Friday, August 03, 2007, posted by Van Elki at 16:08
Hidup itu penuh konflik. Konflik adalah sunnatullah. Mengapa? Karena manusia mahluk yang punya hawa nafsu. Yaitu nafsu ingin menguasai. Nafsu ingin memiliki. Nafsu ingin mendominasi. Dan nafsu-nafsu lainnya. Demi memenuhi nafsu-nafsu itu, manusia rela mencapai segala cara. Tak peduli moralitas dan etika pun dilabraknya. Dan akhirnya, manusia kehilangan kemanusiaannya.

Di tengah pergumulan nafsu-nafsu itu, manusia memainkan perannya masing-masing. Ada yang baik, ada yang jahat. Ada yang bermoral, ada yang bejat. Tetapi tak jarang, pergulatan konflik adalah baku hantam antara si jahat dengan si kunyuk. Antara si bangsat dengan si bajingan.

Konflik yang tak lain adalah pertentangan antar kepentingan, tak selalu berdampak negatif. Sunnatullah ini juga bisa mendatangkan manfaat. Karena konflik bisa juga menimbulkan kemajuan. Konflik menimbulkan dinamika sosial yang konstruktif. Di antaranya, manusia menjadi lebih dewasa dan bijak dalam bersikap. Namun itu pun dengan catatan, kalau manusianya mau belajar, introspeksi, kritik oto kritik, dan refleksi atas pengalaman konflik di masa lalu. Karena itu yang terpenting konflik tak mesti dihilangkan. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola konflik agar tak menghancurkan kehidupan sosial manusia.

***
Konflik dalam kehidupan kita bukan sesuatu yang asing. Dalam keluarga pun terdapat konflik. Begitu pun dalam hidup gw, konflik bukan barang baru. Terutama konflik yang ada dalam suatu komunitas organisasi. Pengalaman selama bergulat dengan aktivitas kemahasiswaan dahulu adalah pengalaman berharga yang membuat gw agak lebih kritis, peka dan dewasa untuk menghadapi konflik di dalam organisasi.

Pengalaman konflik terhebat dalam organisasi yg gw alami adalah saat aktif di Forum Kota alias Forkot. Forkot adalah organisasi taktis gerakan mahasiswa di Jakarta yang berperan besar dalam memobilisasi demo-demo besar mahasiswa menentang Soeharto di tahun 98 hingga tahun 2000-an.

Di Forkot inilah, segala lika-liku konflik gw alami. Dari mulai perang intrik (tipu daya atau fitnah) sampai adu fisik. Yang gw cermati adalah, bagaimana proses konflik itu bergulir dari mulai munculnya benih-benih, proses konsolidasi hingga akhirnya mencapai titik klimaks.

Dari proses itu, setidaknya gw ngerti bahwa ada akar dan motif di balik konflik. Karena itu makanya konflik sebisa mungkin untuk dikelola dengan baik. Setiap hal yang berpotensi konflik, harus diwaspadai dan diolah sehingga kualitas potensinya menjadi rendah. Dan tidak menjadi api dalam sekam.

Misalnya saja, adalah kepemimpinan dan mekanisme organisasi harus dibuat sedemokratis mungkin. Setiap keputusan harus melibatkan partisipasi anggota. Figur pemimpin harus memiliki kualitas kepemimpinan populis. Dimana pemimpin harus komunikatif, egaliter, mau dikritik, tegas, dan peka terhadap masalah di dalam organisasi. Hubungan pemimpin dengan yang dipimpin tidak hanya bersifat struktural, tapi harus punya muatan emosional.

Dan yang paling terpenting adalah, setiap masalah harus diselesaikan secara sehat. Artinya, masalah diselesaikan dengan cara berpikir rasional obyektif dan tidak menggunakan perasaan subyektif atau melemparkan intrik-intrik yang kebenarannya amat diragukan. Jadi, rasio harus di atas rasa. Dan tidak sebaliknya. Setiap perdebatan dan konflik juga harus bermotifkan upaya membangun, bukan untuk memusuhi dan membinasakan.

Teringat dengan perkataan seorang kawan. “Fan, intrik itu kita tujukan hanya untuk lawan, dan bukan untuk kawan”. Dari kalimat ini, gw berpikir, kalo ada kawan yang melontarkan intrik kepada kawannya, maka sesungguhnya dia sudah menganggap kawannya sebagai lawan. Intrik itu dahsyat dampaknya. Pepatah bilang, lidah memang tak bertulang, tetapi ia lebih tajam dari pedang.

Alhamdulillah, selama gw membangun komunitas kecil di dalam kampus bersama kawan-kawan di Komunitas Mahasiswa UIN, semuanya bisa berjalan dengan sehat. Gw seringkali terlibat dalam perdebatan hebat dengan beberapa kawan. Kita saling melontarkan kritik yang amat pedih dan panas di telinga. Namun semua tuntas di selesaikan di atas forum. Usai forum, secara personal tak ada pengaruh. Kita tetap bisa makan bareng dalam 1 piring. Dan merokok bareng dalam 1 batang rokok.


Huh… seandainya setiap konflik organisasi bisa diselesaikan dengan cara seperti itu. Tentu akan indah sekali beraktivitas dalam beroganisasi di dunia ini.