Wednesday, November 01, 2006, posted by Van Elki at 15:45
MESKI jam menunjukkan pukul 23.30 wib, tapi malam itu di tanggal 24 Februari 2006, arus lalu lintas kendaraan di ruas jalan Buncit Raya ramai, meski tak terlalu padat. Langit sangat cerah, dihiasi banyak bintang.

Malam itu saya tengah berada di sebuah kantor LSM di kawasan Mampang-Jakarta Selatan. Di sana saya hendak menjumpai kawan-kawan saya dari Nusa Tenggara Barat (NTB) yang baru saja tiba di Jakarta hari itu. Saya antusias menyambut kedatangan mereka. Saat mengunjungi NTB pada September 2005 lalu, mereka sudah menjamu baik saya.

Rencananya, sepulang dari sana saya ingin meluncur ke Ciputat. Biasa, kadang setiap Jum’at malam ada agenda diskusi ”warung kopian” dengan kawan-kawan lama di kampus. Ini tradisi yang masih dijalani untuk saling share informasi soal situasi nasional up to date di negeri ini. Biar tidak menjumudkan, kadang diselingi juga ngerumpi sana-sini, bak acara ngegosip di infotainment.


MOTOR Honda GL Pro Neo Tech buatan tahun 97 akhir, yang hampir 1 tahun saya tunggangi, menjadi teman setia dalam membelah belantara kemacetan Jakarta. Meski barang lawas, tapi mesinnya bandel. Lebaran tahun lalu, 2005, saya pernah bawa GL Pro ini dari Depok ke pantai Anyar dengan jarak 380 km pulang pergi (PP), bersama rombongan touring 37 motor. Hasilnya, si GL Pro ini sehat-sehat saja, sementara kawan lain yang membawa ”King” dan ”Thunder”, ternyata mesinnya”batuk-batuk.”

GL Pro ini juga yang saya tunggangi pada malam itu. Usai pertemuan, motor langsung saya ‘geber’ ke arah Ciputat. Malam itu, jalan Buncit Raya tak terlalu sepi, juga tak terlalu ramai. Ruas di jalan ini ada 4 jalur. 2 Jalur ke arah Ragunan, 2 jalur ke arah Kuningan. Setiap 2 jalur, difungsikan untuk jalur lambat dan cepat. Antara jalur lambat dan jalur cepat terdapat Separator yang terbuat dari ’semen batu’. Separator berfungsi memisahkan jalur lambat dan jalur cepat agar arus kendaraan teratur. Tinggi separator dari permukaan jalan (aspal) sekitar 30 cm. Dan lebar sekitar 50 cm.

Seminggu sebelumnya saya melewati ruas jalan ini, dan melihat ada razia Polisi. Targetnya adalah pengendara roda dua (motor) yang melintas di jalur cepat. Sepertinya Polisi sudah mulai tegas. Padahal sebelumnya tak pernah terlihat ada razia seperti itu. Untunglah saya lolos, karena tidak jadi masuk di jalur cepat dan tetap di jalur lambat. Itulah mengapa pada malam 24 Februari, saya tetap melaju di jalur lambat, dan tidak tertarik masuk di jalur cepat, yang sebenarnya lebih lebar jalurnya.

Sementara itu, jarum indikator di speedometer menunjuk ke angka 60km/jam. GL Pro melaju kencang di jalur lambat dari arah Kuningan ke arah Ragunan. Di depan, sebuah bus Metromini ’75’ jalur Blok M – Ps. Minggu, berjalan lambat tengah mencari dan menurunkan penumpang. Hampir separuh bodinya menutupi lebar jalan di jalur lambat. Jalan saya terhalang. Emosi saya diuji. Saya pun mencoba bersabar berjalan pelan di belakangnya, sambil bersiap-siap menunggu moment untuk menyalib.

