Menulis untuk Prasasti

Suatu hari di tahun 2004, masuklah pesan elektronik ke dalam kotak surat saya. Pengirimnya adalah seorang sahabat lama, kawan seperjuangan yang dulu pernah sama-sama merasakan dinginnya malam di masa-masa sulit. Kali ini, ia menulis tentang pengalamannya di negeri asing, tempat ia menuntut ilmu. Setiap kalimat yang ia rangkai selalu membuat saya terpikat; ceritanya mengalir, membujuk untuk terus dibaca hingga tuntas.

Namun, kali ini berbeda. Ceritanya terpotong di tengah jalan. Di akhir paragrafnya, tertulis sebuah kalimat, “…baca lebih lengkap, silakan klik di xxxxxxx.blogspot.com.” Rasa penasaran memaksa saya untuk mengklik tautan itu. Tak lama, sebuah situs yang asing muncul. Di sanalah, di layar itu, cerita yang semula menggantung kini terpampang lengkap, bersama beberapa tulisan lainnya. Semua tinggal diklik.

Itulah kali pertama saya mengenal blog, sebuah tampilan baru dari tulisan-tulisan yang kawan saya rangkai. Kekaguman perlahan tumbuh, tapi tak cukup untuk membuat saya latah ikut membuat blog. Saat itu, saya berpikir, blog hanyalah panggung eksistensi diri. Pikiran yang naif, mungkin juga ekstrem.

Saya merasa tak punya keistimewaan untuk dipamerkan dalam sebuah blog. Percaya diri saya, ibarat rapor, memerah di angka terendah. Bagi saya, menunjukkan eksistensi butuh modal lebih dari sekadar kata-kata. Harus ada sesuatu yang luar biasa, entah pengalaman, penampilan, atau keahlian. Saya merasa tak memilikinya. Sahabat saya di luar negeri mungkin pantas; ia punya banyak cerita hebat yang layak dibagikan. Tapi saya? Tidak, saya tidak punya apa-apa yang spesial.

Begitu pikir saya. Hingga saya memutuskan untuk tidak menyibukkan diri dengan blog. Lebih baik saya lanjutkan kebiasaan menulis di buku harian, tradisi yang sudah saya tekuni sejak tahun 2000. Itu sudah cukup memuaskan.

Namun, waktu berlalu, dan persepsi saya mulai berubah. Saya mulai sadar, membuat blog bukan hanya tentang menunjukkan keistimewaan diri. Seorang kawan dari Papua, dalam obrolan daring kami, mengingatkan, “Fan... ko pu pikiran itu su lama, jadi su saatnya ko harus revisi itu to..!”

Saya mulai berpikir ulang. Ternyata ada hal yang lebih penting dari sekadar eksistensi pribadi. Blog bisa menjadi jembatan komunikasi manusia sebagai makhluk sosial, bukan hanya makhluk individual. **Komunikasi**, begitulah kata seorang pakar, adalah penanda bahwa kita manusia. Tanpa komunikasi, kita teralienasi dari kemanusiaan kita sendiri.

Berbicara soal komunikasi, media yang kita gunakan bisa beragam. Tidak selalu harus dengan suara, tulisan pun bisa menjadi sarana yang kuat. Dan di sinilah, akhirnya, saya mulai melihat blog sebagai media untuk menyampaikan ide, gagasan, bahkan komentar ringan tentang situasi sosial yang ada.

Tulisan-tulisan yang selama ini hanya saya konsumsi sendiri di buku harian, mungkin bisa dipublikasikan. Cerpen, puisi, lirik lagu, apa saja yang selama ini tersimpan di sudut gudang kreatifitas, bisa saya bagikan di sana. Memang, tidak semua pengalaman hidup layak dibuka ke publik. Ada privasi yang harus dijaga, nama-nama yang harus disamarkan, demi menjaga perasaan orang lain.

Gaya penulisan yang saya kagumi adalah **feature**. Meski belum sepenuhnya mahir, tapi setidaknya, blog bisa menjadi ajang latihan. Seperti kata Gunawan Mohammad, “Menulis itu latihan, bukan teori.” Ungkapan ini semakin memotivasi saya untuk membuat blog pribadi. 

Ada juga **jurnalisme sastrawi**, gaya yang dipopulerkan oleh majalah "Pantau" di Indonesia. Saya sangat terobsesi dengan gaya ini, meski belum menguasainya. Seandainya dulu saya langsung terjun ke dunia jurnalistik setelah lulus kuliah, mungkin saya sudah mendalami penulisan semacam ini.

Namun, saya mafhum. Jika ada yang bertanya, “Siapa lo? Kenapa gue harus baca blog lo?” Saya tak akan tersinggung. Saya tidak membuat blog ini untuk menarik perhatian atau mendapatkan pembaca. Blog ini, seperti buku harian, adalah prasasti pribadi. Sebuah cara untuk melacak perubahan pemikiran saya, dan mungkin, suatu hari nanti, bermanfaat bagi saya sendiri.

Dua minggu yang lalu, saya membuka kembali buku harian tahun 2000. Ternyata, gaya penulisan saya saat itu dalam beberapa aspek lebih baik daripada tulisan saya di tahun 2006. Waktu itu, produktivitas menulis tinggi, dan minat baca saya juga besar. Namun, belakangan ini, minat membaca menurun, kecuali buku-buku yang berkaitan dengan pekerjaan. Sementara, penulis yang baik adalah pembaca yang baik.

Menulis juga membantu saya mengingat peristiwa-peristiwa penting. Lupa, adalah musuh yang harus kita lawan, karena memori kita terbatas. Ada banyak momen besar di tahun 1998 yang saya lewatkan, bukan hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi bangsa ini. Sayangnya, karena tidak saya tulis, detil-detilnya hilang dari ingatan. Di sinilah manfaat menulis, bukan hanya bagi saya, tapi juga bagi orang lain.

Saya tak bermimpi tulisan saya setara dengan **Soe Hok Gie** dalam "Catatan Seorang Demonstran" atau **Ahmad Wahib** dalam "Pergulatan Pemikiran Islam". Meski tulisan mereka sangat menginspirasi, saya sadar, blog ini hanya sekadar prasasti pribadi. Tak lebih.

Akhirnya, setelah banyak berpikir, saya mantapkan hati untuk membuat blog. Saya berburu buku panduan, belajar sedikit demi sedikit. Blog saya mungkin belum sempurna, tapi setidaknya ini adalah langkah awal. Saya meluncurkannya dengan alamat: www.bernyanyimenjadisaksi.blogspot.com.

Sebait lirik lagu "Kesaksian" dari Iwan Fals, yang syairnya diciptakan WS Rendra, menginspirasi untuk memberi judul blog dan alamat web ini: "Banyak orang hilang nafkahnya, aku bernyanyi menjadi saksi. Banyak orang dirampas haknya, aku bernyanyi menjadi saksi."

Terima kasih kepada semua kawan yang telah menginspirasi, langsung maupun tidak langsung. Dengan segala kerendahan hati, saya ulurkan jabat tangan persahabatan kepada siapa pun yang ingin berbagi.

Selamat belajar meninggalkan jejak prasasti.

Terima kasih.

Depok, 30/9/2007

-Ifyar-