Sunday, December 16, 2007, posted by Van Elki at 22:36
13 Des 2007
Pantai Seminyak-Kuta


Hampir delapan tahun saya tak menginjak kaki di pulau dewata. Setelah kunjungan pertama pada 16 Maret 2000 silam, baru kali ini saya kembali lagi menyambangi provinsi yang menjadi icon wisata Indonesia di mata dunia itu.

Selasa kemarin, 11/12/2007, saya berada di Denpasar - Bali. Sayang, hanya beberapa hari saja. Sehingga tak banyak waktu untuk ‘menjilati’ pesona alam Bali.

Di mana-mana, kesan pertama selalu lebih indah dari kesan kedua. Perjalanan pertama saya ke Bali tahun 2000 silam melalui jalur darat, lebih berkesan ketimbang perjalanan kali ini melalui udara. Mengapa?

Karena saya bisa menikmati detik demi detik, seluk demi seluk, dan jengkal demi jengkal, menghirup perlahan-lahan aroma tanah Bali. Mulai dari Gilimanuk, dan berakhir di Denpasar.

Apalagi, saya tiba di Denpasar menjelang matahari terbit. Suasana pagi di terminal antar kota di Denpasar, dengan ditemani secangkir kopi di sebuah kedai, terasa khidmat sekali berada di Bali di hari pertama.

Tidak kali ini. Saya tiba di Denpasar melalui Bandar Udara. Malam pula. Tak ada yang berkesan. Kecuali paginya, tatkala bangun tidur, di hadapan saya sudah terbentang luas pasir putih dan alunan ombak pantai seminyak – kuta.

Bali memang tanah penuh pesona. Seluruh lekuk bagian tanahnya, tak ada yang tak istimewa untuk bisa dinikmati. Termasuk arak-nya yang tak pernah saya lupakan, karena pernah membuat tenggorokan saya seperti terbakar. Saya beruntung. Delapan tahun silam, saya sudah menelusuri 3/4 pulau ini. Mulai dari Gilimanuk, Denpasar, Kuta, Sanur, Nusa Dua, Ubud, Bangli, Kintamani, Karang Asem, dan Singaraja. Dan beruntung pula bisa menikmati suasana Nyepi di Bali.

Saya berkhayal, kelak bisa berbulan madu dengan sang isteri tercinta di Bali. Seorang kawan lama, yang juga pemilik penginapan di Ubud, sejak kini sudah saya tagih untuk memberikan kado nikah dengan memfasilitasi bulan madu saya di Ubud nanti.

Semoga. :)
 
Sunday, December 02, 2007, posted by Van Elki at 19:59
PREDIKSI saya tak meleset, kalau pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur dari jalur independen ini akan mendulang sukses di Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hasil quick count (perhitungan cepat) Lembaga Survei Indonesia (LSI) tadi malam, Senin 11 Desember 2006, pasangan Irwandi Yusuf – Muhammad Nazar mendapat 39,27 persen suara. Sementara pasangan Humam Hamid – Hasbi Abdullah berada di posisi kedua dengan raihan 16,17 persen suara. Sementara enam pasangan lainnya jauh tertinggal di bawahnya.

Bila hasil quick count ini sejalan dengan hasil akhir resmi perhitungan suara oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, pada tanggal 2 Januari 2007 nanti, maka menurut Qanun (Perda) Provinsi NAD No.7 tahun 2006, dapat dipastikan pasangan calon Irwandi-Nazar ini akan sah menjadi Gubernur Aceh pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat Aceh. Karena ia adalah satu-satunya pasangan calon yang suaranya mencapai 25 persen plus satu dari total suara yang sah.

Bagi kebanyakan orang, nama Irwandi Yusuf tak banyak dikenal sebelumnya. Jangankan di Jakarta, di Aceh sendiri juga tak begitu dikenal. Justru nama wakilnya, Nazar, sebenarnya yang lebih dikenal. Wajar bila banyak kawan saya meyakini, bahwa kesuksesan Irwandi-Nazar dalam Pilkada Aceh kali ini, lebih banyak dikatrol oleh faktor Nazar, yang memang sudah populer di kalangan publik Aceh sebagai koordinator SIRA (Sentral Informasi Referendum/Rakyat Aceh).

