Langit malam itu, 24 Februari 2006, sangat cerah. Bintang-bintang seakan berlomba menyinari kota Jakarta, memberi sedikit ketenangan di tengah hiruk-pikuk yang tak pernah tidur. Meski jam sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB, arus lalu lintas di Jalan Buncit Raya masih ramai, meski tak terlalu padat. Suara kendaraan berlalu-lalang menyatu dengan semilir angin malam yang mengusap wajah para pengendara yang melintasi ruas jalan yang membelah Jakarta Selatan.
Di sudut lain kota, di sebuah kantor LSM di kawasan Mampang, saya tengah menantikan kedatangan teman-teman dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Kunjungan mereka ke Jakarta malam itu membawa kembali kenangan indah ketika saya bertandang ke NTB beberapa bulan lalu, pada September 2005. Sambutan hangat mereka di sana masih terasa sampai sekarang, dan kini giliran saya yang menyambut mereka di ibukota. Ada kegembiraan tersendiri bisa kembali bertemu, meski sekadar untuk berbagi cerita dan pengalaman.
Setelah pertemuan berakhir, saya bersiap melanjutkan malam menuju Ciputat. Di sana, agenda rutin "warung kopian" sudah menunggu. Ini semacam tradisi bagi saya dan beberapa kawan lama kampus untuk berdiskusi santai setiap Jumat malam. Kami membahas banyak hal, mulai dari situasi nasional hingga kabar-kabar hangat yang sering diiringi dengan canda tawa dan gosip ringan, tak ubahnya seperti acara infotainment yang akrab di layar kaca.
Dalam perjalanan, saya ditemani kuda besi kesayangan, Honda GL Pro Neo Tech buatan tahun 1997. Motor yang sudah saya kendarai hampir setahun ini adalah saksi bisu perjalanan panjang saya melintasi jalan-jalan Jakarta yang seringkali macet. Meski usianya tak muda lagi, mesin motor ini tetap bandel. Lebaran 2005 silam, GL Pro ini saya bawa touring dari Depok ke Pantai Anyer, 380 km pulang-pergi. Di saat motor-motor lain seperti "King" dan "Thunder" mulai kelelahan, GL Pro saya tetap perkasa tanpa kendala sedikit pun. Ini bukan sekadar motor tua; ini adalah teman setia.
Malam itu, seperti biasa, GL Pro kembali menjadi andalan. Setelah pertemuan selesai, saya segera 'menggeber' motor ke arah Ciputat. Jalan Buncit Raya yang saya lewati, meski tak sepadat biasanya, tetap menyimpan tantangannya sendiri. Jalan itu memiliki empat jalur, dua menuju Ragunan dan dua lainnya ke arah Kuningan, masing-masing terbagi menjadi jalur lambat dan jalur cepat yang dipisahkan oleh separator dari beton. Dengan tinggi sekitar 30 cm dan lebar 50 cm, separator ini menjadi pembatas antara pengendara yang ingin melaju cepat dan yang memilih untuk berhati-hati di jalur lambat.
Pekan sebelumnya, saya sempat melihat razia polisi di jalur ini. Fokus mereka adalah pengendara motor yang nekat masuk ke jalur cepat. Tampaknya, polisi semakin tegas menegakkan aturan di ruas jalan ini. Beruntung, saya berhasil lolos dari razia saat itu, dan karena pengalaman tersebut, malam ini saya memilih tetap di jalur lambat, meski jalur cepat tampak lebih menggiurkan dengan ruang yang lebih luas.
Saat GL Pro melaju di jalur lambat dengan kecepatan 60 km/jam, saya mendapati diri terhalang oleh sebuah bus Metromini '75' yang berjalan lambat di depan saya. Bus yang melayani rute Blok M – Pasar Minggu itu tampak sibuk menurunkan penumpang, separuh bodinya sudah menutupi sebagian besar jalur lambat. Saya pun tersendat di belakangnya. Emosi mulai terasa, namun saya mencoba untuk bersabar. Tidak ada pilihan lain selain menunggu saat yang tepat untuk menyalip.
Setelah tertahan di belakang Metromini ’75’ yang lamban, kesempatan untuk menyalip akhirnya datang ketika jalan di depan kantor Dealer Nokia di Mampang terbuka lebar. Tanpa pikir panjang, saya mengambil keputusan. Dengan keyakinan penuh, saya menarik gas motor, GL Pro saya, lincah bermanuver melewati separuh bodi bus yang menutupi jalan lambat. Saat itulah, segalanya berubah dalam sekejap.
Ketika motor sudah berada di tengah-tengah antara jalur lambat dan cepat, tiba-tiba saya mendapati diri berhadapan dengan ujung separator yang muncul tanpa peringatan. Jantung saya berdegup kencang. Dalam hitungan detik, saya harus memutuskan: apakah akan membanting setir ke kanan, langsung menuju jalur cepat yang dipenuhi kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi, atau kembali ke kiri yang berarti menabrak Metromini?
