Monday, December 04, 2006, posted by Van Elki at 19:15
Inilah serunya berkorespondensi dengan banyak kawan di dunia maya. Bisa tukar pikiran. Tukar pengalaman. Saling memotivasi. Dan saling mengingatkan. Salah satunya adalah untuk urusan yang satu ini. Apalagi kalau bukan dengan urusan yang nyerempet-nyerempet dengan asmara, dan masa depan bahtera rumah tangga.

Salah satu kawan pena saya, seorang mahasiswi pada sebuah perguruan tinggi negeri di Banda Aceh, memforward sebuah artikel menarik ke email ke saya. Judulnya “Toserba Pasangan Hidup.” Mungkin saja artikel yang belum saya ketahui siapa penulisnya ini sudah beredar luas di internet. Tapi baru kali ini saya membacanya. Inilah artikelnya;


“Toserba Pasangan Hidup”

Beberapa bulan lalu di buka sebuah Toserba (Toko Serba Ada) yang unik, karena di dalamnya dijual pasangan hidup yang di masing masing lantai memiliki kriteria kriteria sendiri sendiri. Dan kebanyakan yang mampir di sana hanya orang orang tertentulah yang memiliki hobby yang tinggi dalam berbelanja.

Seperti halnya pada sore hari di akhir minggu ini, ada seorang pengunjung yang sedang berbelanja ingin mencari seorang pasangan hidup yang ideal baginya… Sesampai di Toserba pasangan hidup yang terletak di jalan pernikahan, dia melihat tulisan di depan toko yang mengintruksikan bahwa toko ini hanya boleh di kunjungi satu kali seumur hidup. Serta masuknya harus satu persatu.
Dan di papan pengumuman yang lain juga terdapat instruksi bahwa di toko ini terdapat 6 lantai yang masing masing lantai kriteria yang dimiliki pasangan hidup semakin keatas semakin bagus.

Sebelum masuk ke lantai satu seorang recepsionist memberikan aturan juga bagi setiap pengunjung yang masuk bahwa setiap naik ke lantai selanjutnya tidak diperbolehkan turun kembali ke lantai sebelumnya. Kalau sudah sampai lantai terakhir dan kalau tidak ada yang cocok dipersilahkan turun lewat tangga darurat.

Kemudian pengunjung itu mulai masuk ke lantai 1. Di lantai 1 terdapat tulisan seperti ini:

Lantai 1: “Disini tersedia pasangan hidup yang tetap berpenghasilan, memiliki keyakinan dan patuh kepada tuntunan agama hingga terpecaya tentang keshalihannya…”

Dia pun berdiam sejenak dan sedikit melirik, sambil berguman, “hhhhmmmmnnnn...!” Kemudian melanjutkan ke lantai berikutnya.

Di lantai 2 terdapat tulisan seperti ini :

Lantai 2 : “Di sini tersedia pasangan hidup yang berpenghasilan, taat pada agama, dan sangat senang bermain bersenda gurau dengan siapapun hingga dia terpecaya tentang kelembutan hati dan kasih sayangnya …”

Sampai disini pengunjung tersebut sedikit berdegup sambil tersenyum tersipu dalam hati dan kemudian beranjak melangkah ke lantai berikutnya.

Di lantai 3 terdapat tulisan seperti ini :

Lantai 3 : “Disini tersedia pasangan hidup yang berpenghasilan, taat pada agama, baik hati, dan memiliki perawakan yang ideal serta paras wajah yang menawan...”

Dengan melangkah agak ragu dia menapaki lantai ini sambil berbisik “Wauow”, hingga dalam benaknya ingin sekali melihat lantai selanjutnya.

Lalu sampailah pengunjung itu di lantai 4, dan terdapat tulisan :
Lantai 4 :“Disini tersedia pasangan hidup yang berpenghasilan, taat pada agama, baik hati, menarik, dan sangat senang sekali membantu dan mengerjakan pekerjaan pekerjaan yang berada diluar tugas tugasnya hingga mampu meringankan beban orang lain...”