Memasuki sebuah tikungan tipis ke kiri, persis di depan kantor Dealer Nokia Mampang, kesempatan menyalib pun datang. Karena jalur lambat dan jalur cepat menyatu, dan tidak dibatasi separator. Saya bersiap menyalib. Arah belakang ditengok, aman. Dari arah depan, saya tidak mengintip. Pikir saya, menyalib kendaraan di jalan satu arah, tidak perlu mengintip ke depan lagi. Langsung hajar saja, karena toh tidak ada kendaraan dari arah berlawanan. Kecuali berada di jalan dua jalur berlawanan.

Tanpa pikir panjang, bodi motor saya goyang ke samping kanan Metromini. Gas ditarik penuh. ”BRRUUUM....,” GL Pro lincah menyalib. Separuh panjang bodi Metromini sudah berhasil dilewati. Posisi kedua ban GL Pro sudah berada di garis tengah antara jalur lambat dan jalur cepat. Tiba-tiba mendadak, di depan teronggok sebuah ujung separator yang membatasi jalur lambat dan jalur cepat. Jantung saya sepontan berdetak keras. Adrenalin saya meningkat cepat. Sepintas terpikir mau membanting setir ke arah kanan, tapi resikonya besar, karena arus kendaraan dari sebelah kanan cukup ramai dan berkecepatan tinggi. Membanting ke kiri, pasti akan membentur bodi Metromini.

Mau tak mau, rem tangan pun ditarik keras. Rem kaki diinjak dalam-dalam. Dan akhirnya... ”BRAAAAK....!!” Telat... GL Pro yang gagah itu terpental dan terseret di jalur lambat sejauh 10 meter di depan saya. Tubuh saya terlontar dan terguling, dan jatuh di jalur lambat. Kepala saya yang dilindungi helm itu membentur aspal. Tangan kanan membentur siku separator. Sikut menggesek aspal. Pinggul beradu dengan bodi motor. Motor dan saya jauh terpisah. Waktu begitu singkat. Sekejap, saya dapatkan posisi tubuh sudah tergeletak di atas aspal yang berjarak 1 meter dari separator.

Dengan sigap, otak saya yang masih sadar 100% itu meminta segera bangkit dari aspal. Kalau tidak, kendaraan yang datang dari arah belakang pasti akan melindas. Dengan sisa-sisa kekuatan, saya mencoba bangkit berdiri. Namun tak berhasil. Saya kehilangan tenaga. Tetapi perlahan-lahan saya merayap mendekati separator. Setapak demi setapak, separator akhirnya berhasil jangkau.

Dengan tenaga tersisa, saya naikkan tubuh ke atas separator. Lalu menelungkupkan tubuh di atasnya. Sesaat kemudian, saya mulai mengatur nafas dan detak jantung agar teratur. Rasa nyeri mulai muncul terasa di bagian pinggul dan tangan kanan.

Sampai 10 menit, saya masih ‘tengkurap’ di atas separator. Sampai akhirnya, seorang pria pengendara motor menghentikan kendaraannya, lalu menghampiri saya dan memberikan pertolongan. Beberapa orang warga juga ikut menghampiri.

”Mas... helmnya saya buka dulu ya... biar situ bisa bernafas...?” pinta seseorang.

Helm setengah tutup yang saya kenakan mulai dibantu dilepaskan.

”Gimana, masih bisa jalan gak mas...?” tanyanya lagi.

”Gak tau nih, kayanya tangan kanan saya patah...”

Perlahan tubuh saya mulai dibantu berdiri. Beberapa orang awalnya hendak menggotong saya. Tapi saya tolak. Saya mencoba berjalan meski dengan kaki terpincang. Sekitar 3 orang warga membantu memapah saya jalan ke arah trotoar jalan. Segelas air mineral disodorkan oleh salah seorang. Saya lalu meneguknya sembari duduk di atas trotoar. Tak lama, sekitar 20-an orang datang mengerubungi saya, melihat-lihat.

”Kenapa mas..?” tanya salah seorang.