Tak ada pilihan yang ideal. Dengan sisa waktu yang ada, saya mencoba mengerem keras. Rem tangan ditarik, kaki saya menekan pedal rem sekuat mungkin, tapi segalanya sudah terlambat. "BRAAK!" Terdengar suara keras saat motor menghantam ujung separator. GL Pro yang selama ini setia menemani saya terpental jauh, sementara tubuh saya terlempar dari jok, berguling di atas aspal yang kasar. Dalam hitungan detik, saya sudah tergeletak di jalur lambat, tepat satu meter dari separator, terpisah dari motor yang terseret jauh di depan.
Tubuh saya serasa hancur. Helm yang saya kenakan melindungi kepala dari benturan fatal, tapi rasa sakit mulai menjalar. Siku saya menggesek keras dengan aspal, tangan kanan membentur separator, dan pinggul saya beradu dengan bodi motor. Untuk sesaat, saya terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
Pikiran saya masih sadar penuh, otak bekerja cepat. Jika saya tetap terbaring di tengah jalan, kendaraan yang melaju dari belakang bisa saja melindas tubuh saya yang tak berdaya. Dengan sisa tenaga yang ada, saya berusaha bangkit. Namun, tubuh terasa berat dan lemas. Saya tidak bisa berdiri. Meski begitu, saya mulai merayap, berjuang mencapai separator di dekat saya, berharap dapat menyelamatkan diri dari ancaman kendaraan yang bisa datang kapan saja.
Setelah perjuangan berat, saya berhasil menaiki separator dan menelungkupkan tubuh di atasnya. Nafas terengah-engah, jantung berdetak tak karuan, dan rasa nyeri semakin menjalar di bagian pinggul dan tangan kanan. Dalam kondisi seperti itu, 10 menit terasa seperti seabad. Rasa sakit semakin tajam, tapi saya bersyukur masih bisa bernapas dan sadar.
Tidak lama kemudian, seorang pria pengendara motor berhenti di dekat saya. Melihat keadaan saya yang terluka, ia dengan sigap memberikan pertolongan, diikuti beberapa warga yang datang menghampiri. "Mas, helmnya saya buka dulu ya, biar lebih mudah bernapas?" katanya dengan suara tenang namun penuh perhatian. Helm setengah terbuka yang selama ini melindungi kepala saya dilepas perlahan.
"Masih bisa jalan nggak, Mas?" tanya pria itu lagi, dengan nada khawatir.
"Saya nggak tahu... tapi rasanya tangan kanan saya patah," jawab saya lemah, sambil mencoba menahan rasa sakit yang semakin menusuk.
Malam yang awalnya begitu tenang, penuh dengan harapan untuk berkumpul dengan teman-teman di Ciputat, kini berubah menjadi mimpi buruk. Di bawah langit Jakarta yang cerah, tubuh saya yang terluka menjadi saksi dari bahaya yang mengintai di jalanan kota ini. Meski GL Pro saya terseret jauh dan tubuh saya terluka parah, yang tersisa di benak saya hanyalah rasa syukur bahwa malam ini saya masih bisa bernafas.
Setelah terpental dan terguling akibat kecelakaan, saya menemukan diri tergeletak di aspal, berusaha bangkit dengan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuh. Tiga orang warga dengan sigap membantu saya berdiri. Meski kaki terasa berat dan terpincang-pincang, saya menolak untuk digotong. Dengan bantuan mereka, saya berjalan ke arah trotoar, mencoba menenangkan diri dan merenungi kejadian itu.
Kerumunan mulai mengerubungi saya, wajah-wajah ingin tahu menatap penuh simpati. “Kenapa mas?” salah satu dari mereka bertanya.
“Nabrak pembatas jalan,” jawab saya sambil menjelaskan kronologi kejadian dengan lirih. “Mau nyalip Metromini dari kanan, tapi nggak lihat ada separator. Sudah coba rem, tapi tetap nggak ketahan.”
Obrolan di antara warga mengalir. Rupanya, saya bukan satu-satunya yang pernah terjatuh di tikungan tersebut. Menurut mereka, lokasi itu memang sering menjadi perangkap bagi pengendara yang tak waspada.
Seorang pria berseragam Satpam menghampiri, memberi tahu bahwa motor saya telah diamankan di parkiran hotel terdekat. Saat duduk di trotoar, shock masih menguasai saya. Pikiran terus bergelut dengan makian terhadap diri sendiri. Kenapa harus begitu ceroboh?