Tapi menurut saya, asumsi itu sangat spekulatif. Dan sangat mengecilkan potensi besar dukungan diam-diam yang diberikan para eks kombatan serta simpatisannya kepada Irwandi-Nazar. Karena bagaimana pun juga, Irwandi mewakili kelompok eks kombatan yang memiliki cara pandang cukup progresif, dibandingkan dengan elit politik tua di kubu GAM.

Di bandingkan dengan Irwandi, saya lebih dulu mengenal (mendengar) nama Nazar. Saya baru mengenal nama Irwandi saat kali pertama mengunjungi Aceh pada bulan Mei 2004 silam, seorang kawan di Jakarta menitipkan salam untuk Irwandi kepada saya. Di situ saya baru tahu bahwa Irwandi ternyata adalah nama seorang terpidana makar yang dituduh menjadi konseptor Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

----------
LANGIT di atas kota Banda Aceh pada suatu sore di bulan Mei 2004 sangat cerah. Meski hawa panas di kota pesisir pantai itu begitu menyengat, tapi tak sampai mengganggu diskusi saya dengan salah seorang Narapidana Politik (Napol) di suatu sudut ruangan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Keudah-Banda Aceh. Napol yang tengah asyik diskusi dengan saya ini adalah seorang mahasiswa IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Sebut saja, Levi namanya.

Levi adalah mahasiswa Fakultas Dakwah angkatan 1999 yang divonis 3,5 tahun oleh Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh pada tahun 2003, karena dianggap bersalah melanggar pasal 170 KUHP. Aktivis mahasiswa ini diadili akibat aksi demontrasi yang dipimpinnya berbuntut bentrokan dengan aparat Polisi di Banda Aceh pada kisaran awal tahun 2001. Namun baru pada Juni 2003, ia ditangkap pada tengah malam saat sedang tidur di dalam salah satu ruangan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) di dalam komplek kampus IAIN Ar-Raniry di Darussalam-Banda Aceh.

Sore itu adalah kali pertama saya menjumpainya. Antara saya dan dia tak saling kenal sebelumnya. Namun berdiskusi dengannya terasa saya sedang berdiskusi dengan seorang kawan lama. Antara dia dengan saya, memiliki beberapa kesamaan. Sama-sama kuliah di peguruan tinggi Islam negeri, dan sama-sama mengakrabi dunia ”student movement.” Hanya bedanya, dia di Aceh, saya di Jakarta. Setidaknya faktor kesamaan ini cukup menambah ikatan emosional saya dengannya.

Di tengah diskusi yang seru dengan Levi, tiba-tiba seorang lelaki paruh baya yang belum saya kenal wajahnya datang menghampiri. Lelaki yang ditangannya menggenggam The Jakarta Post ini menebar senyum dingin kepada saya. Levi bangkit dari duduknya, lalu menyapanya dan memperkenalkan saya kepadanya. ”Nyoe Irfan pak, asai jih nibak Jakarta,” kata Levi dalam bahasa Aceh sembari menunjuk ke arah saya.

Saya pun bangkit berdiri. Lalu berjabatan tangan dengan lelaki paruh baya itu. ”Irfan,” ucap saya memperkenalkan diri. ”Irwandi,” sergahnya membalas. ”Wah, ini dia orangnya yang dituduh jadi konseptor GAM,” gumam saya seketika.

Diskusi saya dengan Levi terhenti sejenak. Karena lelaki yang mengenalkan diri dengan nama ”Irwandi” ini menyela. Ia memberondong saya dengan pertanyaan seputar latar belakang saya. Termasuk menyebut beberapa nama untuk mengkroscek apakah saya mengenalnya. Nampaknya ia begitu protektif. Lalu setelah ia tahu saya mengenal dekat orang-orang yang namanya ia sebut, barulah Irwandi terlihat rileks dan tak lagi dingin raut mukanya. Sehingga obrolan saya dengan Levi kembali mengalir santai.