”Iya... saya nabrak pembatas jalan. Niatnya mau nyalib Metromini dari kanan. Eh tau-tau ada pembatas jalan, dan saya gak lihat karena tidak kelihatan, mau banting ke kiri ato kanan ragu, saya sudah usahakan ngerem, tapi gak ketahan juga,” jelas saya.

”Wah, di situ memang sering banyak yang jatuh mas. Bukan mas aja. Emang posisinya di tikungan, jadi banyak orang yang nggak liat.”

Seorang berseragam Satpam menghampiri saya. ”Mas, motornya sudah saya angkat dan saya bawa masuk ke dalam parkiran hotel, biar situ nanti gak ada urusan sama Polisi,” katanya. Saya mengucapkan terimakasih kepadanya.

Saya masih tetap duduk di atas trotoar dengan kondisi yang masih shock. Saya masih tak habis pikir apa yang telah terjadi malam itu. Makian kepada diri sendiri yang ceroboh ini, terus menggumam.

Sementara itu perlahan-lahan, kerumunan orang di sekitar saya mulai menyepi. Mungkin mereka melihat kondisi luka saya nampak tak terlalu serius. Dan akhirnya hanya satu orang saja yang tetap tinggal di samping saya. Nampaknya seperti orang yang pertama kali membantu membuka helm saya. Ia adalah seorang pria pengendara motor yang kebetulan lewat dan kemudian menolong saya. Sepertinya sebaya dengan saya.

”Mas mau ke arah mana dan tinggal di mana?”

”Saya tinggal di Depok, tapi rencana mau ke Ciputat.”

“Mas, situ saya mau bantu apa..? Apakah saya antar ke rumah sakit, atau saya antar pulang ke rumah...? Boncengan naik motor Tiger saya juga boleh, atau kita naik taksi ke Depok..? kebetulan saya juga ke arah Depok,” tanyanya menawarkan bantuan.

“Oya terimakasih bung..., sebentar ya... saya cek dulu kondisi saya dan motor saya,” pinta saya dengan terbata-bata menahan sakit.

Perlahan saya bangkit berdiri dan berjalan menuju Hotel tempat motor saya yang diparkirkan oleh Satpam tadi. Hotel ini hanya berjarak 10 meter dari posisi saya jatuh. Saat berjalan, kembali rasa sakit timbul menyengat di bagian pinggul dan lutut, sehingga jalan pun menjadi tidak normal, terpincang-pincang. Terlihat, di bagian kiri pinggul ada luka memar lebam berwarna biru dengan diameter 10 cm. Lutut lecet, dan celana jeans hitam yang saya pakai juga terlihat robek di beberapa bagian.

Di bagian lain, jaket saya juga robek di lengan kanan. Saya merasa tangan kanan benar-benar telah patah. Sebab rasa nyeri dan kesemutan terus menjalar ke arah tangan kanan. Tangan kanan pun mulai tak bisa digerakkan. Sepertinya aliran darahnya mulai tersumbat. Saya teringat, sewaktu jatuh, tangan kanan mengalami benturan keras dengan siku separator.

”Oh Tuhan, semoga tidak apa-apa dengan tangan kanan ku ini,” gumam saya.

Sampai di parkiran hotel, ”Ya Tuhan,” saya terperanjat melihat bentuk GL Pro yang tadinya gagah itu kini tak lagi gagah. Kedua velg bannya sudah tak berbentuk lingkaran lagi. Velgnya meliuk-liuk bak ular menari. Lampu depan pecah. Speedometer hancur. Knalpot pengok. Dan Tanki remuk. Motor tak mungkin lagi dipaksa jalan.

Akhirnya saya putuskan menitipkan motor di parkiran Hotel kepada Satpam. Dan berjanji akan ada orang lain yang mengambilnya besok. Dengan dikawani oleh pengendara Tiger tadi, saya ambil Taksi menuju tempat dukun patah tulang terkenal di bilangan Cilandak. Ini adalah kedatangan saya yang kedua kali ke tempat ini. Setelah sebelumnya pertama kali pada tahun 1991 silam. Waktu itu pergelangan tangan kanan saya juga pernah patah akibat jatuh dari atas truk saat sedang meramaikan kampanye Pemilu salah satu partai. Luka patah yang pertama itu dapat sembuh total setelah 1 bulan. Karena mungkin tulang saya waktu itu masih muda, sehingga lebih cepat dipulihkan.