Kerumunan orang perlahan bubar. Mungkin mereka melihat saya masih bisa duduk dan kondisi luka tidak terlihat terlalu parah. Hanya satu orang yang tetap tinggal, pria yang pertama kali menolong membuka helm saya. Pengendara motor yang kebetulan lewat dan berhenti untuk memberi bantuan.
"Mas mau ke mana dan tinggal di mana?" tanyanya.
"Saya tinggal di Depok, rencananya mau ke Ciputat."
Dia menawarkan bantuan dengan tulus. "Saya antar ke rumah sakit atau pulang ke rumah, naik motor saya atau taksi? Kebetulan saya juga ke arah Depok."
Rasa terimakasih bercampur sakit membuat kata-kata saya terbata. “Tunggu sebentar ya, saya cek dulu motor saya.”
Dengan terpincang, saya berjalan menuju hotel tempat GL Pro saya disimpan. Rasa nyeri di pinggul dan lutut semakin tajam saat melangkah. Di bagian pinggul kiri, lebam sebesar 10 cm terlihat membiru. Lutut saya lecet, dan celana jeans hitam yang saya kenakan robek di beberapa tempat. Tangan kanan, yang dulu menjadi tumpuan, kini tak lagi bisa digerakkan. Nyeri menjalar dari siku ke ujung jari. Saya curiga, mungkin ini patah.
Sampai di parkiran, saya terkejut melihat kondisi motor saya. GL Pro yang biasanya gagah kini berubah total. Velg yang dulunya melingkar sempurna kini meliuk, lampu depan pecah, knalpot penyok, dan tangki remuk. Motor itu tak mungkin lagi dikendarai.
Akhirnya, saya memutuskan untuk menitipkan motor di parkiran hotel dan berjanji akan ada orang lain yang mengambilnya esok hari. Dengan bantuan pengendara motor yang baik hati tadi, saya menaiki taksi menuju dukun patah tulang terkenal di Cilandak. Ini bukan kali pertama saya ke sana. Pada 1991, tangan kanan saya juga pernah patah, dan sembuh dalam waktu sebulan. Kali ini, rasanya berbeda.
Dalam taksi, rasa syukur membanjiri hati. Saya kembali mengucapkan terima kasih kepada pria tersebut, yang entah bagaimana bisa begitu baik.
"Waduh bung, terima kasih banyak. Apa yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikan bung?" tanya saya.
Namun, jawabannya membuat hati saya terenyuh. "Gak apa-apa mas, saya cuma mau balas jasa. Dulu saya pernah kecelakaan di Bekasi, dan ada orang yang nolong saya. Sekarang giliran saya bantu orang lain. Mas nggak perlu balas saya, tapi mungkin lain kali bantu orang lain aja."
Kata-katanya tertanam dalam hati. Di tengah individualisme perkotaan, ternyata masih ada orang yang peduli pada sesamanya tanpa pamrih. Malam itu, meski tubuh terluka, hati saya justru merasa tercerahkan oleh tindakan sederhana pria tersebut.
Sesampainya di rumah, pukul sudah menunjukkan 01.30. Lelah dan nyeri bercampur, saya hanya bisa berbaring dan mencoba tidur. Sambil menonton berita di TV, saya melihat wawancara tentang kasus mahasiswa Papua yang tadi siang sempat saya tangani. Siang hari, saya berada di layar TV sebagai narasumber. Malamnya, saya terbaring dalam perawatan.
Hidup memang penuh kejutan, dan malam itu saya tak hanya belajar tentang pentingnya berhati-hati di jalan, tetapi juga tentang kebaikan manusia yang masih bisa ditemukan di tempat yang tak terduga.
---
Malam itu, kecelakaan yang menimpa saya menjadi awal dari babak baru dalam hidup. Rontgen menunjukkan tulang ulna kanan saya patah—sebuah "fracture des ulna 3/4 distal," kata dokter. Artinya, tulang di lengan bawah saya mengalami keretakan yang cukup parah, dengan pergeseran posisi hingga tiga perempatnya. Dokter orthopedi di Depok memberi saran tegas: operasi pemasangan pen. Namun, mendengar masukan dari teman-teman dan keluarga, saya memutuskan mencoba pengobatan alternatif, berharap masa pemulihan bisa lebih cepat.
Dua bulan penuh hidup saya terhenti. Tangan kanan, yang menjadi korban utama kecelakaan, bengkak dan tak bisa berfungsi. Aktivitas sehari-hari pun tak mungkin dilakukan seperti biasa. Tak ada lagi perjalanan dengan motor atau tugas-tugas kantor yang bisa saya selesaikan. Hari-hari di rumah menjadi rutinitas baru, penuh kebosanan dan frustrasi. Saya mengajukan izin istirahat dari kantor dan memfokuskan diri untuk penyembuhan.