‘’Ya ampun !’’ Dia berseru, ‘’Aku hampir tak percaya.’’ Dengan rasa kepercayaan diri yang tinggi dan tanpa menoleh pengunjung tersebut bergegas untuk melihat bentuk pasangan hidup dilantai selanjutnya.

Dan dia tetap melanjutkan ke lantai 5 dan terdapat tulisan seperti ini :

Lantai 5: “Di sini tersedia pasangan hidup yang berpenghasilan, taat pada agama, baik hati, cakep, suka membantu, dan memiliki kesetiaan hingga rasa romantis selalu dia pancarkan dalam setiap sudut kata dan perbuatannya...”

Bahkan sekarang tanpa menoleh kemana-mana, setelah membaca kriteria pasangan hidup dilantai 5 ini pengunjung tersebut langsung saja menuju lantai terakhir. Karena dia berpikir lantai selanjutnya pasti lebih baik.

Lanta 6, lantai terakhir terdapat tulisan seperti ini :

Lantai 6 : “Maaf stock yang disini sudah habis dan tidak diproduksi lagi karena sifat sifat yang dimiliki pasangan hidup pada lantai ini hanyalah seorang yang hanya satu saja diciptakan Allah dan dia adalah manusia yang paling sempurna...”

Kemudian, seorang penjaga toserba di lantai 6 ini mengatakan bahwa ; “terima kasih anda adalah pengunjung dengan no 3.030.303.030XXXXXX !!!… dan terimakasih pula anda telah berkenan meluangkan sedikit waktu dan kesempatan untuk mampir di toserba kami yang hanya boleh disinggahi tiap orang satu kali saja seumur hidup... dan hati-hati ketika keluar toko serta semoga Allah menyertai setiap hari hari indah anda …”

Bagi anda yang suka jalan jalan berbelanja ke berbagai toserba dan ketika sudah merasa sampai pada toserba yang seperti ini… ada satu pertanyaan :

“...Sudah sampai lantai berapakah diri anda ?” Maksudnya ketika sudah menemukan kriteria pasangan hidup yang sesuai dengan tebalnya kantong dompet yang berisi kualitas diri anda, segera saja isi dompet anda dikeluarkan dan digunakan untuk membeli pasangan hidup tersebut. Jangan sampai mengikuti hawa nafsu manusia yang selalu ingin memenuhi kepuasan diri saja, padahal sudah sadar betul apa yang di depan mata dan sudah sadar pula modal dari pada kualitas diri sendiri. Terlebih ketika menginginkan kriteria pasangan hidup yang harganya diatas isi dompet anda. Bukankah itu namanya mempersulit dan menyusahkan diri sendiri saja...!!!

*****

ATAS kiriman artikel ini, saya pun membalas emailnya dan menanggapi isi artikelnya seperti saya tulis di bawah ini:

Pasangan Ideal: Keinginan atau Kebutuhan..?

Untuk sahabat pena saya yang baik...

Terimakasih ya, kamu sudah forward artikel ini ke email saya. Sungguh ini artikel yang bagus. Tidak pernah saya membaca artikel ini sebelumnya. Saya pikir artikel ini sudah banyak terpublish di internet, tetapi setelah saya cek dengan mesin pencari (search engine), nyatanya tidak saya temukan artikel ini. Kecuali ada satu pada sebuah halaman blog.

Subtansi materinya saya amat setuju (meski pun si Amat belum tentu setuju). Artikel ini ingin memberikan pesan kepada pembacanya, bahwa manusia adalah mahluk yang tak pernah puas. Termasuk dalam mencari pasangan hidup. Ketidakpuasan itu kemudian akhirnya yang membuat manusia tersiksa dengan hatinya sendiri. Tersiksa dengan sikapnya sendiri.