Pak Irwandi” (panggilan saya kepadanya) ternyata tak beranjak, justru ia memilih ikut nimbrung. Akhirnya obrolan sore saya di dalam LP itu menjadi tambah lebih semarak dengan kehadirannya. Irwandi amat antusias sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Terutama mengenai kronologi penangkapan, penahanan serta jalannya proses persidangannya. Begitu pun mengenai situasi konflik di Aceh. Ia banyak menuturkan argumentasi-argumentasinya mengapa Aceh bergolak.

Melihat antusias saya berdiskusi, Irwandi lalu meminta Levi memesan tiga cangkir kopi dari sebuah kedai yang ada di dalam komplek LP Keudah. Saya merasa ini sebuah tanda, Irwandi ingin menyambut kedatangan saya pertama kali di Aceh, dan barangkali ia ingin mengatakan kepada saya, ”selamat datang di tanah rencong, negeri seribu konflik.”

-------
NAMA lengkapnya drh. Irwandi Yusuf, MSc. Pria kelahiran Bieruen 2 Agustus 1960 ini adalah seorang dosen di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Pada tanggal 3 November 2003, Pengadilan Negeri Banda Aceh, memvonis Irwandi 7 tahun penjara. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa yang menuntutnya 14 tahun. Irwandi dianggap bersalah melanggar pasal 106 KUHP jo. Ps 55 ayat (1) ke-I KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Tapi ditingkat Banding, Pengadilan Tinggi Aceh justru memvonisnya selama 14 tahun.

Jaksa menuduhnya sebagai wakil juru bicara GAM, Sofyan Daud, dengan gelar Iskandar Al-Pasee. Ia juga dituduh sebagai orang yang mengkonsep pidato-pidato Muzakkir Manaf, panglima GAM. Tak hanya mengkonsep, tapi juga men-translate-nya ke dalam bahasa Inggris. Dan kemudian menyebar-luaskannya ke publik.

Saat saentero Aceh dinyatakan berstatus Darurat Militer pada 19 Mei 2003 oleh Presiden Megawati, tak lama Irwandi keluar dari Aceh, dan menetap di Jakarta. Namun ia ditangkap oleh Polisi di sebuah rumah di kawasan Jakarta Timur. Lalu kemudian dikirim kembali ke Aceh dan diadili di Pengadilan Negeri Banda Aceh.

Sewaktu dalam proses penyidikan, Irwandi mengalami tindak penyiksaan yang cukup sadis. Para penyiksa ingin mengorek banyak keterangan darinya. Namun Irwandi bergeming. “Seluruh badan saya memar-memar waktu itu. Tulang punggung saya seperti patah. Karena punggung saya digebuk dengan balok kayu,” tutur Irwandi kepada saya.

Setelah divonis dan menjalani penahanan, Irwandi termasuk tahanan politik GAM yang akan dikirim ke LP di Jawa. Namun karena putusan kasusnya belum ikract (berkekuatan hukum tetap), maka ia tetap ditahan di LP Keudah Banda Aceh. Sampai akhirnya datang suatu peristiwa yang maha dahsyat terjadi di Aceh pada 24 Desember 2004. Gelombang tsunami meluluhlantakkan pesisir Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kota Banda Aceh termasuk yang paling parah. Sekitar lebih dari 70.000 ribu orang tewas dan hilang di kota Banda Aceh. Dan ribuan bangunan rumah rata dengan tanah. Termasuk bangunan LP Keudah tempat Irwandi dan Levi ditahan juga tak berbentuk lagi. Hancur lebur. Lalu bagaimana nasib Irwandi dan Levi?

Itu pula yang saya pertanyakan kepada banyak orang ketika saya kembali ke Banda Aceh seminggu setelah tsunami. Awalnya tak ada informasi yang pasti. Namun sebuah info mengatakan Irwandi selamat. Begitu juga dengan Levi, sobat saya.

