Monday, December 04, 2006

Pasangan Hidup: Keinginan atau Kebutuhan..?

Inilah serunya berkorespondensi dengan banyak kawan di dunia maya. Bisa tukar pikiran. Tukar pengalaman. Saling memotivasi. Dan saling mengingatkan. Salah satunya adalah untuk urusan yang satu ini. Apalagi kalau bukan dengan urusan yang nyerempet-nyerempet dengan asmara, dan masa depan bahtera rumah tangga.

Salah satu kawan pena saya, seorang mahasiswi pada sebuah perguruan tinggi negeri di Banda Aceh, memforward sebuah artikel menarik ke email ke saya. Judulnya “Toserba Pasangan Hidup.” Mungkin saja artikel yang belum saya ketahui siapa penulisnya ini sudah beredar luas di internet. Tapi baru kali ini saya membacanya. Inilah artikelnya;


“Toserba Pasangan Hidup”

Beberapa bulan lalu di buka sebuah Toserba (Toko Serba Ada) yang unik, karena di dalamnya dijual pasangan hidup yang di masing masing lantai memiliki kriteria kriteria sendiri sendiri. Dan kebanyakan yang mampir di sana hanya orang orang tertentulah yang memiliki hobby yang tinggi dalam berbelanja.

Seperti halnya pada sore hari di akhir minggu ini, ada seorang pengunjung yang sedang berbelanja ingin mencari seorang pasangan hidup yang ideal baginya… Sesampai di Toserba pasangan hidup yang terletak di jalan pernikahan, dia melihat tulisan di depan toko yang mengintruksikan bahwa toko ini hanya boleh di kunjungi satu kali seumur hidup. Serta masuknya harus satu persatu.
Dan di papan pengumuman yang lain juga terdapat instruksi bahwa di toko ini terdapat 6 lantai yang masing masing lantai kriteria yang dimiliki pasangan hidup semakin keatas semakin bagus.

Sebelum masuk ke lantai satu seorang recepsionist memberikan aturan juga bagi setiap pengunjung yang masuk bahwa setiap naik ke lantai selanjutnya tidak diperbolehkan turun kembali ke lantai sebelumnya. Kalau sudah sampai lantai terakhir dan kalau tidak ada yang cocok dipersilahkan turun lewat tangga darurat.

Kemudian pengunjung itu mulai masuk ke lantai 1. Di lantai 1 terdapat tulisan seperti ini:

Lantai 1: “Disini tersedia pasangan hidup yang tetap berpenghasilan, memiliki keyakinan dan patuh kepada tuntunan agama hingga terpecaya tentang keshalihannya…”

Dia pun berdiam sejenak dan sedikit melirik, sambil berguman, “hhhhmmmmnnnn...!” Kemudian melanjutkan ke lantai berikutnya.

Di lantai 2 terdapat tulisan seperti ini :

Lantai 2 : “Di sini tersedia pasangan hidup yang berpenghasilan, taat pada agama, dan sangat senang bermain bersenda gurau dengan siapapun hingga dia terpecaya tentang kelembutan hati dan kasih sayangnya …”

Sampai disini pengunjung tersebut sedikit berdegup sambil tersenyum tersipu dalam hati dan kemudian beranjak melangkah ke lantai berikutnya.

Di lantai 3 terdapat tulisan seperti ini :

Lantai 3 : “Disini tersedia pasangan hidup yang berpenghasilan, taat pada agama, baik hati, dan memiliki perawakan yang ideal serta paras wajah yang menawan...”

Dengan melangkah agak ragu dia menapaki lantai ini sambil berbisik “Wauow”, hingga dalam benaknya ingin sekali melihat lantai selanjutnya.

Lalu sampailah pengunjung itu di lantai 4, dan terdapat tulisan :
Lantai 4 :“Disini tersedia pasangan hidup yang berpenghasilan, taat pada agama, baik hati, menarik, dan sangat senang sekali membantu dan mengerjakan pekerjaan pekerjaan yang berada diluar tugas tugasnya hingga mampu meringankan beban orang lain...”

‘’Ya ampun !’’ Dia berseru, ‘’Aku hampir tak percaya.’’ Dengan rasa kepercayaan diri yang tinggi dan tanpa menoleh pengunjung tersebut bergegas untuk melihat bentuk pasangan hidup dilantai selanjutnya.

Dan dia tetap melanjutkan ke lantai 5 dan terdapat tulisan seperti ini :

Lantai 5: “Di sini tersedia pasangan hidup yang berpenghasilan, taat pada agama, baik hati, cakep, suka membantu, dan memiliki kesetiaan hingga rasa romantis selalu dia pancarkan dalam setiap sudut kata dan perbuatannya...”

Bahkan sekarang tanpa menoleh kemana-mana, setelah membaca kriteria pasangan hidup dilantai 5 ini pengunjung tersebut langsung saja menuju lantai terakhir. Karena dia berpikir lantai selanjutnya pasti lebih baik.

