Thursday, November 23, 2006, posted by Van Elki at 18:54
Sifat : Surat Terbuka.

Kepada Yth.
Bapak Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA. (azyumardiazra@yahoo.com)
Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Di Ciputat

Hal: Surat Protes
STOP KEKERASAN DI UIN CIPUTAT

Bapak Rektor yang saya hormati…

Perkenalkanlah saya, Fan el Kindy, mahasiswa bapak, alumni Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. Saya masuk kuliah di UIN (doeloe masih IAIN) tahun 1997, dan lulus Maret 2004 silam. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya salah seorang alumni yang gelisah dan kecewa dengan kondisi UIN akhir-akhir ini. Di mana kebebasan berekspresi mahasiswa UIN mulai bapak berangus.

Maka itu, setelah membaca dan mendengar kronologi insiden kekerasan yang dilakukan oleh Satpam UIN terhadap mahasiswa-mahasiswa UIN yang sedang aksi damai pada hari Sabtu, 18 November 2006 lalu di dalam kampus UIN, dengan ini saya sampaikan surat pribadi saya kepada Bapak mengenai hal-hal di bawah ini sebagai berikut;

Sebenarnya saya bangga kuliah di kampus yang Rektornya adalah figur seperti bapak. Di mata publik, nama bapak amat familiar. Bahkan familiar bapak melebihi familiarnya nama kampus UIN sendiri. Sering saya mengenalkan diri dengan bangga kepada banyak orang, bahwa saya ini alumni UIN. Tapi amat banyak orang yang juga bertanya. “UIN itu di mana ya…?”. Kontan, kebanggaan saya hilang. Susah saya menerangkannya kepada mereka. Cuma satu cara mudah untuk menerangkannya. Saya katakan, “Itu lho… kampus yang Rektor-nya Bapak Profesor Azyumardi Azra, dan lebih banyak sering masuk TV ketimbang Rektor UI”. Dan baru akhirnya mereka tahu. Saya pun lega.

Nama bapak bukan hanya familiar… Tapi juga harum… Dimana-mana, bapak selalu tampil dengan statement-statement yang mewakili wajah Islam moderat. Wajah Islam yang tak garang. Dan wajah Islam yang penuh dengan kesejukan. Tapi itu kata orang pak. Bukan kata saya.

Kredibilitas dan komitmen bapak sebagai cendikiawan pun juga banyak mendapat apresiasi. Lantaran, gagasan-gagasan bapak dinilai pro “penegakan demokrasi dan HAM”. Bahkan salah seorang sesepuh saya pun, Pak Hendardi, juga percaya dan hormat dengan bapak, sehingga bapak diajaknya duduk sebagai Board pada lembaga barunya, Setara Institute.

Tapi hari ini, setelah mengetahui kejadian di hari Sabtu 18 November lalu, saya amat miris. Mengapa, kekerasan oleh Satpam bisa terjadi di kampus yang Rektornya justru di mata publik adalah pembela HAM, pembela demokrasi….?

Jika begitu, saya ingin tanya kepada bapak. Sandiwara apa yang sedang bapak mainkan di depan publik itu…? Apakah bapak tidak malu, di publik bapak seakan-akan sebagai seorang demokrat, tetapi dalam kampus, bapak ternyata adalah seorang diktator refresif..?

Mungkin bapak bisa saja menjawab, “oh saya tidak tahu itu. Itu urusan kepala keamanan.” Tapi apa pun itu, ingat, bahwa kejadian ini bukan yang pertama kali pak… melainkan yang kesekian kali… Jika bapak masih tidak tahu, waduh… kesuksesan kepemimpinan bapak sebagai Rektor UIN selama dua periode itu patut dipertanyakan.

