Friday, May 18, 2007, posted by Van Elki at 01:40
Peristiwa ‘Tiananmen’ Hampir Terjadi di Indonesia

Jam sudah menunjukkan jam 09.00 WIB. Waktu yang sebenarnya cukup pagi untuk memobilasi massa. Namun pada jam itu, sekitar lima ribuan mahasiswa sudah berkumpul di depan gerbang gedung MPR/DPR, jalan Gatot Subroto – Jakarta. Hari itu, Senin 18 Mei 1998, kelompok aksi mahasiswa dengan bendera “Forum Komunitas Mahasiswa se-Jabotabek” (FKMsJ) melakukan aksi di depan gedung MPR/DPR. Tuntutannya, “Turunkan Soeharto, Tolak Hasil Pemilu 1997, Gelar Sidang Istimewa”. Ini adalah aksi pertama mahasiswa terbesar di Jakarta setelah peristiwa Tragedi Trisakti 12 Mei 2007, atau setelah Jakarta dilanda kerusuhan hebat pada 13-14 Mei.

Di hari yang cerah itu, saya berada di tengah-tengah ribuan mahasiswa. Saat itu masih menjadi aktivis mahasiswa yang lugu. Maklumlah, masih duduk di bangku kuliah semester II. Sehingga tak tahu banyak tentang konstelasi politik yang sedang terjadi saat itu. Dan tak mengikuti pertemuan-pertemuan di tingkat simpul-simpul aktivis mahasiswa yang lebih banyak didominasi oleh para aktivis senior.

Belakangan akhirnya saya tahu. Bahwa dua kelompok aksi mahasiswa terbesar di Jakarta, yakni FKMsJ (kelak dikenal dengan sebutan Forkot) dan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ), pada hari Sabtu tanggal 16 Mei 1998, bersepakat untuk melakukan aksi bersama menduduki gedung MPR/DPR pada tanggal 20 Mei 1998, hari Rabu. Moment hari kebangkitan Nasional dijadikan moment penting.

Namun hari Minggu siang, kelompok FKMsJ mendengar kabar bahwa FKSMJ berniat mencuri start dengan aksi menduduki MPR/DPR pada hari Selasa 19 Mei. Kabar ini direspon oleh para aktivis FKMsJ dengan memutuskan aksi pada hari Senin 18 Mei. Keputusan ini amat mendadak, karena diputuskan pada minggu malamnya.

Maka hari Senin itu, 18 Mei, dengan konsolidasi singkat seadanya terkumpullah 5000-an orang mahasiswa dari gabungan 30-an kampus se-Jakarta di depan gedung MPR/DPR. Keputusan yang mendadak itu juga yang membuat saya dan kawan-kawan senior tak maksimal memobilasi massa dari kampus IAIN Ciputat (yang kini berubah menjadi UIN). Hanya sekitar 20-an orang mahasiswa IAIN yang ikut terlibat.

Aksi hari itu semula hanya di depan gedung, namun karena massa mendesak, aksi berhasil memasuki halaman gedung. Tak puas sampai ke halaman gedung, massa berusaha masuk ke dalam gedung, dan berniat untuk menginap. Namun niat terpaksa diurungkan.

Sekitar 200-an orang berseragam loreng-loreng dengan memakai baret merah berdiri tegap membarikade laju massa menuju ke dalam gedung. Tak salah lihat, 200-an orang itu adalah 2 kompi pasukan elit Angkatan Darat. Tampilannya mengerikan. Senjata laras panjang, tak lagi digantungkan di belakang punggung, melainkan dipegang dan moncong senjatanya diarahkan ke barisan massa mahasiswa.

Emosi massa saat itu tak ciut. Dan tetap berupaya mendesak masuk ke dalam gedung. Beberapa orang aktivis mahasiswa yang berperan sebagai Dinlap (Dinamisator Lapangan) tetap lantang bersemangat berorasi membangkitkan emosi massa.

Tiba-tiba,
“Krak… Krak… Krak…”

Air muka saya langsung ciut dan pucat pasi. Jantung saya berdegup kencang. Sebagian mahasiswa di barisan terdepan, hampir merasakan hal yang sama.

Pasukan elit yang berhadapan dengan mahasiswa itu ternyata mengokang senjata tiga kali. Artinya, 30-an peluru di dalam magazin senjata laras panjang SS-01 siap dimuntahkan ke arah barisan massa mahasiswa.

Suasana aksi sekejap menjadi tegang seribu tegang. Pikiran saya langsung melayang, dan membayangkan peristiwa di lapangan “Tiananmen” tahun 1989 di China, di mana 1000-an lebih mahasiswa tewas dibantai oleh tentara pemerintah RRC saat berupaya membubarkan aksi ratusan ribu mahasiswa. Saat itu saya merasa peristiwa Tiananmen bakal terulang di Jakarta pada hari itu.

“Ya Allah, ternyata kau jadikan tanggal 18 Mei 1998 ini menjadi tanggal yang akan ditulis di batu nisan ku. Allahu Akbar, aku berlindung di bawah kekuasaan Mu. Kasihanilah hamba mu yang belum menikah dan kawin ini,” gumam saya terbata-bata.

(Hehehe... serius neh doanya, emang kaya gini kok).


Alhamdulillah, insiden menegangkan itu berlangsung tak lama. Situasi mulai terkendali. Massa tetap tidak panik. Dan akibat insiden itu, simpul-simpul aktivis memutuskan untuk membawa massa aksi kembali mundur. Rencana menginap dibatalkan. Dan memutuskan untuk kembali aksi ke DPR pada esok hari.

Sebelum massa mundur pulang, muncul Amien Rais di tengah-tengah massa. Nampaknya ia berniat berorasi di hadapan massa. Namun massa menolak kehadirannya dan mengusirnya. Bahkan menyorakinya. Ketidakpercayaan terhadap elit politik yang sering dianggap hanya mengambil untung demi kepentingan politik kelompok dan pribadinya, menjadi alasan massa menolak kehadiran Amien Rais. Betapa malunya Amien Rais saat itu. Orang sekaliber dia, ternyata diperlakukan seperti itu, dan diliput oleh media massa pula.

Ehm…

Yach…. Tulisan ini sekedar mengingat apa yang pernah terjadi dan saya alami pada hari ini pada sembilan tahun yang silam. Kenangan yang tak pernah terlupa dalam ingatan. Semoga menambah pengalaman positif jikalau menghadapi situasi yang sama di masa depan. Setidaknya, bisa jadi cerita untuk dongeng tidur buat anak cucu.


Depok, 18 Mei 2007
- Fan el Kindy -
 
3 Comments:


At May 17, 2007 11:13 PM, Blogger Van Elki

18 Mei 1998..? Teringat, ada seseorang yg waktu itu masih duduk di kelas 2 SMP. Ehm.. Mahasiswa smt 2 VS bocah SMP kelas 2. hehehe...

 

At November 24, 2007 4:36 PM, Blogger keep fight

Jangan berhenti bergerak! HUtang sejarah harus dibayar lunas! Buka www.pena-98.com (adian N70)

 

At November 26, 2007 11:10 PM, Anonymous Anonymous

hahaha.. si bapak satu ini muncul juga di blog gw.. kaget gw, tiba2 lo bisa nemuin blog gw... hehehe...
:D
thx u pak..