Lanta 6, lantai terakhir terdapat tulisan seperti ini :

Lantai 6 : “Maaf stock yang disini sudah habis dan tidak diproduksi lagi karena sifat sifat yang dimiliki pasangan hidup pada lantai ini hanyalah seorang yang hanya satu saja diciptakan Allah dan dia adalah manusia yang paling sempurna...”

Kemudian, seorang penjaga toserba di lantai 6 ini mengatakan bahwa ; “terima kasih anda adalah pengunjung dengan no 3.030.303.030XXXXXX !!!… dan terimakasih pula anda telah berkenan meluangkan sedikit waktu dan kesempatan untuk mampir di toserba kami yang hanya boleh disinggahi tiap orang satu kali saja seumur hidup... dan hati-hati ketika keluar toko serta semoga Allah menyertai setiap hari hari indah anda …”

Bagi anda yang suka jalan jalan berbelanja ke berbagai toserba dan ketika sudah merasa sampai pada toserba yang seperti ini… ada satu pertanyaan :

“...Sudah sampai lantai berapakah diri anda ?” Maksudnya ketika sudah menemukan kriteria pasangan hidup yang sesuai dengan tebalnya kantong dompet yang berisi kualitas diri anda, segera saja isi dompet anda dikeluarkan dan digunakan untuk membeli pasangan hidup tersebut. Jangan sampai mengikuti hawa nafsu manusia yang selalu ingin memenuhi kepuasan diri saja, padahal sudah sadar betul apa yang di depan mata dan sudah sadar pula modal dari pada kualitas diri sendiri. Terlebih ketika menginginkan kriteria pasangan hidup yang harganya diatas isi dompet anda. Bukankah itu namanya mempersulit dan menyusahkan diri sendiri saja...!!!

*****

ATAS kiriman artikel ini, saya pun membalas emailnya dan menanggapi isi artikelnya seperti saya tulis di bawah ini:

Pasangan Ideal: Keinginan atau Kebutuhan..?

Untuk sahabat pena saya yang baik...

Terimakasih ya, kamu sudah forward artikel ini ke email saya. Sungguh ini artikel yang bagus. Tidak pernah saya membaca artikel ini sebelumnya. Saya pikir artikel ini sudah banyak terpublish di internet, tetapi setelah saya cek dengan mesin pencari (search engine), nyatanya tidak saya temukan artikel ini. Kecuali ada satu pada sebuah halaman blog.

Subtansi materinya saya amat setuju (meski pun si Amat belum tentu setuju). Artikel ini ingin memberikan pesan kepada pembacanya, bahwa manusia adalah mahluk yang tak pernah puas. Termasuk dalam mencari pasangan hidup. Ketidakpuasan itu kemudian akhirnya yang membuat manusia tersiksa dengan hatinya sendiri. Tersiksa dengan sikapnya sendiri.

Untuk yang satu ini, saya setuju sekali. Begitulah memang manusia. Saya pun kini sedang belajar banyak bagaimana cara untuk terhindar dari penyakit manusia yang satu ini. Saya menyadari, bahwa ketidakpuasan itu bersumber dari keinginan.

Mestinya ketidakpuasan yang harusnya kita kembangkan adalah bersumber dari kebutuhan, bukan keinginan. Itu juga yang dikatakan oleh musisi legendaris idola saya, Iwan Fals. Dia bilang, “keinginan adalah sumber penderitaan.” Sebagaimana dia tulis dalam lagunya berjudul “Seperti Matahari”. (Nanti lagu ini aku kirim deh ke email mu...)

Jadi semakin besar keinginan kita, berarti semakin kita akan menderita.

Sahabat pena ku yang baik...

Kaitannya dengan artikel ini jelas. Bahwa keinginan untuk mendapatkan pasangan hidup yang ideal atau sempurna, itu sama saja membuat manusia terporosok dalam jurang ketersiksaan diri. Sampai kapan pun kita tidak akan pernah mendapat pasangan hidup yang sempurna buat kita. Yang mestinya kita lakukan adalah, belajar untuk sempurna menyayangi dan mengasihi seseorang yang akan menjadi pasangan hidup kita.

Dengan mengirim artikel ini kepada saya, saya merasa kamu sepertinya juga ingin bertanya kepada saya... Kira-kira, jenis pasangan hidup seperti apa yang akan saya pilih bila masuk ke Toserba Pasangan Hidup itu..?

Baik lah, saya ingin menjawab begini.

Bicara soal kategori, menurut saya kategori yang dicantumkan dalam artikel itu belum cukup untuk mewakili apa yang terjadi pada kenyataannya. Pilihan-pilihan ideal tentang pasangan hidup, sebenarnya cukup complicated. Dan tidak sesederhana dalam artikel itu.