Untuk yang satu ini, saya setuju sekali. Begitulah memang manusia. Saya pun kini sedang belajar banyak bagaimana cara untuk terhindar dari penyakit manusia yang satu ini. Saya menyadari, bahwa ketidakpuasan itu bersumber dari keinginan.

Mestinya ketidakpuasan yang harusnya kita kembangkan adalah bersumber dari kebutuhan, bukan keinginan. Itu juga yang dikatakan oleh musisi legendaris idola saya, Iwan Fals. Dia bilang, “keinginan adalah sumber penderitaan.” Sebagaimana dia tulis dalam lagunya berjudul “Seperti Matahari”. (Nanti lagu ini aku kirim deh ke email mu...)

Jadi semakin besar keinginan kita, berarti semakin kita akan menderita.

Sahabat pena ku yang baik...

Kaitannya dengan artikel ini jelas. Bahwa keinginan untuk mendapatkan pasangan hidup yang ideal atau sempurna, itu sama saja membuat manusia terporosok dalam jurang ketersiksaan diri. Sampai kapan pun kita tidak akan pernah mendapat pasangan hidup yang sempurna buat kita. Yang mestinya kita lakukan adalah, belajar untuk sempurna menyayangi dan mengasihi seseorang yang akan menjadi pasangan hidup kita.

Dengan mengirim artikel ini kepada saya, saya merasa kamu sepertinya juga ingin bertanya kepada saya... Kira-kira, jenis pasangan hidup seperti apa yang akan saya pilih bila masuk ke Toserba Pasangan Hidup itu..?

Baik lah, saya ingin menjawab begini.

Bicara soal kategori, menurut saya kategori yang dicantumkan dalam artikel itu belum cukup untuk mewakili apa yang terjadi pada kenyataannya. Pilihan-pilihan ideal tentang pasangan hidup, sebenarnya cukup complicated. Dan tidak sesederhana dalam artikel itu.

Di artikel itu terkesan, bahwa seakan-akan seseorang kesulitan mencari pasangan hidup itu karena terdapat motivasi materi. Bahkan kebahagiaan dalam berpasangan hidup diukur dengan adanya keunggulan materi. Baik itu fisik, harta, kehormatan, dan lain-lain. Apalagi ada kalimat seperti ini, “Terlebih ketika menginginkan kriteria pasangan hidup yang harganya diatas isi dompet anda. Bukankah itu namanya mempersulit dan menyusahkan diri sendiri saja …!!!”

Saya agak kurang sreg dengan kalimat ini. Kalimat ini seakan menegasikan (menolak) adanya faktor “cinta” sebagai faktor dibalik hubungan pasangan hidup. Meski kita tidak menyangkal, bahwa memang cinta ternyata ada yang berlatar materi. Tetapi harus kita akui juga, bahwa ada cinta yang berlatar pada faktor-faktor immateril (di luar materi).

Itulah mengapa misalnya banyak kejadian, menurut pandangan orang, si A sebenarnya tidak pantas menikah dengan si B. Karena si A adalah perempuan yang berharta dan cantik. Sementara si B adalah lelaki desa yang tak punya uang dan berpenampilan biasa-biasa saja. Tak punya kelebihan secara fisik. Tapi nyatanya si A menganggap bahwa si B memiliki kelebihan yang tak dimiliki oleh lelaki lain. Meski ada lelaki lain yang juga menyukai si A dengan kelebihan punya harta dan berwajah rupawan dibanding dengan si B.

Kelebihan yang menjadi ukuran si A adalah bersifat immateri. Di mana attitude (sikap) yang dimiliki si B, ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi si A. Tentu saja, di tengah-tengah zaman yang kini sudah materialistis, fenomena ini sudah amat langka terjadi. Walaupun norma-norma ini tetap hidup dan berkembang di masyarakat. Buktinya, Sinetron-sinetron TV yang mengeksploitasi alur cerita seperti ini masih diminati oleh penontonnya, sehingga ratingnya tetap tinggi. Sebut saja misalnya, dulu ada Si Doel Anak Sekolahan, Si Cecep, dan banyak yang lainnya.