Di tengah perjalananan, di dalam Taksi, kembali saya lontarkan rasa terimakasih saya kepada pengendara Tiger.

”Waduh bung, saya terimasih banyak ini, bung sudah mau antar saya... dengan apa saya bisa membalas kebaikan bung?” ucap saya.

”Gak apa-apa mas, saya begini karena saya mau balas jasa orang lain yang pernah menolong saya sewaktu kecelakaan di Bekasi dulu. Waktu itu, malam-malam seperti ini juga saya pernah jatuh, sepi gak ada orang yang nolong. Tapi ada satu yang orang baik sama saya, lalu menolong dan mengantar saya ke Rumah Sakit. Nah sekarang saya mau balas jasa dia sama mas, saya kira mas juga harus begitu. Balasnya mungkin gak sama saya, tapi sama orang lain aja,” jawabnya datar.

Terenyuh hati mendengarnya. Betapa di zaman yang serba individualis ini, ternyata masih ada orang begitu baik seperti orang ini. Hingga kini, pernyataannya selalu saya ingat. Di dalam hati, saya berjanji akan memenuhi permintaannya untuk membalas kebaikannya kepada orang lain.

Sesampai di rumah, sudah pukul 01.30. Mata sudah lelah, tak tahan lagi untuk mengurangi rasa nyeri dengan tidur. Seperti biasa, menyaksikan berita di TV selalu menjadi teman memejamkan mata.

Dalam sebuah siaran berita di Global TV, diberitakan tentang adanya 10 orang mahasiswa Papua yang ditangkap karena membakar sebuah gedung di kawasan Kuningan. Dalam tayangannya, Seorang pria mengenakan batik tengah diwawancarai oleh wartawan dengan kapasitasnya sebagai pengacara dari 10 orang mahasiswa.

Saya baru teringat, ternyata tadi siang saya berada di sebuah kantor Polisi, dan di sana saya sempat memberikan keterangan kepada wartawan mengenai kasus yang sedang saya tangani. Dan kini malamnya, saya terbaring mengerang kesakitan. Sungguh, sesuatu yang tidak dapat dipercaya, tapi terjadi. Siang ’masuk TV,’ malam ’masuk perawatan’.


KECELAKAAN di malam itu akhirnya diketahui, hasil rontgen menunjukkan tulang ulna (tulang lengan bawah) saya patah. Atau istilah medisnya ”fracture des ulna 3/4 distal.” Arti teksnya saya kurang tahu. Tapi tafsiran bebasnya, tulang ulna saya mengalami patah dan terjadi pergeseran posisi sebanyak 3/4. Dokter orthopedi di Depok menyarankan saya untuk menjalani operasi pemasangan pen. Tapi setelah mendengar banyak pertimbangan dari banyak kawan dan keluarga, saya pilih pengobatan alternatif, dukun patah tulang. Tujuannya agar masa penyembuhannya lebih cepat, ketimbang cara medis yang bisa makan waktu 1 tahun lebih.

Sejak saat itu, semua aktivitas saya terhenti. Kondisi tangan kanan yang luka patah dan disertai pembengkakan, membuat saya tidak bisa melakukan aktivitas secara leluasa. Termasuk naik motor. Akhirnya, hari-hari saya selama 2 bulan lebih, dihabiskan hanya di rumah saja. Ini menjadi rutinitas baru yang amat menjumudkan. Izin istirahat terpaksa saya ajukan ke kantor.