Di artikel itu terkesan, bahwa seakan-akan seseorang kesulitan mencari pasangan hidup itu karena terdapat motivasi materi. Bahkan kebahagiaan dalam berpasangan hidup diukur dengan adanya keunggulan materi. Baik itu fisik, harta, kehormatan, dan lain-lain. Apalagi ada kalimat seperti ini, “Terlebih ketika menginginkan kriteria pasangan hidup yang harganya diatas isi dompet anda. Bukankah itu namanya mempersulit dan menyusahkan diri sendiri saja …!!!”

Saya agak kurang sreg dengan kalimat ini. Kalimat ini seakan menegasikan (menolak) adanya faktor “cinta” sebagai faktor dibalik hubungan pasangan hidup. Meski kita tidak menyangkal, bahwa memang cinta ternyata ada yang berlatar materi. Tetapi harus kita akui juga, bahwa ada cinta yang berlatar pada faktor-faktor immateril (di luar materi).

Itulah mengapa misalnya banyak kejadian, menurut pandangan orang, si A sebenarnya tidak pantas menikah dengan si B. Karena si A adalah perempuan yang berharta dan cantik. Sementara si B adalah lelaki desa yang tak punya uang dan berpenampilan biasa-biasa saja. Tak punya kelebihan secara fisik. Tapi nyatanya si A menganggap bahwa si B memiliki kelebihan yang tak dimiliki oleh lelaki lain. Meski ada lelaki lain yang juga menyukai si A dengan kelebihan punya harta dan berwajah rupawan dibanding dengan si B.

Kelebihan yang menjadi ukuran si A adalah bersifat immateri. Di mana attitude (sikap) yang dimiliki si B, ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi si A. Tentu saja, di tengah-tengah zaman yang kini sudah materialistis, fenomena ini sudah amat langka terjadi. Walaupun norma-norma ini tetap hidup dan berkembang di masyarakat. Buktinya, Sinetron-sinetron TV yang mengeksploitasi alur cerita seperti ini masih diminati oleh penontonnya, sehingga ratingnya tetap tinggi. Sebut saja misalnya, dulu ada Si Doel Anak Sekolahan, Si Cecep, dan banyak yang lainnya.

Dan saya termasuk orang yang percaya bahwa faktor attitude adalah faktor utama pertimbangan seseorang untuk memilih pasangan hidupnya. Lalu attitude seperti apa yang saya pilih...?

Pertimbangan attitude bagi saya simpel saja. Salah satunya adalah komunikasi. Itu yang paling utama. Kemampuan pasangan dalam membangun komunikasi dengan pasangannya adalah amat penting. Komunikasi yang buruk, membuat hubungan pasangan pun juga buruk. Lihat saja. Banyaknya pasangan suami isteri (termasuk di kalangan selebritis) yang bercerai tidak lepas dari faktor buruknya komunikasi di antara mereka.

Saya yakin, faktor komunikasi ini pula yang menjadi pertimbangan Nabi Muhammad menikahi Siti Khadijah. Nabi memilih Khadijah bukan karena Khadijah kaya harta, bukan karena Khadijah cantik, bukan pula karena Khadijah seorang bangsawan. Tetapi karena Khadijah memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik.

Saat Nabi berusia 25 tahun, Nabi dipandang sebagai pemuda terhormat. Di tengah masyarakatnya Nabi dikenal sebagai pemuda “Al-Amin,” pemuda yang jujur. Kakeknya adalah Abdul Muthalib, seorang yang dihormati karena menjaga Ka’bah (bangunan suci yang menjadi Kiblat kaum Muslim). Dengan kondisi itu, bukan hal yang sulit bagi Nabi untuk menikahi perempuan-perempuan muda dan cantik dari suku Quraisy. Tetapi kenapa Nabi tetap memilih Siti Khadijah, perempuan berstatus janda yang sudah tiga kali menikah.

Itulah, saya yakin ada hal immateril berupa attitude yang dimiliki Khadijah, dan kemudian akhirnya menjadi daya tarik bagi Nabi. Attitude itu bisa jadi adalah kemampuan Khadijah dalam berkomunikasi. Pengalaman Nabi menjalin kerjasama dagang dengan Khadijah, menjadi referensi utama untuk mengukur kemampuan komunikasi Khadijah Dan itu terbukti sekali, ketika Nabi dalam keadaan shock psyikis akibat dampak dari peristiwa turunnya Wahyu pertama (Surat Al-Iqra) yang diturunkan Malaikat Jibril di gua Hira.

Saat itu, sebagai seorang manusia biasa, Nabi mengalami shock hebat. Nabi mengalami peristiwa spiritual terbesar selama hidupnya. Tubuhnya menggigil, dan kedinginan. Ketakutan yang luar biasa membekapnya. Dalam situasi seperti itu, Nabi amat membutuhkan kawan yang dapat membawanya keluar dari krisis psyikologis tersebut. Beruntunglah Nabi punya isteri seperti Khadijah. Yang karena kemampuannya berkomunikasi, akhirnya Nabi berhasil keluar dari masa-masa krisisnya.