Dan saya termasuk orang yang percaya bahwa faktor attitude adalah faktor utama pertimbangan seseorang untuk memilih pasangan hidupnya. Lalu attitude seperti apa yang saya pilih...?

Pertimbangan attitude bagi saya simpel saja. Salah satunya adalah komunikasi. Itu yang paling utama. Kemampuan pasangan dalam membangun komunikasi dengan pasangannya adalah amat penting. Komunikasi yang buruk, membuat hubungan pasangan pun juga buruk. Lihat saja. Banyaknya pasangan suami isteri (termasuk di kalangan selebritis) yang bercerai tidak lepas dari faktor buruknya komunikasi di antara mereka.

Saya yakin, faktor komunikasi ini pula yang menjadi pertimbangan Nabi Muhammad menikahi Siti Khadijah. Nabi memilih Khadijah bukan karena Khadijah kaya harta, bukan karena Khadijah cantik, bukan pula karena Khadijah seorang bangsawan. Tetapi karena Khadijah memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik.

Saat Nabi berusia 25 tahun, Nabi dipandang sebagai pemuda terhormat. Di tengah masyarakatnya Nabi dikenal sebagai pemuda “Al-Amin,” pemuda yang jujur. Kakeknya adalah Abdul Muthalib, seorang yang dihormati karena menjaga Ka’bah (bangunan suci yang menjadi Kiblat kaum Muslim). Dengan kondisi itu, bukan hal yang sulit bagi Nabi untuk menikahi perempuan-perempuan muda dan cantik dari suku Quraisy. Tetapi kenapa Nabi tetap memilih Siti Khadijah, perempuan berstatus janda yang sudah tiga kali menikah.

Itulah, saya yakin ada hal immateril berupa attitude yang dimiliki Khadijah, dan kemudian akhirnya menjadi daya tarik bagi Nabi. Attitude itu bisa jadi adalah kemampuan Khadijah dalam berkomunikasi. Pengalaman Nabi menjalin kerjasama dagang dengan Khadijah, menjadi referensi utama untuk mengukur kemampuan komunikasi Khadijah Dan itu terbukti sekali, ketika Nabi dalam keadaan shock psyikis akibat dampak dari peristiwa turunnya Wahyu pertama (Surat Al-Iqra) yang diturunkan Malaikat Jibril di gua Hira.

Saat itu, sebagai seorang manusia biasa, Nabi mengalami shock hebat. Nabi mengalami peristiwa spiritual terbesar selama hidupnya. Tubuhnya menggigil, dan kedinginan. Ketakutan yang luar biasa membekapnya. Dalam situasi seperti itu, Nabi amat membutuhkan kawan yang dapat membawanya keluar dari krisis psyikologis tersebut. Beruntunglah Nabi punya isteri seperti Khadijah. Yang karena kemampuannya berkomunikasi, akhirnya Nabi berhasil keluar dari masa-masa krisisnya.

Kemampuan Khadijah dalam hal inilah yang kemudian banyak memberikan kontribusi perannya di masa awal perkembangan Islam. Saat itu, wanita yang dihormati sebagai Ummul Muslimin, mampu membangkitkan kepercayaan diri Nabi dalam menyebarkan ajaran Islam, meski harus berhadapan dengan berbagai ancaman fisik dari kaum Quraisy.

Nah, kira-kira begitulah analogi saya. Jadi, komunikasi adalah salah satu attitude yang menjadi faktor keberhasilan membangun hubungan pasangan hidup. Saya berdo’a, semoga kamu mendapat pasangan ideal mu.

Oke sahabat, itu dulu comment saya.

Regards,

“Fan el Kindy”

***
Sekarang... Bagaimana dengan anda...? Pasangan hidup macam mana yang anda pilih...? Mau yang berdasarkan keinginan atau kebutuhan...? Silahkan direnungi... dan selamat berkontemplasi ria....