Wednesday, November 01, 2006, posted by Van Elki at 18:29
SETIAP Hari Raya Idul Fitri, selalu memiliki kesan yang begitu kuat kepada orang yang merayakannya. Termasuk saya. Tetapi lebaran kali ini, ada hal yang belum saya merasa puas. Bukan materi. Tetapi soal puasa. Puasa kali ini, kalah 16 hari. Angka ini melonjak jauh dibanding puasa tahun lalu yang hanya kalah 3 hari. Bukan apa-apa, tanggal 2 Oktober sampai dengan 17 Oktober lalu, saya ada di Papua, atau sekitar 16 hari. Di Papua saya tak puasa selama 13 hari. Sebelum berangkat ke Papua, sudah kalah 3 hari.

Di Papua, tepatnya di Wasior, agak sulit bagi saya menjalani puasa. Energi saya banyak terkuras, sehingga banyak membutuhkan cairan agar tidak dehidrasi. Dan baru tiga hari terakhir ada di Manokwari, puasa saya di Papua bisa kembali normal.

Di sisi lain saya mendapat kesejukan rohani yang luar biasa. Meski nilainya tak seberapa. Tapi lebaran kali ini, saya punya keberanian lebih untuk menyisihkan sebagian besar isi kantong saya untuk shadaqah kepada orang lain, termasuk juga sanak famili. Apalagi, adat betawi punya budaya angpaw. Budaya memberi uang di dalam amplop yang diadopsi dari orang-orang China saat merayakan hari tahun barunya. Target angpaw saya adalah saudara-saudara sepupu dari pihak ibu, yang jumlahnya ada 32 orang. Kebanyakan mereka masih berusia anak-anak. Ibu saya kebetulan dari keluarga besar dengan 11 orang bersaudara.

Dengan begitu, terpaksa bugjet beli pakaian baru atau pun barang-barang baru saya tiadakan. Ada rasa kepuasan sendiri, dan begitu nikmat ketika melihat orang lain bahagia. Saya termasuk orang yang meyakini, bahwa shadaqah itu adalah pintu rejeki. Semakin banyak kita shadaqah, semakin besar Tuhan membuka pintu rejeki kepada kita. Amin.


ADA dua versi lebaran, ada yang senin, ada yang selasa. Pemerintah memutuskan hari Selasa sebagai 1 Syawal 1427 Hijriyah. Saya dan keluarga ikut yang hari Selasa, 24 Oktober 2006. Warga Muhammadiyah umumnya melaksanakan lebaran pada hari Senin, 23 Oktober 2006. Tapi tak semua seragam, ada juga warga Muhammadiyah yang merayakannya pada hari Selasa. Hal yang sama juga terjadi pada warga NU. Tak semua warga NU merayakannya pada hari Selasa. Di Jombang dan Kediri, Jawa Timur, warga NU memutuskan lebaran pada hari Senin.

Soal perbedaan penentuan 1 Syawal ini, sampai kini masih membingungkan buat saya. Dulu waktu kuliah, ada mata kuliah ilmu falak. Ilmu yang salah satunya mengajarkan cara menghitung dan menetapkan tanggal dalam bulan Hijriyah. Tapi sayang, karena ini bersifat eksakta, membuat saya amat memusuhi mata kuliah ini, dan tidak tertarik untuk mendalaminya.

Memang tidak mengenakkan juga, ada dua versi lebaran. Terkesan, kok Islam beda-beda, Islam terpecah-pecah. Makanya beberapa tokoh agama, kemudian ’pagi-pagi’ sudah mengingatkan, bahwa perbedaan dalam pelaksanaan hari raya, tidak perlu dibesar-besarkan. Perbedaan dalam Islam adalah rahmah. Islam adalah agama yang menghargai perbedaan.

Saya salut atas peringatan ini, baik dari tokoh Muhammadiyah, maupun dari NU. Statemen-statemennya menyejukkan. Nampak sekali sepertinya mereka bukan hanya ulama, tapi juga negarawan.