Bapak Azyumardi, Rektor UIN yang terhormat… Saya juga bangga, bapak akhirnya berhasil memoles fisik kampus UIN yang dulu “rombeng" itu, kini tak lagi “rombeng”, bahkan teramat megah. Tapi kebanggaan saya menjadi luntur seketika, manakala ternyata hilangnya kebebasan ekspresi mahasiswa adalah harga yang harus dibayar atas kemegahan itu. Bahkan bukan hanya kebebasan ekspresi yang hilang, tapi bapak juga sudah menciptakan suatu budaya baru. Budaya yang akhirnya menggeser budaya khas UIN. Yaitu, budaya mahasiswa-mahasiswa kritis, berganti dengan budaya mahasiswa-mahasiswa hedon.

Dulu… mahasiswa UIN (IAIN) adalah mahasiswa yang bangga bila berjalan di dalam kampus sambil memegang buku-buku filsafat, sosial, politik, dan agama, dengan judul-judul terbaru. Semakin terbaru judulnya, semakin bangga para mahasiswa membawanya. Kini tradisi itu hilang sudah. Mahasiswa UIN lebih bangga berjalan di dalam kampus bila sambil memegang Handphone dengan model-model terbaru. Semakin baru mereknya, maka bangganya pun melonjak tidak ketulungan.

Dulu… di bawah pohon rindang, para mahasiswa senang berdiskusi tentang seputar problem-problem sosial yang hangat di masyarakat. Di bawah pohon rindang itu pula, mereka asyik berdebat menentukan dan merencanakan strategi aksi demonstrasi sebagai wujud tanggungjawab sosial mereka sebagai mahasiswa kepada masyarakat.

Kini bukan hanya pohon rindang itu yang hilang, tetapi juga diskusi-diskusi jalanan yang renyah itu juga hilang. Kalau pun ada diskusi, diskusi itu sudah berganti tema. Harga lipstik yang melambung. Harga velg mobil dan motor yang sudah melambung. Kini menjadi tema yang seksi didiskusikan.

Bukan hanya diskusi informal mahasiswa yang hilang. Diskusi formal juga mulai pudar. Sekian banyak aturan birokrasi bapak buat untuk menghambat akses kemudahan mahasiswa menggelar diskusi ilmiah formal di dalam kampus. Betapa sulitnya mahasiswa menggunakan ruangan. Dan betapa jelimetnya ketika organisasi ekstra bekerjasama dengan intra kampus mengadakan diskusi di dalam kampus. Bahkan belakangan mulai dilarang.

Ya… atas semua fenomena itu, bapak adalah orang yang paling bertanggungjawab. Saya yakin, dengan tradisi kampus seperti itu, ke depan UIN yang bapak “set-up” ini hanya akan melahirkan seorang intelektual “tukang,” dan cendikiawan “badut” belaka.

Bapak Rektor yang mudah-mudahan akan tetap terhormat di mata saya… dan di mata publik….

Demonstrasi, adalah bajunya mahasiswa pak. Mahasiswa tak pernah demonstrasi, berarti hakikatnya ia tak mengenakan baju. Mahasiswa dan demonstrasi punya sejarah panjang. Orde Baru pun lahir dari demonstrasi mahasiswa. Begitu juga ia tumbang dengan demonstrasi mahasiswa. Tanpa demonstrasi, mahasiswa tak punya eksistensi. Betul, kekayaan intelektual adalah kekuatan mahasiswa. Tapi tanpa demonstrasi, kekuatan intelektual itu hanyalah “kibasan pedang” di ruang kosong.

Betul, bahwa demonstrasi punya etika. Tapi kekerasan bukanlah jawaban untuk menghadapi demonstrasi yang menurut bawahan bapak itu, tidak beretika. Alasan Satpam juga manusia, yang punya rasa ketersinggungan bukan lah alasan. Satpam itu sudah memang tugasnya akan menghadapi situasi yang tak mengenakkan di lapangan. Untuk itu mereka dilatih untuk bersabar dalam menjalani profesinya. Lagi pula, etika yang dimaksud masih sesuatu yang bebas nilai dan bisa kita perdebatkan.

