Monday, November 27, 2006, posted by Van Elki at 23:39
JENIS mobil sedan merek BMW tahun 1993 itu sudah sering saya lihat di jalanan. Tapi masuk ke dalamnya, adalah hal yang belum pernah saya lakukan seumur hidup. Mobil paling mahal yang saya tumpangi paling hanya sekelas Opel Blazer, itu pun milik bos. Sedangkan yang pernah saya kendarai paling mewah hanya sekelas Kijang Innova, itu juga milik kantor. Tapi Sabtu sore itu, akhirnya saya dapat kesempatan menaiki BMW.

Seorang kawan lama yang baru seminggu melangsungkan pernikahan, mengajak saya untuk bertemu. Dia adalah kawan satu kos saya saat kuliah dulu. Saya terpana, ketika tahu ternyata dia membawa sebuah mobil sedan BMW buatan tahun 1993 yang dia klaim miliknya. Rasa kaget coba saya tutupi. Saya terpana karena proses “kemajuannya” saya anggap cukup cepat. Sebagai kawan sekos-nya dulu, saya merasa terkalahkan.


TIGA minggu sebelum hari resepsinya, kabar rencana pernikahannya sudah saya dengar dari orang lain. Banyak kawan bertanya, apakah saya juga diundang dalam acara resepsinya. Nyatanya, sampai satu hari sebelum hari H, undangan belum juga sampai di tangan saya, atau setidaknya pesan singkat via handphone pun juga belum masuk.

Tiadanya undangan, membuat bathin saya bergolak. Mengapa kawan satu ini, tak menghubungi saya. Padahal saya dulu kawan satu kosnya. Kawan yang dia anggap amat berpengaruh dalam hidupnya. Kawan yang dia anggap telah menjerumuskannya dalam dunia yang di kemudian hari mengkatrol eksistensinya di belantara politik nasional.

Apakah saya sudah dilupakannya. Apakah saya bukan dianggap kawan yang tak punya arti penting lagi baginya. Apa mentang-mentang dia mampu mendatangkan seorang petinggi salah satu partai politik terbesar di Indonesia untuk menjadi saksi dalam akad nikahnya. Semua pertanyaan bernuansa eksistensi lain muncul di benak saya.

Tapi malam menjelang hari H resepsinya, akhirnya saya putuskan menghubunginya via telepon. Saya lepaskan perasaan-perasaan ego saya kepadanya. Meski dalam percakapan, kata makian dan sindiran bernada jenaka tetap saya lontarkan untuk maksud menyudutkannya akibat ia tak mengundang saya. Akhirnya kata maaf terlontar dari mulutnya.

“Ya udah deh, gua minta maaf. Tapi awas, kalo lu sampai gak datang Fan, gak berkawan lagi kita. Gua gak butuh lo bawa apa, yang penting gua bisa lihat batang hidung lo di hari pernikahan gua,” ancamnya kepada saya. Tak lama usai meneleponnya, sebuah SMS undangan dari nomor HP-nya masuk ke HP saya. Sebagai tanda bahwa ia menguatkan ancamannya.

Usai menelepon, saya pun memantapkan diri untuk datang ke acara resepsinya. Tapi problemnya, apa yang akan saya bawa sebagai kado untuk pernikahannya. Setelah berpikir sana-sini, saya tetapkan untuk memberikan sebuah kado. Karena kado dapat tahan di makan zaman. Bukan angpaw, yang amat miskin nilai sejarahnya.

Berbekal keahlian sedikit menguasai program Adobe Photoshop, serta diramu kemampuan sedikit dalam merangkai kata, akhirnya jadilah sebuah kado berupa kreasi antara gambar dan kata-kata yang dikemas dalam sebuah bingkai photo ukuran 10 R.

Saya ingin tampilkan kado kreasi saya itu dalam blog ini. Tapi karena ini privasi, jadi saya tampilkan teksnya saja. Inilah teksnya;

Selamat Jalani Hidup Baru... Kawan...

Belum sirna dari ingatan ku...
Manakala megaphone tak pernah bosan menyaringkan suara kita...

Belum hilang dari ingatan ku...
Betapa gas air mata, pernah amat memedaskan mata kita...

Masih segar di ingatan ku...
Saat jalan Cendana, Teuku Umar, Taman Suropati, Diponegoro, menjadi rute marathon kita...
Masih ingat dibenak ku... Ketika kau bertanya,
“Kenapa harus bentrok Fan..?”

Ya... dulu... peluh keringat, darah dan air mata,
pernah kita peras untuk satu cita...
“Indonesia harus bebas dari penindasan...”

