Monday, February 19, 2007, posted by Van Elki at 23:40
Kembali ke halaman depan

(Catatan: Tulisan ini dibuat dalam rangka meramaikan perdebatan pro-kontra di suatu milis alumni UIN Jakarta yang saya ikuti. Perdebatannya mengenai tindak kekerasan yang dilakukan Satpam Kampus UIN Jakarta. Mau lebih jelas tahu duduk perkaranya bisa klik disini)

SECARA filosofis dan sosiologis, gak ada yang salah menurut sy apa yang dikatakan oleh mahasiswa yang aksi saat itu menyebut Satpam sebagai 'Budak Rektorat". Kata itu disebut sebagai bentuk pengungkapan atas fakta yang sebenarnya. Dan fakta itu penyimpangan dari fakta ideal yang harusnya ada. Mestinya, Satpam itu bukan sebagai "Budak Rektorat", tapi ia sebagai "Budak Mahasiswa".

Memang, bahwa budak atau sistem perbudakan, secara nyata, sudah tak ada di dunia dewasa ini. Tapi subtansinya, ia masih tetap ada. Nah, dalam keseharian kata budak sudah umum dipergunakan oleh orang Indonesia untuk memajaskan (mengqiyaskan) pada makna yang lain. Misalnya, Si A sudah diperbudak harta, Si B sedang diperbudak oleh pekerjaan, Si C kini diperbudak oleh Isterinya.

Mungkin, sy pun juga akan mengatakan, sy sedang diperbudak oleh milis ini, sehingga harus buang-buang waktu membalas komentar-komentar di milis ini.

Sehingga, kata "budak" tak lagi mengandaikan tentang sistem perbudakan an sich. Melainkan mengandaikan tentang sifat atau kondisi di mana seseorang mengalami tekanan atau paksaan tanpa bisa melawan atau membantah atas tekanan itu.

(mau bahas lengkap kata budak, silakan aja deh buka kamus... Saya usul-usul anggota milis ini ada yang bikin tulisan tuh tentang arti kata budak, kali aja bisa masuk dalam kolom bahasa-nya Kompas).

Jadi kata "budak" yang dilontarkan oleh mahasiswa pasti tujuannya bukan untuk menggambarkan atau mempersamakan Satpam seperti Bilal bin Rabah misalnya, atau seorang Romusha, atau yang lainnya...

Melainkan sebuah kritik kepada Satpam, bahwa Satpam itu harusnya menjadi Budaknya mahasiswa. Yang tunduk pada kepentingan mahasiswa. Bukan tunduk kepada kepentingan Rektorat....

Lho bukannya Satpam digaji oleh Rektorat? Logis dong... kalo Satpam tunduk kepada Rektorat...?

Nah itu lah makanya apa dikomentari bang Ray Rangkuti... Uang dari mana Rektorat membayar gaji untuk Satpam. Bukankah dari mahasiswa... ? Jadi logikanya, mahasiswa lah yang menjadi Tuan bagi Satpam. Bukan Rektorat.


ADA ide besar yang sedang berkembang di dunia ini. Cepat atau lambat, UIN juga akan "dihajar" oleh ide ini. Yakni "KEDAULATAN MAHASISWA". Mungkin ini ide lama, yang kini di Indonesia sedang "mati suri".

Mengapa ada kedaulatan mahasiswa... ?

Coba kita simak. Dalam hubungan produksi antara buruh dan majikan, buruh punya tenaga, majikan punya uang. Karena majikan punya uang, maka ia yang berkuasa atau mendominasi atas hubungan produksi itu.

Lalu dalam hubungan antara mahasiswa dengan birokrat kampus, mahasiswa yang punya uang, birokrat kampus dan beserta dosen-dosennya adalah yang punya tenaga. Lalu apakah yang punya uang dalam hubungan antara mahasiswa dan birokrat kampus ini, akan menjadi majikan atau mendominasi hubungan itu....? Faktanya ternyata tidak.

Alur:
Buruh = punya tenaga = menjadi budak = objek eksploitasi vs Majikan = punya uang = menjadi majikan = subjek eksploitasi

Mahasiswa = punya uang = tidak menjadi majikan = objek eksploitasi vs Birokrat kampus = punya tenaga = tidak punya uang = menjadi majikan = subjek eksploitasi

Hubungan mahasiswa dengan birokrat kampus adalah hubungan yang timpang. Majikan berada ditangan yang punya tenaga. Kalau berkaca dari teori2 marxisme, wah kayanya hubungan seperti ini yang diidamkan oleh marx. Karena Marx percaya, tenaga adalah modal utama dalam produksi. Tapi disini sy gak mau jauh ngomong tentang si cak marx ini.