Kemampuan Khadijah dalam hal inilah yang kemudian banyak memberikan kontribusi perannya di masa awal perkembangan Islam. Saat itu, wanita yang dihormati sebagai Ummul Muslimin, mampu membangkitkan kepercayaan diri Nabi dalam menyebarkan ajaran Islam, meski harus berhadapan dengan berbagai ancaman fisik dari kaum Quraisy.

Nah, kira-kira begitulah analogi saya. Jadi, komunikasi adalah salah satu attitude yang menjadi faktor keberhasilan membangun hubungan pasangan hidup. Saya berdo’a, semoga kamu mendapat pasangan ideal mu.

Oke sahabat, itu dulu comment saya.

Regards,

“Fan el Kindy”

***
Sekarang... Bagaimana dengan anda...? Pasangan hidup macam mana yang anda pilih...? Mau yang berdasarkan keinginan atau kebutuhan...? Silahkan direnungi... dan selamat berkontemplasi ria....

Saturday, November 11, 2006

Antara Aku, Kau, dan 'Komunitas' mu itu

(Kado Wisuda Sahabat Lama)


Irfan Sahabatku. Aku sangat bangga kau bisa selesai studi. Dulu, aku ngga percaya, orang sepertimu bakal wisuda. Kau, dalam benakku dulu, adalah calon mahasiswa abadi atau nominasi penerima anugerah Drop Out Award. Hahahahaha.....

Tahun ini, mukjizat itu terjadi, sahabatku. Kau benar-benar mampu wujudkan obsesimu, realisasikan cita-citamu. Rupanya kau telah bangkit, dari kubangan mimpi-mimpi utopis-mu itu.

Hari ini 6 Maret, dunia kau bikin bungkam. Kala toga hiasi raga, kala selembar ijasah itu kau selipkan diantara ketiakmu yang bau.

Sekali lagi, aku sangat bangga padamu, Irfan.

Irfan Sahabatku. Setelah wisuda, rintis-lah hari esokmu serapi mungkin. Kau pasti bisa. Meski setahuku, kau tak suka tampil rapi berdasi. Kau lebih pilih kaos kucel, dan jeans belel, ketimbang peci dan minyak wangi.

Aku percaya, kau sosok mahasiswa dengan idealisme tinggi.

Kekompakan tim 'Komunitas' mu itu, kerap membuatku kaget dan terpana. Ruar biasa. Kau bersama kawan-kawan seperjuanganmu dulu – si Mixil, si Bogel, si Ginting, de es be - benar-benar manusia militan dengan dedikasi tinggi. Tak kupungkiri, keakrabanku denganmu, kelompokmu, besar artinya bagi hari-hariku saat itu, kini dan mungkin juga esok.

Kau bersama orang-orangmu dulu, telah membuka mata hatiku, terhadap apa itu yang kau namakan idealisme, reformasi, dan bahkan revolusi. Jargon kelompokmu "Jika penindasan menjadi kenyataan, maka revolusi adalah kebenaran", hingga detik ini, masih menancap kuat dalam relung sanubariku. Juga lagu-lagu perjuangan parodi yang sering kalian dendangkan di tengah arena demonstrasi, bukan hanya masih kuhafal, tetapi juga maknanya begitu merebak menjalar dalam hampir setiap desah nafasku.

Irfan Sahabatku, Ide-ide lama hasil persentuhan gagasan dulu, antara aku dan kelompokmu itu, hingga kini masih selalu kujaga. Meski kusadar, keterlibatanku, persetubuhanku dulu dengan konsep-konsepmu, sangat-sangat terbatas. Tentu karena aku dulu berdiri di atas banyak kaki. Aku adalah ketua BEM, yang tidak hanya harus dekat dengan kelompokmu yang berbaju lusuh, tetapi juga dengan para aktifis mesjid yang berpeci putih itu. Kau tau sendiri khan, aku adalah kawan akrab si Jafar yang pimpinan Paduan Suara ; aku suka nongkrong di Piramida, lingkar studi nakal-nya anak-anak Syariah itu ; aku juga cs-nya si Otong artis teater, dan juga sohib si Klutuk yang pecinta alam itu.

Dulu, kau kerap bantu aku, juga tak jarang pusingkan aku. Dengan 'Komunitas'-mu, kau amankan 'posisi'-ku dari segala hina dan cerca [lawan-lawan] politik kita. AS, Dekan kita yang gualak itu, pernah menghiba memohon bantu-ku, [untuk] redakan hujat dan ancaman kelompok-mu. Sekarang, semua itu tinggal kenangan, Sahabatku.
Kau telah wisuda. Kau akan jalani pasang-surut perjuangan karir yang sarat onak duri itu. Ingat Sahabatku, disana kau akan temukan makna hidup yang sebenarnya. Segala keindahan lama kala di kampus biru, hanyalah masa lalu yang tak perlu dibanggakan. Ia hanyalah memori kelabu yang mungkin malah disesali, olok-olok, atau 'angin lalu' yang hampa makna dan substansi.