Cerita punya cerita, saya akhirnya bertemu kembali dengan Levi pada bulan Desember 2006 di Banda Aceh, setelah pertemuan terakhir dengannya pada bulan Agustus 2004. Ini pertemuan yang mengharukan buat saya. Saya pun meminta ia bercerita tentang kisahnya. Dari mulutnya mengalir kisah petualangannya dan Irwandi selamat dari Tsunami.

-----------
SEPERTI biasa, hari minggu pagi itu, 24 Desember 2004, Levi bersama ratusan tahanan lainnya asyik bersenam pagi di lapangan voly di dalam komplek penjara Keudah. Tiba-tiba keramahan pagi itu disentak oleh guncangan keras gempa bumi selama 3 menit. Beberapa sudut bangunan penjara hancur dan retak-retak. Seluruh penghuni penjara panik.

Usai kepanikan reda, Levi menemui Irwandi, membahas seputar gempa yang baru saja terjadi. “Di Jepang, biasanya gempa seperti ini bisa menimbulkan tsunami,” kata Irwandi kepada Levi. “Apa itu tsunami pak?” tanya Levi. “Air laut naik ke darat, dan melibas semua yang ada di darat” jawab Irwandi singkat. “Ah mana ada itu tsunami disini,” tukas Levi terkekeh.

Tak lama kemudian, suara gemuruh keras terdengar. Semua penghuni penjara kembali terkejut. “Suara gemuruh itu seperti suara mesin giling berjalan di aspal,” cerita Levi kepada saya. Salah satu tahanan ada yang memanjat tiang bendera, dan melihat keadaan di luar penjara. Seketika itu langsung berteriak, “ada air, air bah, tinggi, lari...!

Suasana di dalam penjara kembali panik. Orang-orang berlari hilir mudik. Levi juga panik, dan berpikir keras mencari perlindungan. Seorang sipir penjara akhirnya membuka kunci pintu keluar penjara, dan meminta semua tahanan berlari keluar selamatkan diri. Namun pintu terlalu kecil, banyak orang berhimpit-himpitan. Tak banyak waktu lagi buat Levi. Dan ia memutuskan memanjat sebuah menara air yan ada di dalam komplek penjara Keudah.

Saat berada di atas menara air, ia menyaksikan dahsyatnya gelombang tsunami menghajar dan menjebol dinding tebal penjara keudah. Dan menara air yang ia naiki juga roboh. Tubuh Levi kemudian terombang-ambing disapu tsunami. Namun ia berhasil berpegangan pada sebuah dinding gedung bertingkat yang ada di samping penjara. Dan berhasil naik masuk ke dalam gedung itu.

Waktu itu aku tidak pakai celana. Karena celana training yang ku pakai untuk senam pagi, lepas saat aku masih diombang-ambing oleh air, akhirnya ku pakai celana orang lain yang ku temukan di dalam gedung itu,” tutur Levi.

Setelah di dalam gedung itu, aku selamat, dan aku lihat banyak mayat bergelimpangan. Mengerikan. Aku lihat pak Irwandi sedang berjongkok di atas atap bangunan mushola penjara yang masih kokoh berdiri. Dia pake celana pendek dan sedang asyik menghisap rokok.”

Begitu air surut, Levi tak tahu lagi kemana Irwandi pergi. Dan Levi pun bergegas keluar dari gedung tersebut mencari perlindungan bagi dirinya sendiri.

Demikian sepintas kisah Levi bersama Irwandi saat tsunami terjadi menghancurkan penjara Keudah.

-----------
BERDISKUSI dengan dua orang Napol ini memang amat menarik. Banyak informasi baru yang saya dapatkan tentang konflik Aceh dari keduanya saat itu. Setidaknya saya mendapat persepsi konflik Aceh dari sudut pandang mereka. Sehingga memperkaya wawasan saya tentang konflik Aceh. Meski saya juga harus memahaminya secara kritis atas setiap argumentasi dan informasi yang terlontar.