Bisa jadi ada anggota di milis ini bilang, "wah gak bisa dong diperbandingkan antara hubungan buruh vs majikan, dengan mahasiswa vs birokrat kampus..? buruh-majikan itu kan hubungan industrial yang mengejar keuntungan, sedangkan mahasiswa-birokrat kampus adalah hubungan pendidikan yang tak mencari keuntungan.. ."

Pertanyaan saya, apa benar dunia pendidikan kita sekarang ini tidak mencari untung. Tidak untuk bisnis. Tidak untuk tujuan komersial... ? Mari kita taruh fakta-fakta di atas meja. Saya berani bertaruh, 99% pendidikan kita adalah bisnis. Makanya saya kira bukan hanya Depdiknas yang menaungi bidang pendidikan, tetapi mestinya juga Departemen Industri dan Perdagangan - Deperindag.

Tp saya tidak mau berdebat bisnis atau tidak bisnis. Kalo pun memang pendidikan adalah bisnis, ayo letakkan dunia pendidikan itu dengan prinsip bisnis profesional. Dalam bisnis profesional berarti, majikan adalah yang punya uang... Dan karena mahasiswa yang punya uang, berarti mahasiswa yang punya kuasa di dalam kampus....

Coba lihat, kaidah hukum bisnis modern mengajarkan, bahwa saham kepemilikan suatu perusahaan harus juga dishare kepada buruh. Tenaga buruh dalam proses produksi, adalah modal yang dimiliki oleh buruh. Karena buruh juga pemegang saham, maka buruh punya suara dalam RUPS.

Lalu UU 13/2003 ttg Ketenagakerjaan, juga mengamanatkan, peraturan perusahaan dibentuk dan dibuat dengan melibatkan persetujuan buruh.

Nah,saya bisa bayangkan kalo ini terjadi dalam hubungan mahasiswa dengan birokrat kampus. Tidak seperti sekarang. Di mana peraturan-peraturan di kampus dibuat secara sepihak oleh birokrat kampus. Dan mahasiswa hanya bisa menerima dan wajib menjalaninya.

Tentu saja, wacana "kedaulatan mahasiswa" bukan untuk tujuan siapa menguasai siapa. Siapa mendominasi siapa. Tapi untuk menjadikan hubungan itu agar lebih humanis dan proposional. Di tambah, wacana "kedaulatan mahasiswa" sedang berjalan mencari bentuknya yg sempurna.

KEMBALI kepada pada kata "budak Rektorat". Sekali lagi kata itu tidak lah salah pak Yayan. Mahasiswa yang mengatakannya adalah benar. Kalo satpam marah mendengar kata itu, Satpamnya yang harus dididik lagi. Satpam itu otak dan pikirannya harus ditraining. Jangan cuma fisiknya yang ditraining.

Oya, orang-orang yang bertanggungjawab atau memberikan komando kepada Satpam juga gak luput untuk ditraining.

Soal siapa yang mentraining, gak usah khawatir pak YS. Saya kira bang RR ini akan dengan senang hati menjadi trainernya.. . Dan gak usah diragukan lagi kapasitasnya. ..

Salam hangat

"Fan el-Kindy"


Kembali ke halaman depan
 
, posted by Van Elki at 18:26

Terima kasih...

Kamu sudah dengan suka hati membuka halaman blog ini....

Maaf, kalau isi halaman blog ini mengecewakan kamu..

Tapi jangan khawatir... Tuhan sudah mencatat niat dan pikiran yang ada di otak kamu itu...
Hehehehehehe........
"Makanya, gunakan internet untuk hal-hal yang ada manfaatnya. Jangan gunakan untuk tujuan esek-esek deh... Gak ada gunanya... Cuma bikin otak jadi kering....."
"Sory ya bro, gua dah ngerjain lo...." hehehehehe...
 
Saturday, February 17, 2007, posted by Van Elki at 22:27

“Aku Ingin Mati di Sisi Mu, Manis Ku”

Tentang Film Gie

Ira tersentak saat pintu depan rumahnya diketuk seseorang. Saat pintu ia buka, ternyata temannya seorang lelaki bernama Denny. Air muka Denny tak cerah. Sehingga membuat Ira yang tadinya tersenyum berubah jadi terdiam. Sepertinya Ira sudah mengira Denny datang membawa berita buruk untuknya.

“Gie titip surat buat kamu,” kata Denny sembari menyerahkan sepucuk surat kepada Ira.

“Maaf ya Ra, mestinya saya datang kemarin.”

“Ada kabar buruk dari Semeru, Ra.”