Saat ini masa lalu tinggal kenangan...
Meski perjuangan, tak boleh jadi kenangan...
Perjuangan akan tetap melaju, selaju desah nafas kita...

Roda zaman pun semakin berputar...
Masa depan kita, sudah menunggu di beranda...
Bahkan bahtera rumah tangga,
Menanti untuk kita nakhodai...

Dan kini kau melesat bak Rajawali...
Yang telah berhasil menerkam Merpati...
Jaga dan rawat Merpati mu...
Sampai akhir hayat mu...

Bina bahteramu...
Jaga haluanmu, jangan oleng dihantam gelombang
Agar kelak, kau punya generasi pejuang dari darah daging mu...

Dan... agar kau bisa bercerita kepada anak cucu mu...
Bahwa kau pernah menjadi pejuang hebat
dan sekaligus “pelari hebat” dari jalan Cendana...
Selamat kawan...

Semoga bahtera rumah tanggamu...
Dapat kau bawa ke dermaga keabadian...
Jabat erat tangan ku di hari pernikahan mu...

Kawan se-Kos Mu di Gang Boentoe...
Fan el Kindy


SAYA ragu, seberapa penting arti kado saya ini buatnya. Apalagi saya berikan kado yang terbungkus rapi itu lewat satu minggu setelah resepsinya. Tapi saya tetap berikan kepadanya. Sore kado itu diterimanya, jam 11 malam, ia mengirim sms ke HP saya.

“Boy. Tks yah kadonya. Mantap. Gw bingung balasnya nich. Hehehehe... Hadiah seperti itu sangat sulit terlupakan. Tks kawan. Kalau kau menikah, kabari jauh2 hari sebelum matahari terbenam. Akan ku simpan dan ku rawat baik-baik (kado dari mu)....” katanya dalam sms.

Ya, siapa pun dia saat ini, dia tetap seorang kawan bagi saya. Meski cara pandang, dan pilihan politiknya barangkali banyak sudah tidak lagi sejalan dengan saya. Bahkan bisa jadi bersebrangan. Tapi toh sebagai seorang kawan, tali silaturahmi tidak lah boleh putus.

Dalam hal ini, persahabatan bung Karno dengan bung Hatta, adalah hubungan persahabatan yang patut diteladani. Meski keduanya secara politik pernah baku hantam, tetapi dalam urusan pribadi, keduanya tetap menghormati sebagai seorang kawan. Contohnya ketika Hatta datang menjenguk Soekarno yang sedang sakit.

Saat saya ketemu terakhir dengan kawan satu ini, pesan saya cuma satu kepadanya.

“Freind, lo boleh main manuver politik kaya apa pun. Karena itu pilihan lo... dan gua hormati itu. Apalagi lo dah berkeluarga. Tapi satu pinta gua. Jangan lo buat adik-adik kita yang masih idealis ini termoderasi semangatnya. Biarkan semangat mereka menyala seperti bara api. Tugas kita adalah menjaga bara semangat itu tetap membara di dada mereka. Dan jangan lagi diintervensi kepentingan-kepentingan pragmatis kepada mereka.”


BMW milik kawan saya itu masih nampak gagah sekali, meski buatan tahun 1993. Saya tak peduli, uang dari mana ia beli mobil itu, tapi saat saya pinjam untuk test mengendarainya, muncul obsesi untuk memilikinya juga. Manusiawi memang.

Untunglah, sebait tembang milik Iwan Fals mengingatkan saya. “Keinginan adalah sumber penderitaan...”. Di tambah, pengalaman berkunjung ke Aceh saat paska Tsunami melintas segera di kepala saya. Sebab sepulang dari sana, banyak pengalaman rohani yang amat positif dalam diri saya.

Pengalaman rohani itu pula, yang akhinya menyadarkan, bahwa kenikmatan mengendarai dan memiliki mobil BMW, tak seindah bila saya mempunyai kenikmatan di dalam hati, dan kenikmatan hidup dalam kesederhanaan. Ya, benar memang. Keinginan adalah sumber penderitaan.
 
2 Comments:


At December 01, 2006 11:21 AM, Blogger lavender

Mengutip kalimat Henry Wadsworth Longfellow :
"Let us be what we are and speak what we think and in all things keep ourselves loyal to truth and the sacred proffesions of friendship"

sangat menarik sekali ceritanya...
kawan, teman, sahabat...betapa menyenangkan sekali memiliki mereka.

 

At May 12, 2010 4:15 PM, Anonymous Anonymous

nampaknya saya kenal siapa kawan anda itu.. ha..ha.. great story bang.. :D