan lewat dan kemudian menolong saya. Sepertinya sebaya dengan saya.

”Mas mau ke arah mana dan tinggal di mana?”

”Saya tinggal di Depok, tapi rencana mau ke Ciputat.”

“Mas, situ saya mau bantu apa..? Apakah saya antar ke rumah sakit, atau saya antar pulang ke rumah...? Boncengan naik motor Tiger saya juga boleh, atau kita naik taksi ke Depok..? kebetulan saya juga ke arah Depok,” tanyanya menawarkan bantuan.

“Oya terimakasih bung..., sebentar ya... saya cek dulu kondisi saya dan motor saya,” pinta saya dengan terbata-bata menahan sakit.

Perlahan saya bangkit berdiri dan berjalan menuju Hotel tempat motor saya yang diparkirkan oleh Satpam tadi. Hotel ini hanya berjarak 10 meter dari posisi saya jatuh. Saat berjalan, kembali rasa sakit timbul menyengat di bagian pinggul dan lutut, sehingga jalan pun menjadi tidak normal, terpincang-pincang. Terlihat, di bagian kiri pinggul ada luka memar lebam berwarna biru dengan diameter 10 cm. Lutut lecet, dan celana jeans hitam yang saya pakai juga terlihat robek di beberapa bagian.

Di bagian lain, jaket saya juga robek di lengan kanan. Saya merasa tangan kanan benar-benar telah patah. Sebab rasa nyeri dan kesemutan terus menjalar ke arah tangan kanan. Tangan kanan pun mulai tak bisa digerakkan. Sepertinya aliran darahnya mulai tersumbat. Saya teringat, sewaktu jatuh, tangan kanan mengalami benturan keras dengan siku separator.

”Oh Tuhan, semoga tidak apa-apa dengan tangan kanan ku ini,” gumam saya.

Sampai di parkiran hotel, ”Ya Tuhan,” saya terperanjat melihat bentuk GL Pro yang tadinya gagah itu kini tak lagi gagah. Kedua velg bannya sudah tak berbentuk lingkaran lagi. Velgnya meliuk-liuk bak ular menari. Lampu depan pecah. Speedometer hancur. Knalpot pengok. Dan Tanki remuk. Motor tak mungkin lagi dipaksa jalan.

Akhirnya saya putuskan menitipkan motor di parkiran Hotel kepada Satpam. Dan berjanji akan ada orang lain yang mengambilnya besok. Dengan dikawani oleh pengendara Tiger tadi, saya ambil Taksi menuju tempat dukun patah tulang terkenal di bilangan Cilandak. Ini adalah kedatangan saya yang kedua kali ke tempat ini. Setelah sebelumnya pertama kali pada tahun 1991 silam. Waktu itu pergelangan tangan kanan saya juga pernah patah akibat jatuh dari atas truk saat sedang meramaikan kampanye Pemilu salah satu partai. Luka patah yang pertama itu dapat sembuh total setelah 1 bulan. Karena mungkin tulang saya waktu itu masih muda, sehingga lebih cepat dipulihkan.

Di tengah perjalananan, di dalam Taksi, kembali saya lontarkan rasa terimakasih saya kepada pengendara Tiger.

”Waduh bung, saya terimasih banyak ini, bung sudah mau antar saya... dengan apa saya bisa membalas kebaikan bung?” ucap saya.

”Gak apa-apa mas, saya begini karena saya mau balas jasa orang lain yang pernah menolong saya sewaktu kecelakaan di Bekasi dulu. Waktu itu, malam-malam seperti ini juga saya pernah jatuh, sepi gak ada orang yang nolong. Tapi ada satu yang orang baik sama saya, lalu menolong dan mengantar saya ke Rumah Sakit. Nah sekarang saya mau balas jasa dia sama mas, saya kira mas juga harus begitu. Balasnya mungkin gak sama saya, tapi sama orang lain aja,” jawabnya datar.

Terenyuh hati mendengarnya. Betapa di zaman yang serba individualis ini, ternyata masih ada orang begitu baik seperti orang ini. Hingga kini, pernyataannya selalu saya ingat. Di dalam hati, saya berjanji akan memenuhi permintaannya untuk membalas kebaikannya kepada orang lain.

Sesampai di rumah, sudah pukul 01.30. Mata sudah lelah, tak tahan lagi untuk mengurangi rasa nyeri dengan tidur. Seperti biasa, menyaksikan berita di TV selalu menjadi teman memejamkan mata.

Dalam sebuah siaran berita di Global TV, diberitakan tentang adanya 10 orang mahasiswa Papua yang ditangkap karena membakar sebuah gedung di kawasan Kuningan. Dalam tayangannya, Seorang pria mengenakan batik tengah diwawancarai oleh wartawan dengan kapasitasnya sebagai pengacara dari 10 orang mahasiswa.