Ira terdiam tak menyahut. Sepucuk surat yang diberikan Denny dibukanya perlahan. Ira terlihat konsen membacanya. Tak lama, perlahan butiran-butiran air matanya mulai menitik. Tangisan sesenggukannya meraung lemah. Sayup-sayup terdengar suara Gie membaca isi surat yang dibuatnya untuk Ira.

Ada orang yang menghabiskan waktunya ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Mirasa

Tapi aku ingin menghabiskan waktu ku di sisi mu... sayangku...

Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandala Wangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danau
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biapra

Tapi aku ingin mati di sisi mu...
Manis ku...

Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu

Mari sini sayang ku...

Kalian yang pernah mesra
Yang simpati dan pernah baik pada ku

Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung...

Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita tak kan pernah kehilangan apa-apa

Nasib terbaik adalah tak pernah dilahirkan
Yang kedua, dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial adalah berumur tua
Berbahagialah mereka yang mati muda

Mahluk kecil...
Kembalilah dari tiada ke tiada...
Berbahagialah dalam ketiadaan mu...

***

Tentang Gie
Narasi di atas adalah secuplik adegan film “Gie” yang disutradarai sineas muda berbakat, Riri Riza. Ini adalah adegan favorit saya dalam film “Gie”. Di komputer jinjing saya, dua file VCD film Gie telah tertanam. Saat waktu luang, berulang kali saya putar adegan favorit itu di komputer. Tak ada rasa bosan. Saya begitu menikmatinya.

Tahu film Gie? Wah ketahuan "gak up to date" kalau tidak tahu. Soalnya tidak ada alasan untuk tidak tahu. Promosi filmnya cukup jor-joran. Film ini diaktori oleh bintang muda ganteng yang kondang. Nicholas Saputra memainkan peran sebagai Gie. Aktingnya cukup memukau dalam film ini.

Sebelum film ini dibuat, banyak orang yang belum tahu siapa sosok Gie sebenarnya. Tapi sejak awal kuliah tahun 97 silam, saya sudah mengenalnya lebih dulu. Seorang sobat memberikan sebuah buku “Catatan Seorang Demonstran” yang ditulis Gie.

Soe Hok Gie adalah nama lengkap dari Gie. Lahir pada ??? tahun ??? di Jakarta. Ia salah seorang aktivis gerakan mahasiswa di Jakarta yang ikut memainkan peranan mengorganisir aksi-aksi mahasiswa menjatuhkan kekuasaan Presiden Soekarno pada tahun 1966. Namun saat Presiden Soeharto berkuasa, pria alumni fakultas Sastra Universitas Indonesia dan berperanakan China ini, tidak ikut turut menikmati lezatnya kekuasaan. Ia memilih justru berdiri di luar sistem. Suara kritisnya terhadap sistem yang korup, manipulatif dan despotik tak kendur ia lontarkan. Bahkan kian tajam. Sikapnya ini berbeda dengan kebanyakan rekan-rekannya yang justru berbondong-bondong masuk dalam ketiak kekuasaan.

Soe Hok Gie sosok aktivis gerakan mahasiswa yang luar biasa komitmen moralnya pada nasib rakyat Indonesia yang tertindas. Bukan hanya di zamannya, tapi juga sampai kini ia tetap fenomenal. Sosoknya bukan hanya kritis, tapi ia juga cerdas. Kecerdasannya bisa dilihat dari hasil karya tulisnya. Salah satunya adalah buku “Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.” Ini adalah buku penulisan sejarah yang bobotnya cukup berkualitas. Kaya informasi. Analisisnya pun tajam.

Sayang, di usianya yang masih muda, Gie telah dipanggil oleh Tuhan pada tahun 1971. Saat sedang menikmati hobinya naik gunung, Gie tewas menghirup gas beracun di atas puncak gunung Semeru. Saya termasuk orang yang menunggu-nunggu melihat film Gie diputar, ketika tahu Riri Riza akan membuat film tentang sosoknya.

Sedikit banyak, pokok-pokok pikiran Gie dalam buku “Catatan Seorang Demonstran” telah ikut mengkonstruksi cara berpikir saya. Terimakasih Koh Gie. Semoga Tuhan memberikan tempat layak atas pengabdianmu untuk memajukan peradaban manusia.

****

Tentang Puisi Gie
Semua orang pasti setuju. Daya tarik adegan yang saya narasikan di atas, terletak pada barisan kata-kata puitis yang dibuat oleh Gie untuk Ira, sang perempuan idaman hatinya. Buat saya, puisi Gie ini amat romantis sekali. Meski di sisi lain, puisi Gie bisa membuat bulu roma saya berdiri.