Bahkan saking asyiknya diskusi dengan mereka, kadang saya sampai ditegur sipir penjara bahwa waktu kunjungan saya sudah habis. Dalam seminggu, mungkin hampir tiga atau sampai empat kali saya mengunjungi mereka berdua di dalam LP Keudah. Saya kunjungi mereka pada sore hari, ba’da Ashar, setelah saya terbebas dari rutinitas harian. Kadang saya bawa bekal makanan ringan dan rokok dari luar untuk memperbanyak ”teman” diskusi selain secangkir kopi.

Saya menyadari, bahwa menjenguk dan berdiskusi dengan mereka di dalam LP bukan tanpa resiko. Bagi orang lain mungkin lumrah mengunjungi seorang tahanan di dalam LP. Apalagi saya, dulu juga sering keluar masuk LP Cipinang menjenguk salah seorang kawan yang divonis bersalah oleh PN Jaksel atas pasal 170 KUHP akibat peristiwa demonstrasi di depan terminal Lebak Bulus, Juni 2001.

Tapi untuk situasi Aceh di masa Darurat Militer (DM) dan Darurat Sipil (DS), antara 19 Mei 2003 s/d 18 Mei 2005, setidaknya perlu dibutuhkan nyali ekstra untuk menjenguk orang di dalam LP. Apalagi orang yang dijenguk adalah Tapol Napol makar, atau aktivis mahasiswa yang kritis terhadap pemerintah. Bukan apa-apa. Menjenguk mereka, sama saja “cari penyakit.” Makanya, kedua Napol ini hampir tak pernah dapat kunjungan dari kawan-kawan seperjuangannya, maupun orang lain yang tak punya kaitan dengan perjuangannya juga turut takut untuk menjenguk.

Bagaimana tidak, wong di LP itu banyak para ”pemantau.” Di mata para pemantau ini, orang yang menjenguk anggota GAM di LP, kalau bukan keluarganya, sudah pasti di-judge sebagai kawan seperjuangannya. Kalau sudah begitu, jangan harap bisa pulang selamat sampai rumah. Pasti diangkut. Nasib mujur kalau dibawa ke kantor Polisi, lebih jelas. Bagaimana kalau dibawa ke suatu tempat, lalu “disekolahkan.” Wah, siapa yang mau. Apalagi saya, yang baru saja kelar kuliah, dan belum menikah pula. Untunglah ada trik khusus yang membuat saya leluasa dan aman-aman saja untuk keluar masuk LP Keudah. Kalau cuma dipelototi aja, yah gak apa-apa lah.

-------
”TEMAN” diskusi saya dulu itu, kini sudah diambang pintu untuk didaulat menjadi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam periode tahun 2007-2012. Saya turut senang atas kemenangannya. Kemenangannya adalah simbol bahwa rakyat Aceh memang mengharapkan perubahan. Bukan hanya soal keamanan (kedamaian) yang diidamkan, tetapi juga keadilan hukum dan kesejahteraan ekonomi yang juga paling utama diharapkan oleh rakyat Aceh.

Di sisi lain, saya juga was-was akan nasib masa depan Aceh di tangan pemerintahannya. Separuh nasib masa depan Aceh, berada di tangannya. Banyak potensi-potensi konflik yang sampai saat ini masih rentan untuk merusak jalannya perdamaian. Tetapi apa pun itu, sudah sepatutnya kemenangannya harus disikapi secara positif. Dan tak perlu disikapi dengan paranoid.

Sebuah pesan singkat saya kirim ke nomor Hand Phone-nya. ”Selamat atas kemenangan bapak, dan bang Nazar dalam Pilkada Aceh kali ini. Semoga Nanggroe Aceh dapat kembali mencapai zaman keemasannya seperti di masa Sultan Iskandar Muda.” Entah kenapa, pesan singkat saya ke HP-nya masih berstatus pending. Kecuali wakilnya saja, Nazar, membalas SMS saya. ”Thanks ya...” balasnya singkat.