Saya baru teringat, ternyata tadi siang saya berada di sebuah kantor Polisi, dan di sana saya sempat memberikan keterangan kepada wartawan mengenai kasus yang sedang saya tangani. Dan kini malamnya, saya terbaring mengerang kesakitan. Sungguh, sesuatu yang tidak dapat dipercaya, tapi terjadi. Siang ’masuk TV,’ malam ’masuk perawatan’.


KECELAKAAN di malam itu akhirnya diketahui, hasil rontgen menunjukkan tulang ulna (tulang lengan bawah) saya patah. Atau istilah medisnya ”fracture des ulna 3/4 distal.” Arti teksnya saya kurang tahu. Tapi tafsiran bebasnya, tulang ulna saya mengalami patah dan terjadi pergeseran posisi sebanyak 3/4. Dokter orthopedi di Depok menyarankan saya untuk menjalani operasi pemasangan pen. Tapi setelah mendengar banyak pertimbangan dari banyak kawan dan keluarga, saya pilih pengobatan alternatif, dukun patah tulang. Tujuannya agar masa penyembuhannya lebih cepat, ketimbang cara medis yang bisa makan waktu 1 tahun lebih.

Sejak saat itu, semua aktivitas saya terhenti. Kondisi tangan kanan yang luka patah dan disertai pembengkakan, membuat saya tidak bisa melakukan aktivitas secara leluasa. Termasuk naik motor. Akhirnya, hari-hari saya selama 2 bulan lebih, dihabiskan hanya di rumah saja. Ini menjadi rutinitas baru yang amat menjumudkan. Izin istirahat terpaksa saya ajukan ke kantor.

Waktu istirahat, benar-benar dimaksimalkan untuk penyembuhan dan pemulihan. Selama 2 bulan itu, 7 kali saya mendatangi dukun patah di Cilandak. Sampai satu bulan, hasilnya belum memuaskan. Tangan kanan belum menunjukkan kemajuan. Bunda meminta saya agar bersabar. Tetapi saya tak sabar. Dan saya putuskan untuk cari alternatif berobat di tempat lain. Sekian banyak kawan saya hubungi. Akhirnya dipilihlah Bandung sebagai target. Tepatnya di daerah Ciparay. Seorang kawan lama yang tinggal di Bandung merekomendasikannya dan bersedia mengantar saya ke sana.

Dengan keadaan tangan kanan masih dibalut perban, dan belum bisa banyak digerakkan, saya berangkat sendiri ke Bandung dengan menumpang bus umum. Padahal banyak tawaran datang untuk mengantar dan menemani ke Bandung. Prinsip saya yang tak mau merepotkan orang lain, membuat saya mengabaikan tawaran itu. Pulang dari Bandung, hasilnya cukup positiv. Ada perubahan. Tangan kanan sudah bisa melakukan beberapa ’manuver,’ meski belum sempurna 100%.


PROSES penyembuhan yang saya jalani adalah masa-masa krisis. Ketidakyakinan akan kesembuhan terus menghantui pikiran, dan selalu membuat gelisah. Apalagi tekanan pyikis, amat kuat menghujam. Sehingga makian kepada diri sendiri dan mengutuk nasib terus merapal di bibir. Yang paling berat adalah melawan tekanan pisik. Karena tugas-tugas si tangan kanan, terpaksa harus diambil alih oleh si tangan kiri dalam melewati hari-hari.

Syukurlah, dukungan keluarga dan kawan-kawan yang datang menjenguk, membuat saya dapat mengolah proses ini secara rohani dengan baik. Terutama Bunda. Ia tidak bosan-bosannya memberikan semangat. Katanya, Tuhan itu punya banyak cara untuk mengangkat derajat hambanya. Nah, memberikan ujian dan cobaan dengan musibah adalah salah satu caranya.

Ya memang, sudah sepatutnya saya harus bersyukur. Mestinya, kecelakaan di Buncit itu, sudah cukup untuk merenggut nyawa saya. Tapi Tuhan memang maha besar. Di tangannya, ia selamatkan hidup saya.

Di kala musibah sedang membekap, beruntunglah, pada 10 Maret 2006 lalu, sebuah pengumuman membuat saya menjadi sadar betapa rasa syukur harus dipanjatkan kembali kepada Tuhan. Di hari itu, Perhimpunan Advokat Indonesia (biasa disebut PERADI) mengumumkan nama-nama peserta yang lulus dalam Ujian Advokat (Pengacara) pada 4 Februari lalu. Tiga minggu sebelum kecelakaan menimpa, bersama 6000-an orang peserta di seluruh Indonesia, saya mengikuti ujian calon advokat. Dalam pengumuman itu, nama saya tercantum. Berita ini sedikit membantu mengurangi tekanan pyikis yang tengah saya hadapi.