Tapi ada hal yang saya masih tak habis pikir. Mengapa respon atas perbedaan itu, justru tidak mereka tunjukkan dalam menghadapi fenomena Ahmadiyah. Bisa jadi memang ada yang beda secara subtansial. Dalam kasus Ahmadiyah, ada perbedaan yang bersifat furu’iyah. Sementara, dalam perbedaan 1 Syawal, sebaliknya bersifat Syar’i. Antara keduanya, dianggap yang paling pokok, adalah yang furu’iyah. Sehingga perbedaan dengan Ahmadiyah dianggap sah dihadapi dengan kekerasan. Ulama Muhammadiyah dan NU memang menolak cara kekerasan, namun tak ada upaya kongkrit untuk mencegah kekerasan.

Adapun kasus perbedaan 1 Syawal, menurut saya tak kalah sama bobotnya dengan kasus Ahmadiyah. Karena di sana ada hukum haram yang ternyata dipaksa ditafsirkan secara kompromis. Padahal doktrin hukumnya, bersifat jelas, tidak syak. Hadist Nabi yang shahih menyatakan, barang siapa berpuasa di hari Raya Idul Fitri, maka haram hukumnya.

Haram adalah salah satu dari 4 hukum taklifi dalam hukum Islam selain Wajib, Sunnah, dan Mubah. Haram bermakna, apabila suatu perbuatan dijalankan maka mendapat dosa, dan bila ditinggalkan mendapat pahala.

Saya pernah ditanya oleh seorang kawan. Berdasar hadist Nabi tadi, lantas, apakah kaum muslim yang tetap berpuasa di hari Senin adalah berdosa, dan sebaliknya kaum muslim yang tidak puasa dan merayakan Lebaran di hari Senin justru mendapat pahala? Aduh, ini pertanyaan yang gampang-gampang rumit. Saya tak lincah menjawabnya.

Saya hanya tahu, bahwa para ulama memberikan pendapat dengan jalan tengah. Yakni, mengembalikan keyakinan kepada masing-masing individu. Puasa di hari Senin menjadi haram, apabila orang yang puasa meyakini bahwa di hari itu adalah tanggal 1 Syawal. Juga sebaliknya, tidak menjadi haram apabila diyakini bahwa hari itu masih tanggal 30 Ramadhan. Jadi misalnya, warga Muhammadiyah tidak bisa ’menjudge’ bahwa warga NU yang tetap berpuasa di hari Senin adalah dosa. Vonis dosa tidak bisa dijatuhkan kepada warga NU, karena mereka yakin, bahwa hari itu masih tanggal 30 Ramadhan.

Saya setuju dengan pendapat ini. Keyakinan subjektivitas individu dijadikan alat ukur untuk menjatuhkan vonis hukuman. Haram atau tidak haram. Begitu juga wajib atau tidak wajib, sunnah atau tidak sunnah, mubah atau tidak mubah. Tapi lagi-lagi, mengapa hal ini tidak dipraktekkan dalam menilai kasus Ahmadiyah? Toh secara subtansi juga sama. Ada soal keyakinan yang berbeda.

Saya bukan pembela ajaran Ahmadiyah. Tapi saya hanya tak senang pola intimidasi dan kekerasan dijadikan solusi menghadapi jama’ah Ahmadiyah. Termasuk juga terjadi banyak pada kasus lain. Itulah dinamika problem kaum muslim yang hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi.

ZAMAN sudah semakin canggih. Dahulu orang mengucapkan selamat lebaran kepada sanak famili dan koleganya secara langsung, atau via telepon. Kini di era Handphone (HP), sudah cukup dengan SMS saja. Ini metode yang murah meriah, tetapi efektif untuk menjalin tali silaturahmi.

Sejak tahun 2004 lalu, setiap Hari Raya Idul Fitri, HP saya menjadi sasaran SMS banyak kolega. Baik dari kolega yang muslim, maupun yang non-muslim. Isinya, ucapan selamat Hari Raya dan permohonan maaf lahir bathin. Lebaran kali ini, setelah saya hitung, ternyata saya mendapat kiriman sekitar 120-an lebih SMS. Semua SMS itu saya balas. Di luar angka itu, saya juga mengirim SMS ke sejumlah nomor HP. Sekitar 50-an nomor yang dikirim. Ada yang dibalas, juga ada yang tidak.