Karena itu, saya amat mengutuk dan mengecam kejadian ini.

Apakah ada penyesalan bapak atas kejadian ini…?

Mohon bapak jawab dengan penuhi tuntutan saya:

Menyatakan permohonan maaf kepada para mahasiswa yang menjadi korban maupun mahasiswa UIN secara keseluruhan atas tindak kekerasan yang dilakukan Satpam. Juga termasuk kepada alumni UIN serta masyarakat umum, selaku pemilik saham UIN.

Menyatakan tidak akan mengulangi kekerasan kembali kepada mahasiswa yang berdemonstrasi.
Memberikan sanksi seberat-beratnya kepada pejabat-pejabat yang bertanggungjawab secara komando atas kejadian tersebut.

Demikian surat ini saya sampaikan, sebagai tanda cinta saya kepada UIN Syarif Hidayatullah, almamater saya.

Matraman, 22 November 2006
Hormat saya,

Fan el Kindy
Alumni UIN Syarif Hidayatullah


Lampiran :
KRONOLOGIS AKSI ALIANSI PEDULI MAHASISWA

Keluarga Mahasiswa Bogor (KMB), Komite Mahsiswa dan Pemuda Anti Kekerasan (KOMPAK), Fron Mahasiswa Nasional Ciputat (FMN), Lingkar Studi dan Aksi untuk Demokrasi (LS ADI), PMII, KAM UIN.
Ciputat, 18 November 2006

Aksi dilakukan bertepatan dengan rencana kedatangan Mendiknas Bambang Sudibiyo dalam munas Ikatan Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.(IKALUIN) . Aksi ini menuntut kepada Mendiknas agar subsidi 20% dana APBN dapat direalisasikan dengan baik untuk pendidikan. Selain itu, Aksi ini juga menolak, UIN Syarif Hidayatullah yang direncanakan menjadi Kampus yang berkelas Internasional, karena melihat ketidaksiapan kampus UIN dan belum memenuhi syarat untuk menjadi World Class University.

Sebelum aksi dibuka pukul 08.45 WIB, kepala kemanan UIN Syahid (Kepala Satpam) mendatangi massa aksi yang sedang berkumpul dan Ka. Satpam tsb memperingatkan agar aksi tersebut berjalan dengan tertib, ssetelah itu dia menemui Kordinator Lapangan aksi (korlap – Taufiqqurrahman).

Aksi dibuka pukul 09.00 WIB dengan peserta aksi 9 orang di depan Fak. Tarbiyah dan Keguruan UIN Syahid.

Pukul 09.30 WIB sekitar 12 orang massa aksi bergerak menuju Fak. Syari’ah dan Hukuim, Adab, Ushulluddin dan Filsafat, dan terakhir di Fak. Dakwah untuk mengajak mahasiswa (penyisiran) untuk turun aksi.

Setelah melakukan penyisiran di fakultas-fakultas, pukul 10.20 WIB massa aksi sekitar 21 orang bergerak menuju Auditorium Utama, lokasi tempat Munas IKALUIN berlangsung.

Saat perjalanan menuju tempat Audit pada pukul 10.28 WIB massa aksi dihadang didepan gedung rektorat oleh satpam kampus yang berjumlah sekitar 30 orang. (Audit terletak dibelakang Gedung Rektorat)

Mendapat hadangan, massa kasi berhenti dan menggelar aksi di gedung rektorat dengan orasi-orasi. Ditengah kegiatan aksi, aparat satpam terus mendesak massa untuk membubarkan diri dan menyuruh massa aksi pindah ke lokasi lain. Salah satuassa aksi bernegosiasi ( Joglo – KAMJAK) sampai akhirnya diberikan waktu untuk membacakan statement saja.

Setelah melihat kondisi hujan dan siatuasi mulai memanas karena desakan dari satpam, korlap aksi memutuskan untuk membacakan pernyataan sikap dan menutup aksi Pukul 10.38 WIB.