Perpisahan itu memang menyakitkan, Sahabatku. Mari kita tebus sakitnya perpisahan, dengan kesuksesan nan gemilang, di hari depan.

Seperti halnya dirimu, kini aku dalam perjalanan panjang. Hingga ku tak tahu, kapan kan kutatap lagi tajam matamu, garang wajahmu, atau gondrong rambutmu. Entah kapan kita kan lewati malam dengan diskusi lagi, begadang hingga pagi menjelang. Juga camping di Sukabumi, atau sekedar nongkrong di gerbang kampus Ciputat nan biru, sambil pelototi para santriwati IAIN yang genit-genit itu. Aku juga tak mampu pastikan, kapan kau dendangkan lagi lagu dangdut 70-an favouritmu, dengan iringan gitarku, seperti dulu itu. Dan bahkan, aku juga tak tau, akankah kita bertemu lagi suatu hari nanti ?!

Irfan Sahabatku, Aku sangat bangga kau bisa selesai studi. Jabat erat tanganku, di hari wisuda-mu ini.

Pinggiran Nil, awal Maret 2004.

***
My Comment:
Tulisan ini dibuat oleh salah seorang sobat kental saya yang tinggal di negeri seberang sana. Tulisan ini ia dedikasikan untuk saya. Saatnya kelak, saya akan membalas 'kado wisuda' -nya ini pada hari pernikahannya nanti.
Thank you sahabat...

Thursday, November 02, 2006

Tumbang Bersama GL Pro di Jumat Malam (Versi 2 TPG)

Langit malam itu, 24 Februari 2006, sangat cerah. Bintang-bintang seakan berlomba menyinari kota Jakarta, memberi sedikit ketenangan di tengah hiruk-pikuk yang tak pernah tidur. Meski jam sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB, arus lalu lintas di Jalan Buncit Raya masih ramai, meski tak terlalu padat. Suara kendaraan berlalu-lalang menyatu dengan semilir angin malam yang mengusap wajah para pengendara yang melintasi ruas jalan yang membelah Jakarta Selatan.

Di sudut lain kota, di sebuah kantor LSM di kawasan Mampang, saya tengah menantikan kedatangan teman-teman dari Nusa Tenggara Barat (NTB). Kunjungan mereka ke Jakarta malam itu membawa kembali kenangan indah ketika saya bertandang ke NTB beberapa bulan lalu, pada September 2005. Sambutan hangat mereka di sana masih terasa sampai sekarang, dan kini giliran saya yang menyambut mereka di ibukota. Ada kegembiraan tersendiri bisa kembali bertemu, meski sekadar untuk berbagi cerita dan pengalaman.

Setelah pertemuan berakhir, saya bersiap melanjutkan malam menuju Ciputat. Di sana, agenda rutin "warung kopian" sudah menunggu. Ini semacam tradisi bagi saya dan beberapa kawan lama kampus untuk berdiskusi santai setiap Jumat malam. Kami membahas banyak hal, mulai dari situasi nasional hingga kabar-kabar hangat yang sering diiringi dengan canda tawa dan gosip ringan, tak ubahnya seperti acara infotainment yang akrab di layar kaca.

Dalam perjalanan, saya ditemani kuda besi kesayangan, Honda GL Pro Neo Tech buatan tahun 1997. Motor yang sudah saya kendarai hampir setahun ini adalah saksi bisu perjalanan panjang saya melintasi jalan-jalan Jakarta yang seringkali macet. Meski usianya tak muda lagi, mesin motor ini tetap bandel. Lebaran 2005 silam, GL Pro ini saya bawa touring dari Depok ke Pantai Anyer, 380 km pulang-pergi. Di saat motor-motor lain seperti "King" dan "Thunder" mulai kelelahan, GL Pro saya tetap perkasa tanpa kendala sedikit pun. Ini bukan sekadar motor tua; ini adalah teman setia.

Malam itu, seperti biasa, GL Pro kembali menjadi andalan. Setelah pertemuan selesai, saya segera 'menggeber' motor ke arah Ciputat. Jalan Buncit Raya yang saya lewati, meski tak sepadat biasanya, tetap menyimpan tantangannya sendiri. Jalan itu memiliki empat jalur, dua menuju Ragunan dan dua lainnya ke arah Kuningan, masing-masing terbagi menjadi jalur lambat dan jalur cepat yang dipisahkan oleh separator dari beton. Dengan tinggi sekitar 30 cm dan lebar 50 cm, separator ini menjadi pembatas antara pengendara yang ingin melaju cepat dan yang memilih untuk berhati-hati di jalur lambat.

