Friday, March 16, 2007, posted by Van Elki at 19:21
Tulisan ini di muat di Harian Tribun, Tangerang, Senin, 19 Februari 2007

Writed by: Rahmat Sahid


“Perjuangan mahasiswa layaknya perjuangan seorang cowboy. Seorang cowboy datang ke sebuah kota dari horizon yang jauh. Di kota telah merajalela perampokan, pemerkosaan, dan ketidakadilan. Cowboy ini menantang sang bandit berduel dan ia menang. Setelah para penjahat mati, penduduk kota mencari sang cowboy untuk mengucapkan terimakasih. Tetapi sang cowboy telah berlalu, kembali ke horizon yang jauh, tak berharap pujian, sanjungan, atau balas jasa. Namun, sang cowboy berjanji dalam hati, suatu saat dia akan kembali lagi bila angkara murka dan ketidakadilan kembali merajalela.
(Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, 1983)

Idealnya, dalam suatu bangsa yang kondisinya sedang memprihatinkan seperti halnya Indonesia, kekuatan pemuda khususnya mahasiswa, harus menjadi garda terdepan yang harus mengawal berlangsungnya roda-roda pemerintahan. Karena kalau kita menengok kebelakang, dimana sejarah kita telah mengajarkan kepada kita bahwa betapa pentingnya peran mahasiswa dalam setiap terjadinya perubahan yang terjadi di bangsa ini.

Soe Hok Gie, tokoh gerakan mahasiswa angkatan tertua pasca kemerdekaan telah mengajarkan kepada kita semua bahwa mahasiswa tidak cukup hanya menuntut ilmu tanpa mengimplementasikan keilmuannya dalam kehidupan sosial. Situasi ekonomi dan politik mada masa itu telah dijadikan inspirasi oleh Gie dan berakan mahasiswa untuk mengkritisi pemerintahan Soekarno, yang dilihatnya korup dan menelantarkan rakyatnya dalam kelaparan.

Gerakan mahasiswa 1998-1999, juga telah menorehkan tinta emas sejarah sebagaimana pada masa Gie. Mereka telah menggelindingkan bola salju perubahan, yang pada akhirnya menjatuhkan rezim Orde Baru.

Mengapa Mahasiswa Bergerak?
Telah banyak dilakukan analisis untuk membahas sebab-sebab gerakan mahasiswa. Kesimpulan yang muncul beraneka ragam, mulai dari mahasiswa bergerak karena mereka terkena dampak krisis ekonomi, mahasiswa bergerak karena adanya konspirasi elite yang memanfaatkan mereka, hingga kesimpulan bahwa mahasiswa bergerak hanya karena ikut-ikutan kaum elite.

Disini, penulis melihat bahwa, gerakan mahasiswa itu tidak muncul dengan mendadak atas situasi yang dihadapinya. Sebagai contoh adalah munculnya gerakan mahasiswa 1998, mereka telah berpikir kritis tentang kekuasaan Orde Baru, mereka juga sadar akan resiko yang akan dihadapi apabila berani mengkritisi pemerintah. Maka dari itulah, gerakan mahasiswa pada waktu itu tidak begitu besar.

Selain itu, strategi pembodohan benar-benar terasa mematikan aktivitas mahasiswa sejak diterapkannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada tahun 1978. Waktu itu, aktivitas mahasiswa diatur oleh birokrasi kampus, yang keberadaannya dibawah tekanan penguasa. Bagi mahasiswa, situasi ini merupakan strategi besar Soeharto untuk mematikan semua lawan politiknya, termasuk kelompok kritis dari kalangan mahasiswa.

Jadi, kesinambungan merupakan tema gerakan mahasiswa 1998-1999, mereka adalah aktivis-aktivis mahasiswa sejak awal tahun 1990-an, bahkan ada juga yang dari generasi 1980-an. Kekuatan lama yang telah dibangun oleh gerakan mahasiswa yang berkesinambungan, terutama melalui kegiatan yang tak pernah mati, seperti Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), bangun kembali setelah kondisi objektif memungkinkan.

Setelah gelombang krisis moneter menerpa asia pada tahun 1997, Indonesia menjadi salah satu korban guncangan ekonomi tersebut. Saat itulah mahasiswa melihat kesempatan untuk menggulingkan kekuasaan yang menindas, karena krisis moneter disebabkan oleh keserakahan untuk menyedot kekayaan rakyat.

Jadi, berbeda dari perspektif analisis yang menganggap krisis telah melahirkan gerakan mahasiswa. Penulis beranggapan bahwa krisis hanyalah menyediakan kesempatan kepada mahasiswa untuk bergerak, karena pada hakekatnya, gerakan mahasiswa selalu ada disetiap generasi dan dibawah penguasa siapapun.

Gerakan Mahasiswa Kini
Pada saat kondisi bangsa yang secara objektif bisa dikatakan sebagai bangsa yang sangat carut-marut, gerakan mahasiswa malah terlihat sangat sepi dalam gerakannya. Karena kalau dilihat dari kwuantitas aksi demonstrasi, tidak seimbang dengan banyaknya kebijakan yang seharusnya disikapi oleh mahasiswa. Belum lagi dengan fenomena polarisasi yang dilakukan para elite politik yang sering memanfaatkan kekuatan gerakan mahasiswa sebagai alat pemukul terhadap lawan politiknya, sehingga tidak aneh ketika sering terdengar bahwa gerakan mahasiswa telah menjadi “agen demo” yang bisa dipakai oleh kelompok politik manapun dan dengan kepentingan apapun asalkan sesuai dengan harga.