Namun ketika pembacaan statement, yang dibacakan oleh Sahlah (Mahasiswa smt 3 fak. Ushuluddin), terlontar ucapaqn salam “kami ucapkan selamat bagi satp[am kampus yang rela menjadi budak rektorat”.

Mendengar ucapan tersebut, salah seorang satpam bernama Toro membalas dengan menyatakan “ saya bukan budak rektorat, hati-hati kalau ngomong”. Kemudian aparat yang lain mengahmpiri massa aksi dan melontarkan omongan “sialpa yang ngomong budak tadi”, dengan nada marah dan mengancam Sahlah. Satpam kemudian mendesak massa aksi ke belakang sambil mendorong dengan kasar. Pukul 10.41 WIB.

Melihat situasi, masa aksi mencoba melindungi Sahlah, Taufiqurrahman menghalangi pukulan satpam, dan Joglo melerai satpam agar tidak melakukan hal yang lebih jauh.

Situasi tesebut membuat massa aksi kocar kacir dan berlarian menuju pintu keluar kampus. Massa aksi tetap dikejar oleh puluhan Satpam yang mencopot bajunya sambil mengatakan “maju lo…minta dekengan siapa lo…?”, “ kalau mau ribut, di lauar”, “siapa lagi yang mau nantang”. Satpam mengejar massa akasi hingga pemukiman penduduk dan sempat ada yang yang mengambil botol saos bakso dari pedagang mi ayam, digunakan sebagai alat untuk memukul Fahmi (KMB)salah satu massa aksi. Agung berusaha mengejar Fahmi (samapai bajunya robek) dan berusaha melerai, namun malahan Agung menjadi sasaran pemukulan Satpam yang juga mengejar dari belakang, pun juga dipukul oleh satpam yang membawa botol saos. Tidak berhenti di situ, dengan menggunakan kendaraan (motor) satpam, melakukan penyisiran di sekitar kampus.

Daftar Korban:
Fahmi (KMB). Fakultas Psikologi I. : hingga baju robek, dan dikejar dengan mengacungkan botol saos hingga Jl Pesanggarahan (Jln samping Kampus).

Sahlah LS Adi Fak. Ushuluddin Smt .Ushuluddin III.: Didorong, diintimidasi dan ditonjok,tapi mengenai korlap (Taufiqurrahman) yang melindungi sahlah, shook dan kemudian pingsan didepan kost ketika menyelamatkan diri, saat siuman dikejar lagi dan sembunyi di warung makan, dan ditunggu oleh 5 orang satpam di depan warung.

Agung KOMPAK, Fak. Psikologi III.: Dikroyok tiga satpam dipukuli, dijambak, kepala dipukul dengan tangan dan botol.

Bagus Fak. Ushululuddin Smt III (LS ADI).: Diserang 3 orang satpam, satu menyekik, satu mendorong dan satu lagi memukul perut dan dipukili bereme-rame

Taufiqurrahman (Omen) Ushuluddin Smt III: kena pukul dibagian punggung ketika melindungi Sahlah.

Deni Fak. Adab I: Dikeroyok tiga Satpam kena pukul bagian punggung.

Fredi FMN: Dikroyok, ditendang di perut, dipukul bagian wajah /pipi memar ringan, dan dikejar hingga di pintu kecil keluar kampus.

 
1 Comments:


At November 26, 2006 4:32 PM, Anonymous Anonymous

Serasa baca ahmad wahib. Sewaktu kuliah aku tdk menemukan dunia spt itu. Yg ada persis yg digambarkan di surat utk pak Rektor mahasiswa bangga dg aksesoris (materi) yg dimiliki, datang ke kampus hanya kuliah, lalu pulang ke kosan, ngrumpi, shoping en ngeceng.

Sepertinya di almamaterku sampe sekarang seperti itu. Yang jelas, disana aku tidak menemukan figur.