Pekan sebelumnya, saya sempat melihat razia polisi di jalur ini. Fokus mereka adalah pengendara motor yang nekat masuk ke jalur cepat. Tampaknya, polisi semakin tegas menegakkan aturan di ruas jalan ini. Beruntung, saya berhasil lolos dari razia saat itu, dan karena pengalaman tersebut, malam ini saya memilih tetap di jalur lambat, meski jalur cepat tampak lebih menggiurkan dengan ruang yang lebih luas.

Saat GL Pro melaju di jalur lambat dengan kecepatan 60 km/jam, saya mendapati diri terhalang oleh sebuah bus Metromini '75' yang berjalan lambat di depan saya. Bus yang melayani rute Blok M – Pasar Minggu itu tampak sibuk menurunkan penumpang, separuh bodinya sudah menutupi sebagian besar jalur lambat. Saya pun tersendat di belakangnya. Emosi mulai terasa, namun saya mencoba untuk bersabar. Tidak ada pilihan lain selain menunggu saat yang tepat untuk menyalip.

Setelah tertahan di belakang Metromini ’75’ yang lamban, kesempatan untuk menyalip akhirnya datang ketika jalan di depan kantor Dealer Nokia di Mampang terbuka lebar. Tanpa pikir panjang, saya mengambil keputusan. Dengan keyakinan penuh, saya menarik gas motor, GL Pro saya, lincah bermanuver melewati separuh bodi bus yang menutupi jalan lambat. Saat itulah, segalanya berubah dalam sekejap.

Ketika motor sudah berada di tengah-tengah antara jalur lambat dan cepat, tiba-tiba saya mendapati diri berhadapan dengan ujung separator yang muncul tanpa peringatan. Jantung saya berdegup kencang. Dalam hitungan detik, saya harus memutuskan: apakah akan membanting setir ke kanan, langsung menuju jalur cepat yang dipenuhi kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi, atau kembali ke kiri yang berarti menabrak Metromini?

Tak ada pilihan yang ideal. Dengan sisa waktu yang ada, saya mencoba mengerem keras. Rem tangan ditarik, kaki saya menekan pedal rem sekuat mungkin, tapi segalanya sudah terlambat. "BRAAK!" Terdengar suara keras saat motor menghantam ujung separator. GL Pro yang selama ini setia menemani saya terpental jauh, sementara tubuh saya terlempar dari jok, berguling di atas aspal yang kasar. Dalam hitungan detik, saya sudah tergeletak di jalur lambat, tepat satu meter dari separator, terpisah dari motor yang terseret jauh di depan.

Tubuh saya serasa hancur. Helm yang saya kenakan melindungi kepala dari benturan fatal, tapi rasa sakit mulai menjalar. Siku saya menggesek keras dengan aspal, tangan kanan membentur separator, dan pinggul saya beradu dengan bodi motor. Untuk sesaat, saya terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

Pikiran saya masih sadar penuh, otak bekerja cepat. Jika saya tetap terbaring di tengah jalan, kendaraan yang melaju dari belakang bisa saja melindas tubuh saya yang tak berdaya. Dengan sisa tenaga yang ada, saya berusaha bangkit. Namun, tubuh terasa berat dan lemas. Saya tidak bisa berdiri. Meski begitu, saya mulai merayap, berjuang mencapai separator di dekat saya, berharap dapat menyelamatkan diri dari ancaman kendaraan yang bisa datang kapan saja.

Setelah perjuangan berat, saya berhasil menaiki separator dan menelungkupkan tubuh di atasnya. Nafas terengah-engah, jantung berdetak tak karuan, dan rasa nyeri semakin menjalar di bagian pinggul dan tangan kanan. Dalam kondisi seperti itu, 10 menit terasa seperti seabad. Rasa sakit semakin tajam, tapi saya bersyukur masih bisa bernapas dan sadar.

Tidak lama kemudian, seorang pria pengendara motor berhenti di dekat saya. Melihat keadaan saya yang terluka, ia dengan sigap memberikan pertolongan, diikuti beberapa warga yang datang menghampiri. "Mas, helmnya saya buka dulu ya, biar lebih mudah bernapas?" katanya dengan suara tenang namun penuh perhatian. Helm setengah terbuka yang selama ini melindungi kepala saya dilepas perlahan.

"Masih bisa jalan nggak, Mas?" tanya pria itu lagi, dengan nada khawatir.

"Saya nggak tahu... tapi rasanya tangan kanan saya patah," jawab saya lemah, sambil mencoba menahan rasa sakit yang semakin menusuk.