------------
Ditulis di Banda Aceh, Desember 2006
 
, posted by Van Elki at 18:28
terlalu tergesa-gesa kita menduga kawan
ketidakjelasan apa yang kita pandang ini
ternyata mampu meruntuhkan kepercayaan perjalanan
yang mulai tumbuh dalam rancangan kita kawan

kita hanya sebatas mengira-ngira selalu
namun ada yang lupa
bahwa iman di antara kita telah kalah dengan ilusi-ilusi yang tergesa-gesa

kawan
aku tak kecewa
hanya saja rancangan ini tak kan berhenti
aku mesti berjalan dan berjalan terus meski tanpa engkau

ada taktik disini
ada strategi disini
ada politik disini
dan yang lebih penting adalah persiapan matang
aku kira hal itu adalah kekuatan kita

kawan
mungkin ada baiknya kita berjalan sendiri-sendiri dulu
siapa tahu akan menjadi persiapan perlawanan kita

aku tidak akan berhenti
aku akan terus berjalan

perjalanan ini masih jauh
tak mungkin kita akan putus di tengah jalan
hanya karena keterbatasan dan kebodohan kita

kawan,
kita harus ada perlawanan
keterbatasan dan kebodohan harus kita berontak
kita harus menembus kegelapan ini

memang berat dan sakit
tapi kuharap dahan kita jangan patah
hanya karena kekurangan zat air dan makanan

ayo kawan
kita jalan
tak apa tak bersama

ayo jalan
kita bertemu di muara
ini perlawanan kawan
harus kita wujudkan bersama

kita babat orang-orang yang menjegal kita
sendiri tak apa-apa
asal kita bertemu di muara

ingat...
perlawanan kita adalah jenjang kekuatan
genderang perjalanan nantinya

----------------

Puisi ini ditulis di Rumania oleh seseorang, yang saya lupa mengingat namanya. Tapi sepertinya dia seorang aktivis. Saya salin ulang puisi ini ke dalam catatan harian saya pada 18 Februari 2000 dari sebuah buku kumpulan puisi.

Saya merasa isi puisi ini cukup aktual dengan situasi yang sedang saya alami. Saat itu komunitas tempat di mana saya mencurahkan gagasan dan perjuangan, tengah dibelut konflik yang kian mengeras.

Ada masalah yang dianggap prinsipil yang sedang digunjingkan. Forum debat pun digelar di sebuah kampus di kawasan Cikini untuk mengakhiri sengketa. Ada kritik-kritik pedas kemudian terlontar bak berondongan peluru AK 47. Satu persatu tuduhan mulai diverifikasi. Namun tak ada yang terbukti. Tapi dua kubu sudah saling berhadap-hadapan, dan kukuh dengan sikapnya masing-masing. Dan voting pun diputuskan sebagai solusi. Saya pun harus berpihak.

Hasilnya, 7 basis kampus menyatakan tetap bertahan, 8 basis kampus keluar, dan 3 basis kampus abstein. Forum rapat yang panas diikuti sekitar 30-an orang itu, akhirnya ditutup dengan mengucapkan bersama-sama “sumpah rakyat Indonesia.” Setelah itu, satu sama lain saling bersalaman dan berpelukan. Suasana haru menyelimuti seketika.

Saya merekam peristiwa ini pada catatan harian. Dan puisi genderang sajak IV saya sisipkan. Kini peristiwa yang sama tengah terulang. Saya kembali harus kehilangan banyak kawan. Saya kehilangan canda renyah mereka. Saya kehilangan kawan bertukar ide untuk menajamkan gagasan. Dan saya kehilangan kehangatan arti persahabatan. Baiklah kawan...

mungkin ada baiknya kita berjalan sendiri-sendiri dulu... siapa tahu akan menjadi persiapan perlawanan kita... sendiri tak apa-apa... asal kita bertemu di muara...