Waktu istirahat, benar-benar dimaksimalkan untuk penyembuhan dan pemulihan. Selama 2 bulan itu, 7 kali saya mendatangi dukun patah di Cilandak. Sampai satu bulan, hasilnya belum memuaskan. Tangan kanan belum menunjukkan kemajuan. Bunda meminta saya agar bersabar. Tetapi saya tak sabar. Dan saya putuskan untuk cari alternatif berobat di tempat lain. Sekian banyak kawan saya hubungi. Akhirnya dipilihlah Bandung sebagai target. Tepatnya di daerah Ciparay. Seorang kawan lama yang tinggal di Bandung merekomendasikannya dan bersedia mengantar saya ke sana.

Dengan keadaan tangan kanan masih dibalut perban, dan belum bisa banyak digerakkan, saya berangkat sendiri ke Bandung dengan menumpang bus umum. Padahal banyak tawaran datang untuk mengantar dan menemani ke Bandung. Prinsip saya yang tak mau merepotkan orang lain, membuat saya mengabaikan tawaran itu. Pulang dari Bandung, hasilnya cukup positiv. Ada perubahan. Tangan kanan sudah bisa melakukan beberapa ’manuver,’ meski belum sempurna 100%.


PROSES penyembuhan yang saya jalani adalah masa-masa krisis. Ketidakyakinan akan kesembuhan terus menghantui pikiran, dan selalu membuat gelisah. Apalagi tekanan pyikis, amat kuat menghujam. Sehingga makian kepada diri sendiri dan mengutuk nasib terus merapal di bibir. Yang paling berat adalah melawan tekanan pisik. Karena tugas-tugas si tangan kanan, terpaksa harus diambil alih oleh si tangan kiri dalam melewati hari-hari.

Syukurlah, dukungan keluarga dan kawan-kawan yang datang menjenguk, membuat saya dapat mengolah proses ini secara rohani dengan baik. Terutama Bunda. Ia tidak bosan-bosannya memberikan semangat. Katanya, Tuhan itu punya banyak cara untuk mengangkat derajat hambanya. Nah, memberikan ujian dan cobaan dengan musibah adalah salah satu caranya.

Ya memang, sudah sepatutnya saya harus bersyukur. Mestinya, kecelakaan di Buncit itu, sudah cukup untuk merenggut nyawa saya. Tapi Tuhan memang maha besar. Di tangannya, ia selamatkan hidup saya.

Di kala musibah sedang membekap, beruntunglah, pada 10 Maret 2006 lalu, sebuah pengumuman membuat saya menjadi sadar betapa rasa syukur harus dipanjatkan kembali kepada Tuhan. Di hari itu, Perhimpunan Advokat Indonesia (biasa disebut PERADI) mengumumkan nama-nama peserta yang lulus dalam Ujian Advokat (Pengacara) pada 4 Februari lalu. Tiga minggu sebelum kecelakaan menimpa, bersama 6000-an orang peserta di seluruh Indonesia, saya mengikuti ujian calon advokat. Dalam pengumuman itu, nama saya tercantum. Berita ini sedikit membantu mengurangi tekanan pyikis yang tengah saya hadapi.

Bisa dibayangkan, bagaimana seandainya kalau musibah ini terjadi sebelum ujian advokat dilaksanakan. Tentu masalah besar. Karena tangan kanan saya tidak akan mampu menulis. Padahal ujian itu adalah salah satu taruhan masa depan.

Kini, kondisi tangan kanan mulai membaik, meski belum bisa difungsikan maksimal mengangkat benda-benda berat. Awal Mei lalu, aktivitas harian mulai kembali dijalani seperti biasa. Saya mulai kembali masuk kantor. Untuk mobilitas, saya terpaksa mengunakan angkutan umum, karena si tangan kanan ini belum cukup kuat memegang setang motor.

