Wednesday, March 14, 2007, posted by Van Elki at 20:56
Malam itu, 13 Maret 2007, saya sedang dikejar waktu. Sepeda motor yang saya tunggangi saya pacu melesat arah pulang ke rumah di kawasan Depok. Hujan rintik yang sudah mulai turun, menjadi alasan yang membuat saya harus memacunya cepat. Tiba-tiba Handphone CDMA saya berdering. Nadanya menunjukkan ada pesan singkat masuk. Sepeda motor yang tadinya melaju kencang, perlahan kecepatannya saya kurangi, dan saya tepikan di pinggir jalan. Saat HP dibuka, ternyata ada sebuah pesan singkat (SMS) dari seorang sobat lama di bangku Sekolah Dasar (SD) dulu.

“Fan, alhamdulillah. Gua udah nikah hari Sabtu lalu. Doain gua yach…?” katanya dalam SMS.

Bukan ucapan selamat yang saya lontarkan untuk menjawab pesan singkatnya. Tetapi,

“Yeee… Gimana seh, kok lo nikah gak bilang-bilang. Lo nikah dah kaya kucing kawin. Diam-diam aja. Gak diramein ya? Ato jangan-jangan lo dah bikin hamil tuh anak perawan orang. Ya udah, gua meluncur ke rumah lo sekarang juga..! Awas, jangan kemana-mana lo..!”

Begitulah balasan pesan singkat saya. Agak terdengar kasar isinya. Tapi itulah, ciri betapa kentalnya persahabatan saya dengan sobat yang satu ini. Isi SMS itu menunjukkan betapa marah saya kepadanya. Sebagai sobat kentalnya, saya merasa ia tak menghargai saya, ketika ia tidak memberitahukan rencana pernikahannya.

Sampai di rumahnya, marah saya belum hilang. Nada protes dan kekecewaan saya lontarkan kepadanya. Sehingga dengan susah payah dia meredakan kemarahan saya.

“Aduh Fan, maafin gua deh. Bukannya gua gak mau ngundang lo ato ngasih tau lo. Gua cuma gak mau ngerepotin lo aja. Itu aja kok,” katanya berdalih.

“Yeeee… lo gimana. Bukan apa-apa fren. Setiap kawan-kawan dekat gua yang merit, gua selalu ada di saat proses akad nikahnya berlangsung. Mengapa? Selain prosesnya yang gua suka karena kadang bikin merinding, tapi itu juga sangat positif untuk memotivasi gua untuk segera menyusul lo. Hehehe…,” tukas saya.

******
Sebut aja, kawan saya yang di atas tadi namanya Noel. Noel ini adalah sobat saya sejak pertama kali duduk di bangku SD. Artinya, kalau saya masuk kelas 1 SD pada tahun 1985, maka tahun 2007 ini, perkenalan saya dengannya sudah 22 tahun. Wow, sebuah waktu yang cukup lama bukan.

Banyak kenangan di masa SD bersamanya yang tak pernah saya lupa. Salah satunya adalah kenangan waktu saya dan dia berkelahi melawan 4 orang siswa SD lain yang menjadi musuh bebuyutan tawuran dengan SD saya. Waktu itu saya duduk di kelas 6. Meski 2 melawan 4, akhirnya kemenangan ada ditangan kami. Hehehe…

Ya, diantara banyak kawan di SD dulu, hanya dia satu-satunya yang masih terus bersahabat baik dengan saya. Meski sejak lulus SD di tahun 1991, saya dan dia memilih jalan masing-masing untuk melanjutkan ke sekolah yang berbeda. Ia memilih masuk SMP, dan saya memilih menjadi santri pada sebuah Pondok Pesantren. Namun persabahatan saya dengannya tak pernah putus. Setiap kali saya main ke rumahnya, saya sudah seperti di rumah sendiri. Begitupun sebaliknya. Kalau dia main ke rumah saya, saya tak pernah membuatkan air minum untuknya. Saya minta dia buat sendiri. Mau masak mie rebus pun, juga saya suruh ia membuatnya sendiri di dapur. Sikap saya itu karena saya sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri, lebih dari sekedar kawan.

Belakangan ini, setiap kali saya berjumpa dengannya, Noel selalu menyinggung atau membanding-bandingkan perbedaan nasibnya dengan saya.

“Elo mah enak ya Fan. Lo kuliah, gua enggak. Dan sekarang ketauan hasilnya. Lo lebih hebat dari gua. Antara kita seperti langit dan bumi. Gua aja masih luntang lantung, eh lo dah berpetualang kemana-mana,” katanya mendayu.

Mendengar nada bicaranya seperti itu, saya meresponya dengan panjang lebar.

“Ah jangan begitu donk ngomongnya. Nasib itu ada di tangan Tuhan. Yang penting kita dah ikhtiar semaksimal mungkin. Hidup itu berputar. Kadang kita bisa di bawah, dan kadang bisa di atas. Begitupun sebaliknya."

"Emang gua akui seh, hidup di kota besar seperti Jakarta, sepertinya titel itu amat penting. Tapi lo juga harus lihat, bahwa itu semua bukan jaminan. Banyak kok teman-teman gua yang kuliah, ternyata setelah lulus masih juga menganggur. Nah…kan dah gua bilang berkali-kali. Yang penting sekarang itu adalah skill. Nah sekarang bagaimana supaya lo bisa punya skill untuk bersaing di dunia kerja atau usaha, yang akhirnya bisa mengkatrol hidup lo.”

“Menurut gua, banyak skill di masyarakat yang bisa lo dapat tanpa harus lo tempuh melalui kuliah. Misalnya skill mengoperasikan komputer. Kan dah gua bilang dari dulu-dulu. Tuh komputer di rumah gua nganggur. Mau program apa yang lo mau bisa? Pasti gua ajarin. Gua pinjamin bukunya. Eh lo nya aja yang agak malas-malasan.”

“Tuh.. lo lihat si Dudu (nama samaran). Dulu dia gak bisa apa-apa soal komputer. Tapi karena dia semangatnya tinggi, gua pun juga semangat untuk bagi-bagi ilmu sama dia. Mulai dari software sampai hardware, gua ajari dia. Sekarang karena dia trus rajin mengembangkan diri, akhirnya dia lebih hebat ilmu komputernya dari gua. Dan dia bisa hidup dari situ. Nah itu hanya satu contoh dari sekian banyak skill yang bisa kita dapat tanpa harus kuliah. Yang penting kuncinya, lo punya semangat, dan mau memperluas pergaulan. Artinya lo harus pandai bergaul. Sehingga banyak kawan yang lo bisa ambil ilmunya dan pengalamannya.”

“Satu hal lagi. Bersikap low profile itu penting. Jangan sekali-kali arogan atau tinggi hati. Kalo kagak, susah untuk lo mendapatkan banyak kawan atau orang yang bisa membantu lo.”


******
Begitulah sisi kehidupan dari sobat kental saya yang satu ini. Dia telah mendahului saya, meninggalkan masa lajangnya. Sementara saya, saat ini masih gundah gulanah memantapkan pilihan hati menentukan bidadari mana yang akan menjadi pendamping hidup saya kelak.

Oke sobat… di blog ini aku mau mengucapkan:

“Selamat Menempuh Hidup Baru.
Semoga Bahtera Rumah Tanggamu
Dapat Kau Bawa ke Dermaga Keabadian.
Doakan agar Aku Segera Menyusul Mu.
Ingat, Cukup Isteri Saja Ya”



By: Fan el Kindy

Depok, 14 Maret 2007