Malam yang awalnya begitu tenang, penuh dengan harapan untuk berkumpul dengan teman-teman di Ciputat, kini berubah menjadi mimpi buruk. Di bawah langit Jakarta yang cerah, tubuh saya yang terluka menjadi saksi dari bahaya yang mengintai di jalanan kota ini. Meski GL Pro saya terseret jauh dan tubuh saya terluka parah, yang tersisa di benak saya hanyalah rasa syukur bahwa malam ini saya masih bisa bernafas.

Setelah terpental dan terguling akibat kecelakaan, saya menemukan diri tergeletak di aspal, berusaha bangkit dengan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuh. Tiga orang warga dengan sigap membantu saya berdiri. Meski kaki terasa berat dan terpincang-pincang, saya menolak untuk digotong. Dengan bantuan mereka, saya berjalan ke arah trotoar, mencoba menenangkan diri dan merenungi kejadian itu.

Kerumunan mulai mengerubungi saya, wajah-wajah ingin tahu menatap penuh simpati. “Kenapa mas?” salah satu dari mereka bertanya.

“Nabrak pembatas jalan,” jawab saya sambil menjelaskan kronologi kejadian dengan lirih. “Mau nyalip Metromini dari kanan, tapi nggak lihat ada separator. Sudah coba rem, tapi tetap nggak ketahan.”

Obrolan di antara warga mengalir. Rupanya, saya bukan satu-satunya yang pernah terjatuh di tikungan tersebut. Menurut mereka, lokasi itu memang sering menjadi perangkap bagi pengendara yang tak waspada.

Seorang pria berseragam Satpam menghampiri, memberi tahu bahwa motor saya telah diamankan di parkiran hotel terdekat. Saat duduk di trotoar, shock masih menguasai saya. Pikiran terus bergelut dengan makian terhadap diri sendiri. Kenapa harus begitu ceroboh?

Kerumunan orang perlahan bubar. Mungkin mereka melihat saya masih bisa duduk dan kondisi luka tidak terlihat terlalu parah. Hanya satu orang yang tetap tinggal, pria yang pertama kali menolong membuka helm saya. Pengendara motor yang kebetulan lewat dan berhenti untuk memberi bantuan.

"Mas mau ke mana dan tinggal di mana?" tanyanya.

"Saya tinggal di Depok, rencananya mau ke Ciputat."

Dia menawarkan bantuan dengan tulus. "Saya antar ke rumah sakit atau pulang ke rumah, naik motor saya atau taksi? Kebetulan saya juga ke arah Depok."

Rasa terimakasih bercampur sakit membuat kata-kata saya terbata. “Tunggu sebentar ya, saya cek dulu motor saya.”

Dengan terpincang, saya berjalan menuju hotel tempat GL Pro saya disimpan. Rasa nyeri di pinggul dan lutut semakin tajam saat melangkah. Di bagian pinggul kiri, lebam sebesar 10 cm terlihat membiru. Lutut saya lecet, dan celana jeans hitam yang saya kenakan robek di beberapa tempat. Tangan kanan, yang dulu menjadi tumpuan, kini tak lagi bisa digerakkan. Nyeri menjalar dari siku ke ujung jari. Saya curiga, mungkin ini patah.

Sampai di parkiran, saya terkejut melihat kondisi motor saya. GL Pro yang biasanya gagah kini berubah total. Velg yang dulunya melingkar sempurna kini meliuk, lampu depan pecah, knalpot penyok, dan tangki remuk. Motor itu tak mungkin lagi dikendarai.

Akhirnya, saya memutuskan untuk menitipkan motor di parkiran hotel dan berjanji akan ada orang lain yang mengambilnya esok hari. Dengan bantuan pengendara motor yang baik hati tadi, saya menaiki taksi menuju dukun patah tulang terkenal di Cilandak. Ini bukan kali pertama saya ke sana. Pada 1991, tangan kanan saya juga pernah patah, dan sembuh dalam waktu sebulan. Kali ini, rasanya berbeda.

Dalam taksi, rasa syukur membanjiri hati. Saya kembali mengucapkan terima kasih kepada pria tersebut, yang entah bagaimana bisa begitu baik.

"Waduh bung, terima kasih banyak. Apa yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikan bung?" tanya saya.

Namun, jawabannya membuat hati saya terenyuh. "Gak apa-apa mas, saya cuma mau balas jasa. Dulu saya pernah kecelakaan di Bekasi, dan ada orang yang nolong saya. Sekarang giliran saya bantu orang lain. Mas nggak perlu balas saya, tapi mungkin lain kali bantu orang lain aja."

Kata-katanya tertanam dalam hati. Di tengah individualisme perkotaan, ternyata masih ada orang yang peduli pada sesamanya tanpa pamrih. Malam itu, meski tubuh terluka, hati saya justru merasa tercerahkan oleh tindakan sederhana pria tersebut.