Setiap minggu, saya mendatangi dukun patah tulang di Cilandak, namun sebulan berlalu tanpa banyak kemajuan. Rasa tak sabar mulai merambat. Tangan kanan masih belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Bunda terus menasihati saya untuk bersabar, namun hati ini terus gelisah. Akhirnya, saya memutuskan mencari pengobatan lain. Lewat rekomendasi teman, saya menuju Ciparay, Bandung, dengan harapan baru.
Dengan lengan kanan yang masih berbalut perban, saya memberanikan diri berangkat sendiri ke Bandung, meski banyak yang menawarkan bantuan. Prinsip saya untuk tidak merepotkan orang lain membuat saya lebih memilih berjuang sendiri. Hasil dari perjalanan itu cukup menggembirakan. Perlahan-lahan, saya mulai merasakan kemajuan. Tangan kanan bisa bergerak sedikit lebih bebas, meski belum sempurna.
Namun, proses pemulihan ini bukan hanya soal fisik. Tekanan mental yang muncul akibat cedera ini jauh lebih menantang. Pikiran tentang apakah tangan saya akan kembali pulih atau tidak, terus menghantui. Ditambah lagi, rasa frustrasi saat harus menggunakan tangan kiri untuk melakukan semua hal yang biasa dilakukan oleh tangan kanan. Beruntung, dukungan dari keluarga dan teman-teman membuat saya tetap kuat, terutama Bunda. Ia selalu mengingatkan saya bahwa Tuhan punya cara-cara tersendiri untuk menguji dan meninggikan hamba-Nya.
Di tengah cobaan ini, sebuah berita baik datang seperti secercah cahaya di tengah kegelapan. Pada 10 Maret 2006, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) mengumumkan hasil Ujian Advokat yang saya ikuti beberapa minggu sebelum kecelakaan. Nama saya tercantum sebagai salah satu peserta yang lulus. Kabar ini memberi saya harapan baru dan sedikit mengurangi tekanan mental yang sedang saya hadapi.
Bayangkan jika kecelakaan itu terjadi sebelum ujian advokat. Tangan kanan saya tak akan mampu menulis, dan masa depan saya mungkin akan berbeda. Saya hanya bisa bersyukur bahwa Tuhan masih memberi saya kesempatan.
Kondisi tangan kanan saya perlahan membaik. Awal Mei, saya mulai kembali ke rutinitas, meski untuk sementara waktu harus menggunakan angkutan umum karena tangan saya belum cukup kuat untuk mengendarai motor. Baru pada akhir Juni, motor GL Pro yang sempat hancur dalam kecelakaan itu berhasil diperbaiki dan kembali bisa saya kendarai. Momen pertama mengendarai motor lagi adalah kebahagiaan tersendiri—seperti mendapatkan kembali kebebasan yang hilang. Saya juga kembali bisa memainkan gitar, mengisi waktu luang dengan alunan musik yang selama ini menjadi teman dalam kesendirian.
Namun, dari semua ini, saya mendapatkan pelajaran penting yang tak ternilai. Pertama, saya diingatkan tentang betapa berharganya kesehatan. Kehilangan fungsi tangan kanan selama tiga bulan membuat saya lebih menghargai setiap bagian tubuh dan betapa pentingnya merawatnya. Saya juga merasa lebih berempati terhadap mereka yang mungkin tidak seberuntung saya, yang harus hidup dengan keterbatasan fisik setiap hari.
Kedua, kecelakaan ini mengubah cara saya berkendara. Sebelum ini, meski saya adalah pengendara yang cukup hati-hati, emosi kadang-kadang menguasai diri, terutama ketika dihadapkan pada pengemudi lain yang tidak sopan. Malam itu, kemarahan terhadap sopir Metromini yang tidak memberi jalan membuat saya hilang kendali, dan terjadilah kecelakaan. Saya belajar bahwa kesabaran dan kerendahan hati di jalan jauh lebih penting daripada sekadar ingin cepat sampai.
Pelajaran ketiga adalah tentang kebaikan. Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa membantu orang lain adalah investasi moral yang tak ternilai. Pria yang menolong saya malam itu mengingatkan saya bahwa kebaikan harus dibalas, tidak langsung kepada orang yang menolong, tetapi kepada siapa pun yang membutuhkan. Sejak saat itu, setiap kali melihat seseorang mengalami kesulitan di jalan, saya berusaha untuk selalu berhenti dan membantu.
Kecelakaan itu telah mengubah perspektif saya tentang banyak hal. Kini, saya lebih bersyukur, lebih sabar, dan lebih peduli kepada sesama. Di akhir hari, saya selalu mengingat doa sederhana, "Ya Allah ya Tuhan kami... Engkau Maha Pelindung, lindungi kami dari marabahaya."