Pada bagian akhir puisinya, Gie seperti sudah memprediksi kematiannya yang tak lama lagi bakal menjemputnya. Gie meyakini, mati di usia muda adalah sebuah keberuntungan. Ia menyebutnya sebagai nasib mujur. Sebaliknya, orang yang diberikan usia panjang sampai berusia tua, menurut Gie adalah sebuah kesialan. Aneh bukan?

Bila kita fahami apa yang dimaksud Gie, tentu pernyataannya bahwa mati muda adalah kemujuran, bukan pernyataan yang salah. Gie sadar betul bahwa manusia adalah mahluk yang gampang tergoda oleh kenikmatan dunia. Manusia adalah mahluk yang munafik. Manusia adalah mahluk yang sering tidak konsisten antara perkataan dan sikapnya.

Dan Gie menyadari, bahwa dirinya tak luput dari karakter manusia yang seperti itu. Makanya, ia mengatakan orang mati muda adalah beruntung. Dengan mati muda, tentu tak banyak dosa yang ia buat. Tak banyak kebohongan yang ia buat.

Dimensi lain dari puisi Gie adalah sosoknya yang romantis. Ini menunjukkan bahwa aktivis adalah juga manusia yang punya rasa untuk menyayangi dan mengasihi seorang perempuan yang telah memikat hatinya.

Ira adalah salah seorang perempuan yang selama ini dekat dan bersahabat dengan Gie. Dari persahabatan itu, Ira ternyata menaruh hati dengan Gie. Gie pun menyadari, Ira telah memberikan sinyal cinta kepadanya. Namun keraguan dan kebimbangan hati Gie pada pilihan perempuan lain, membuatnya tak segera menyatakan cintanya kepada Ira.

Hingga akhirnya, Gie membuat sepucuk surat untuk Ira seperti dalam isi puisi di atas. Surat itu menjadi tanda bahwa Gie ingin mengemukakan cintanya kepada Ira sebelum sesuatu yang buruk terjadi kepadanya, yang kemudian dapat membuat ia tak dapat mengungkapkan isi hatinya kepada Ira.

Dalam bait puisinya itu, Gie memang tidak menyatakan cintanya secara lugas. Tapi maknanya jelas, Gie hendak memposisikan Ira sebagai kekasihnya. Di puisinya itu Gie berujar:

"Tapi, aku ingin menghabiskan waktu ku di sisi mu... sayangku...
Tapi, aku ingin mati di sisi mu... Manis ku..."

Benar saja. Beberapa lama setelah ia menulis puisi cintanya kepada Ira, Gie pun meninggal. Tentu saja rasa haru yang begitu deras dialami oleh Ira. Bagaimana tidak, ternyata orang yang telah memikat hatinya selama ini akhirnya menyatakan perasaannya juga. Tapi apa mau dikata. Kebahagiaannya bercampur kepedihan teramat dalam. Karena orang yang menyatakan cintanya itu sudah tak ada lagi di dunia. Jalinan cinta sepasang insan itu ternyata hanya tinggal sejarah yang tak dapat berujung menjadi happy ending.

Sampai sini, sambil mengelus dada, saya mau bilang, aduh amat romantis tragedi sekali jalan cerita ini. Yang tidak nahan itu adalah bait puisinya. “aku ingin mati di sisi mu manis ku.”

Kalimat ini bisa jadi adalah pepesan kosong (gombal) yang sering diucapkan kaum lelaki untuk memperdaya kaum perempuan agar jatuh ke dalam ‘pelukannya’. Tapi ketika Gie yang mengucapkan, maknanya menjadi lebih dalam. Karena Gie begitu tulus mengucapkan kalimat ini untuk Ira.

Sungguh, menikmati adegan film Gie di atas, membuat saya ingin juga latah-latahan melontarkan kalimat ini kepada seseorang perempuan. Tapi bagi saya, kalimat ini teramat sakral untuk diucapkan. Berdosa rasanya jika dilontarkan hanya untuk gagah-gagahan atau sekedar rayuan murahan belaka.

Namun, saya ingin sekali bisa mengucapkan kalimat ini dengan ketulusan hati yang dalam, dan bukan bualan. Hanya kepada seorang perempuan saja ingin ditujukan. Entah siapa orangnya, hingga kini belum jua berani ditentukan. Biarlah sejarah yang akan menjawab kapan waktu itu tiba. Bisa jadi, kematian itu indah dan dapat dinikmati bila kematian itu datang saat saya berada di sisi seorang perempuan yang telah memenjara hati saya dengan nyaman. Kelak kepada perempuan itu, saya akan lontarkan kalimat ini kepadanya.

“Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danau... Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biapra... Tapi, aku ingin mati di sisi mu, manis ku....”


Writed by: Fan el Kindy
Depok, Februari 2007