Menjadi hal yang wajar, ketika Pemerintah saat ini yaitu presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Joesuf kalla (JK) tidak merasa terganggu oleh adanya gelombang demonstrasi yang mengkritisi kebijakannya. Karena selain kecilnya gerakan mahasiswa saat ini, juga terdapat perpecahan yang terjadi dikalangan mahasiswa. Hal itu dapat terlihat dari tidak kompaknya dalam menyampaikan isu atau tuntutan dalam kaitannya menyikapi masalah nasional.

Dengan kecilnya kekuatan mahasiswa saat ini, juga dalam ketidakkonsistenannya dalam menuntut keadilan, bukan berarti tidak ada lagi kekuatan mahasiswa yang yang mungkin bisa dikatakan “konsisten” terhadap kepentingan rakyat seperti tentang kenaikan BBM. Terbukti, sejak kepemerintahan SBY-JK, sudah banyak dari kalangan mahasiswa yang harus mendekam dalam penjara karena telah mengkritik Pemerintah dengan keras.

Menjadi Tim Hore
Hedonisme dan budaya “gaul” yang sekarang ini telah menjangkiti mahasiswa pada umumnya ternyata ikut menambah keterpurukan kondisi bangsa ini. Hal itu terbukti dengan “diam”nya mahasiswa dalam melihat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Sebagai contoh adalah ketika menuntut agar Soeharto diadili, menolak kenaikan harga BBM, menolak impor beras, menolak PP NO. 37 tahun 2006, dan lain sebagainya, gerakan mahasiswa tidak terkesan dengan keseriusannya dalam menyampaikan aspirasinya.

Padahal gerakan mahasiswa seharusnya bisa menunjukkan kemarahannya terhadap pemerintah atas kebijakannya. Intensitas aksi yang ditingkatkan, kuantitas massa diperbanyak dengan mengorganisir kelompok-kelompok yang dirugikan oleh kebijakan tersebut, niscaya pemerintahan SBY-JK akan lebih serius dalam mendengarkan aspirasi yang disampaikan oleh mahasiswa. Kalaupun tidak, maka kekuatan mahasiswa juga bisa melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan terhadap Pemerintahan Orde Baru.

Akantetapi, hal itu terasa sulit terwujud, ketika yang sering Penulis perhatikan justru kebanyakan mahasiswa sekarang hanya bisa menjadi “tim hore” dalam melengkapi kepentingan kelompok tertentu. Jaket almamater yang dipakai oleh mahasiswa bukan lagi menjadi simbol kritis dari mahasiswa, karena selama ini kebanyakan mahasiswa cukup puas dan bangga ketika bisa muncul di layar TV, dalam acara parodi ataupun yang melibatkan mahasiswa, tetapi, Penulis ulangi sekali lagi hanya menjadi “tim hore”.

Selamat berjuang mahasiswa, karena di bangsa ini masih banyak ketidakadilan.

Rahmat Sahid
Direktur L-KASt (Lembaga Kajian dan Advokasi Masyarakat)
Pemerhati Masalah Politik, Aktifis Komunitas Mahasiswa UIN


___________________________________
My Comment:

Rahmat Sahid adalah sobat junior kuliah saya di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Saya biasa memanggilnya Sahid. Dia angkatan kuliah masuk tahun 1999. Saat ini sedang menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Theologi Islam (Ushuluddin).

Pertama kali saya mengenalnya pada pertengahan tahun 2001, saat sedang menggelar aksi demonstrasi di dalam kampus. Sahid terlihat berada dalam barisan massa aksi. Nampaknya dia begitu antusias untuk menggeluti dunia gerakan mahasiswa. Beberapa kawan saya yang lain, begitu antusias “memprosfeknya.” Sehingga sampai kini, Sahid masih tetap eksis berada di tengah-tengah komunitas saya.

Saya senang, dia punya bakat kepemimpinan yang cukup. Dan mampu menggantikan era kepemimpinan generasi angkatan saya dan kawan-kawan lainnya.

Kini setelah diambang kelulusan kuliah S1-nya, saya selalu memotivasinya untuk rajin menulis. Saya senang mengajak dia diskusi tentang isi tulisannya, dan gaya penulisannya. Dengan begitu, antara saya dan dia saling mengisi kekurangan masing-masing. Dan kini belakangan, tulisan-tulisannya banyak dimuat di media lokal. Bahkan kabarnya, sebuah koran nasional ternama, sudah menjanjikan akan memuat tulisannya. Syukurlah...

Oke sobat, maju terus... Jangan bosan-bosan memeras otak mu untuk membuat tulisan. Menulis lah bak air mengalir. Dengan menulis, dunia akan tahu apa yang sedang kau pikirkan...
Saatnya kita harus ANGKAT SENJATA.
Pena adalah senjata kita. Hehehehe...

Salam dan harap ku untuk kemajuan mu dalam menulis.


Fan el Kindy
 
2 Comments:


At July 05, 2008 12:03 AM, Anonymous Anonymous

aqu mengnal rahmat sahid dr aku bayi he he he...kan saya sekampung.....
saya bisa memanggil lek mat....semangat trus mattt dr mugi niihh....

 

At July 05, 2008 12:05 AM, Anonymous Anonymous

matt...trus berjuang untuk rakyat mu kami siap di belakang mu.....
keluarga besar ambal kebrek,ugie...