Bisa dibayangkan, bagaimana seandainya kalau musibah ini terjadi sebelum ujian advokat dilaksanakan. Tentu masalah besar. Karena tangan kanan saya tidak akan mampu menulis. Padahal ujian itu adalah salah satu taruhan masa depan.

Kini, kondisi tangan kanan mulai membaik, meski belum bisa difungsikan maksimal mengangkat benda-benda berat. Awal Mei lalu, aktivitas harian mulai kembali dijalani seperti biasa. Saya mulai kembali masuk kantor. Untuk mobilitas, saya terpaksa mengunakan angkutan umum, karena si tangan kanan ini belum cukup kuat memegang setang motor.

Dan baru di akhir Juni, GL Pro yang babak belur itu, mulai saya persolek dan akhirnya kembali bisa ditunggangi. Senyum menghias lagi. Bisa mengendarai motor kembali, adalah kebahagiaan tersendiri yang tak tergantikan. Begitu pun juga dengan Senar gitar yang sudah bisa saya petik dengan lincah. Sehingga alunan suara gitar yang saya mainkan, kembali dapat menjadi teman mesra dalam kesepian mengisi masa lajang. Ehem... %^$(&*%$#.


DARI cerita ini semua, tidak ada maksud saya untuk mencari empati orang lain. Tulisan ini hanya untuk menyampaikan bahwa ada pesan moral dibalik cerita ini. Karena banyak pelajaran dan hikmah yang dapatkan dikemukakan. pertama, tentu saya belajar bagaimana mensyukuri nikmat Tuhan. Musibah ini, menyadarkan betul, betapa memiliki organ tubuh yang dapat berfungsi dengan baik, adalah suatu nikmat yang tiada taranya. Dan karenanya patut disyukuri dan dirawat sebaik mungkin.

Bisa dibayangkan, tidak berfungsinya tangan kanan dalam jangka waktu lama (hampir 3 bulan), membuat tangan kiri terpaksa mengambil-alih semua tugas-tugas si tangan kanan. Dan betapa repot luar biasanya si tangan kiri melaksanakan kerja-kerja yang biasa dilakukan si tangan kanan, dan tidak biasa dilakukan oleh tangan kiri. Keadaan ini menguatkan empati saya kepada orang-orang yang nasibnya tidak seberuntung saya. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya orang-orang yang kehilangan anggota tubuhnya dalam menjalani hari-harinya.

Sebagai wujud rasa syukur, relasi dengan Yang Maha Kuat mulai saya perbaiki. Sebelumnya, relasi formalitas kering yang dijalani, saya coba ubah agar lebih bermakna dan lebih kontemplatif. Berbagi kasih kepada yang papa juga bagian yang tak ingin terlewatkan.

Pelajaran kedua, adalah saya mulai mengubah cara prilaku dalam mengendarai motor. Selama ini, karakter naik motor saya termasuk pengendara yang ’sopan’. Tetapi, terkadang situasi di jalan, emosi saya mudah terpancing oleh prilaku dari pengendara lain. Dalam situasi emosi itu, kehati-hatian dan akal sehat bisa menjadi hilang. Ini yang terjadi pada malam 24 Februari lalu. Sikap supir Metromini yang tidak memberi jalan, akhirnya membuat emosi menguap. Dan akhirnya, terjadilah. Sikap kesabaran dan kerendah-hatian dalam mengendara sangat penting. Kini saatnya berusaha belajar menjalaninya.

Dan pelajaran ketiga, membantu orang lain adalah karma. Yaitu budi baik yang harus kita tanam kepada siapa saja agar kita juga mendapat kebaikan di suatu hari nanti. Tanpa melihat latarbelakangnya apa, seorang yang mesti ditolong, haruslah ditolong dengan tenaga kita yang paling maksimal. Balasan kebaikan yang kita berikan, jangan pernah kita harapkan balasannya saat itu juga. Tetapi harus difahami ada balasan dalam bentuk lain, di waktu lain, dan dalam situasi di mana kita ternyata membutuhkan kebaikan orang lain.

Selama kita dalam kondisi bisa membantu dan menolong orang lain, kenapa toh tidak kita segera lakukan. Kita juga manusia mahluk yang lemah. Mahluk yang suatu saat juga membutuhkan pertolongan orang lain. Dan sejak kejadian itu, ketika menjumpai orang-orang yang mendapatkan kecelakaan di jalan, saya mulai memarkir motor saya dipinggir jalan. Lalu membantu mereka secara maksimal mungkin. Meski melihat darah dan luka adalah sesuatu pemandangan yang sebelumnya sering saya hindari dari penglihatan, namun demi kemanusiaan, hal itu harus saya kesampingkan.

Akhirnya, ”Ya Allah ya Tuhan kami... Engkau Maha Pelindung, lindungi kami dari marabahaya...”

Depok, 30 September 2006
By Fan.