Dan baru di akhir Juni, GL Pro yang babak belur itu, mulai saya persolek dan akhirnya kembali bisa ditunggangi. Senyum menghias lagi. Bisa mengendarai motor kembali, adalah kebahagiaan tersendiri yang tak tergantikan. Begitu pun juga dengan Senar gitar yang sudah bisa saya petik dengan lincah. Sehingga alunan suara gitar yang saya mainkan, kembali dapat menjadi teman mesra dalam kesepian mengisi masa lajang. Ehem... %^$(&*%$#.


DARI cerita ini semua, tidak ada maksud saya untuk mencari empati orang lain. Tulisan ini hanya untuk menyampaikan bahwa ada pesan moral dibalik cerita ini. Karena banyak pelajaran dan hikmah yang dapatkan dikemukakan. pertama, tentu saya belajar bagaimana mensyukuri nikmat Tuhan. Musibah ini, menyadarkan betul, betapa memiliki organ tubuh yang dapat berfungsi dengan baik, adalah suatu nikmat yang tiada taranya. Dan karenanya patut disyukuri dan dirawat sebaik mungkin.

Bisa dibayangkan, tidak berfungsinya tangan kanan dalam jangka waktu lama (hampir 3 bulan), membuat tangan kiri terpaksa mengambil-alih semua tugas-tugas si tangan kanan. Dan betapa repot luar biasanya si tangan kiri melaksanakan kerja-kerja yang biasa dilakukan si tangan kanan, dan tidak biasa dilakukan oleh tangan kiri. Keadaan ini menguatkan empati saya kepada orang-orang yang nasibnya tidak seberuntung saya. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya orang-orang yang kehilangan anggota tubuhnya dalam menjalani hari-harinya.

Sebagai wujud rasa syukur, relasi dengan Yang Maha Kuat mulai saya perbaiki. Sebelumnya, relasi formalitas kering yang dijalani, saya coba ubah agar lebih bermakna dan lebih kontemplatif. Berbagi kasih kepada yang papa juga bagian yang tak ingin terlewatkan.

Pelajaran kedua, adalah saya mulai mengubah cara prilaku dalam mengendarai motor. Selama ini, karakter naik motor saya termasuk pengendara yang ’sopan’. Tetapi, terkadang situasi di jalan, emosi saya mudah terpancing oleh prilaku dari pengendara lain. Dalam situasi emosi itu, kehati-hatian dan akal sehat bisa menjadi hilang. Ini yang terjadi pada malam 24 Februari lalu. Sikap supir Metromini yang tidak memberi jalan, akhirnya membuat emosi menguap. Dan akhirnya, terjadilah. Sikap kesabaran dan kerendah-hatian dalam mengendara sangat penting. Kini saatnya berusaha belajar menjalaninya.

Dan pelajaran ketiga, membantu orang lain adalah karma. Yaitu budi baik yang harus kita tanam kepada siapa saja agar kita juga mendapat kebaikan di suatu hari nanti. Tanpa melihat latarbelakangnya apa, seorang yang mesti ditolong, haruslah ditolong dengan tenaga kita yang paling maksimal. Balasan kebaikan yang kita berikan, jangan pernah kita harapkan balasannya saat itu juga. Tetapi harus difahami ada balasan dalam bentuk lain, di waktu lain, dan dalam situasi di mana kita ternyata membutuhkan kebaikan orang lain.

Selama kita dalam kondisi bisa membantu dan menolong orang lain, kenapa toh tidak kita segera lakukan. Kita juga manusia mahluk yang lemah. Mahluk yang suatu saat juga membutuhkan pertolongan orang lain. Dan sejak kejadian itu, ketika menjumpai orang-orang yang mendapatkan kecelakaan di jalan, saya mulai memarkir motor saya dipinggir jalan. Lalu membantu mereka secara maksimal mungkin. Meski melihat darah dan luka adalah sesuatu pemandangan yang sebelumnya sering saya hindari dari penglihatan, namun demi kemanusiaan, hal itu harus saya kesampingkan.

Akhirnya, ”Ya Allah ya Tuhan kami... Engkau Maha Pelindung, lindungi kami dari marabahaya...”

Depok, 30 September 2006
By Fan.