SMS di hari raya ini, bak festival. Semua orang sepertinya berlomba merangkai kata-kata puitis. Dari sekian banyak SMS itu, banyak yang isinya unik-unik. Kali ini SMS dari Kepala Divisi saya di kantor, seorang penganut Katolik, saya anggap salah satu yang indah. Saya tidak tahu, apakah teks itu dibuat sendiri olehnya, atau dia dapat dari orang lain lalu diforward ke saya. Isinya:

”Dalam kerendahan hati ada keluhuran budi... Dalam kemiskinan ada kekayaan jiwa... Hidup ini indah jika ada maaf di antara kita... Minal Aidhin wal faizin... Mohon maaf lahir bathin...”

Lalu juga ada SMS dari kawan junior di UIN.

“Berguru hidup pada perjuangan, berguru hati pada keikhlasan, berkaca jiwa pada mereka yang papa. Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir bathin.”

Ada juga yang bernada humor yang dikirim oleh kawan satu kelas di UIN.

“Kirim parcel dilarang KPK, transfer uang gak tahu rekening. Kirim karangan bunga, lo masih hidup. Jadi gw hanya bisa kirim ucap mohon maaf lahir bathin”

”Kadang ucapan tak sejernih XL & hati sulit menerima layaknya FLEXI, sehingga hari tak secerah MENTARI pagi. MY FREN, BEBAS-kan temanmu ini dari dosa-dosa. Mohon maaf lahir bathin.”

Dari semua SMS, ada satu SMS yang cukup istimewa. Karena si pengirim SMS adalah salah seorang kandidat calon wakil Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. Saya kira nomor HP saya sudah hilang di HP-nya setelah kini ia tampil menjadi calon elit politik baru di Aceh. Ternyata tidak, dia masih menyimpan nomor saya, dan mengirim ucapan selamat hari raya kepada saya.

Mendapat serangan SMS-SMS itu, saya juga tak mau kalah. Dua teks SMS saya siapkan untuk dikirim kepada orang-orang berdasarkan konteksnya. Dan kini saya sampaikan juga kepada anda semua.

”Saat politik menjadi pelik, saat hukum menjadi bingung, saat ekonomi menjadi ironi, tapi di hari suci ini, semoga menjadi modal memperbaki masa lalu. Selamat hari raya Idul Fitri, Minal Aidhin Wal Faizhin Mohon Maaf Lahir Bathin.”

”Jika ada lidah yang menikam, ada tingkah yang menghujam, ada janji yang terabai, saya mohon maaf lahir bathin. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 Hijriyah.”

LEBARAN kali ini, adalah pertama kalinya lagi saya bersilaturahmi ke seluruh tetangga satu RT (Rukun Tetangga) setelah usai shalat Id. Terakhir kali saya berkeliling adalah saat dulu duduk di bangku SD. Setelah itu tak pernah lagi, kecuali hanya tetangga yang persis di dekat rumah saja.

Dalam proses bersilaturahmi itu, ternyata banyak para tetangga yang baru melihat saya lagi. Mereka umumnya terkejut melihat penampilan fisik saya yang banyak berubah. Selain soal kehebohan melihat perubahan fisik saya, mereka juga ajukan sebuah pertanyaan yang membuat saya jadi risih. Ya, apalagi kalo bukan soal pertanyaan kapan saya menikah. Ini pertanyaan sama yang juga diajukan orang-orang tua dari keluarga Ibu. Lebih dari 10 orang menanyakan hal ini.

Terpaksa, guyonan klasik saya lontarkan. “Iya nih, tanggal dah jelas, bulan dah jelas, cuma tahun yang belum jelas…” jawab saya sambil terkekeh. “Lagian, magang saya di PKS belum selesai...”

“Lho apa hubungannya dengan magang di PKS..?” tanya salah seorang paman.

”Ya itu... Proses Koleksi dan Seleksi-nya belum selesai..!” kata saya dengan maksud sekedar joke. Kontan aja, banyak orang jadi terbahak-bahak mendengarnya.
Writed by Fan
Depok, 26 Oktober 2006