Sesampainya di rumah, pukul sudah menunjukkan 01.30. Lelah dan nyeri bercampur, saya hanya bisa berbaring dan mencoba tidur. Sambil menonton berita di TV, saya melihat wawancara tentang kasus mahasiswa Papua yang tadi siang sempat saya tangani. Siang hari, saya berada di layar TV sebagai narasumber. Malamnya, saya terbaring dalam perawatan.

Hidup memang penuh kejutan, dan malam itu saya tak hanya belajar tentang pentingnya berhati-hati di jalan, tetapi juga tentang kebaikan manusia yang masih bisa ditemukan di tempat yang tak terduga.

---

Malam itu, kecelakaan yang menimpa saya menjadi awal dari babak baru dalam hidup. Rontgen menunjukkan tulang ulna kanan saya patah—sebuah "fracture des ulna 3/4 distal," kata dokter. Artinya, tulang di lengan bawah saya mengalami keretakan yang cukup parah, dengan pergeseran posisi hingga tiga perempatnya. Dokter orthopedi di Depok memberi saran tegas: operasi pemasangan pen. Namun, mendengar masukan dari teman-teman dan keluarga, saya memutuskan mencoba pengobatan alternatif, berharap masa pemulihan bisa lebih cepat.

Dua bulan penuh hidup saya terhenti. Tangan kanan, yang menjadi korban utama kecelakaan, bengkak dan tak bisa berfungsi. Aktivitas sehari-hari pun tak mungkin dilakukan seperti biasa. Tak ada lagi perjalanan dengan motor atau tugas-tugas kantor yang bisa saya selesaikan. Hari-hari di rumah menjadi rutinitas baru, penuh kebosanan dan frustrasi. Saya mengajukan izin istirahat dari kantor dan memfokuskan diri untuk penyembuhan.

Setiap minggu, saya mendatangi dukun patah tulang di Cilandak, namun sebulan berlalu tanpa banyak kemajuan. Rasa tak sabar mulai merambat. Tangan kanan masih belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Bunda terus menasihati saya untuk bersabar, namun hati ini terus gelisah. Akhirnya, saya memutuskan mencari pengobatan lain. Lewat rekomendasi teman, saya menuju Ciparay, Bandung, dengan harapan baru.

Dengan lengan kanan yang masih berbalut perban, saya memberanikan diri berangkat sendiri ke Bandung, meski banyak yang menawarkan bantuan. Prinsip saya untuk tidak merepotkan orang lain membuat saya lebih memilih berjuang sendiri. Hasil dari perjalanan itu cukup menggembirakan. Perlahan-lahan, saya mulai merasakan kemajuan. Tangan kanan bisa bergerak sedikit lebih bebas, meski belum sempurna.

Namun, proses pemulihan ini bukan hanya soal fisik. Tekanan mental yang muncul akibat cedera ini jauh lebih menantang. Pikiran tentang apakah tangan saya akan kembali pulih atau tidak, terus menghantui. Ditambah lagi, rasa frustrasi saat harus menggunakan tangan kiri untuk melakukan semua hal yang biasa dilakukan oleh tangan kanan. Beruntung, dukungan dari keluarga dan teman-teman membuat saya tetap kuat, terutama Bunda. Ia selalu mengingatkan saya bahwa Tuhan punya cara-cara tersendiri untuk menguji dan meninggikan hamba-Nya.

Di tengah cobaan ini, sebuah berita baik datang seperti secercah cahaya di tengah kegelapan. Pada 10 Maret 2006, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) mengumumkan hasil Ujian Advokat yang saya ikuti beberapa minggu sebelum kecelakaan. Nama saya tercantum sebagai salah satu peserta yang lulus. Kabar ini memberi saya harapan baru dan sedikit mengurangi tekanan mental yang sedang saya hadapi.

Bayangkan jika kecelakaan itu terjadi sebelum ujian advokat. Tangan kanan saya tak akan mampu menulis, dan masa depan saya mungkin akan berbeda. Saya hanya bisa bersyukur bahwa Tuhan masih memberi saya kesempatan.

Kondisi tangan kanan saya perlahan membaik. Awal Mei, saya mulai kembali ke rutinitas, meski untuk sementara waktu harus menggunakan angkutan umum karena tangan saya belum cukup kuat untuk mengendarai motor. Baru pada akhir Juni, motor GL Pro yang sempat hancur dalam kecelakaan itu berhasil diperbaiki dan kembali bisa saya kendarai. Momen pertama mengendarai motor lagi adalah kebahagiaan tersendiri—seperti mendapatkan kembali kebebasan yang hilang. Saya juga kembali bisa memainkan gitar, mengisi waktu luang dengan alunan musik yang selama ini menjadi teman dalam kesendirian.

Namun, dari semua ini, saya mendapatkan pelajaran penting yang tak ternilai. Pertama, saya diingatkan tentang betapa berharganya kesehatan. Kehilangan fungsi tangan kanan selama tiga bulan membuat saya lebih menghargai setiap bagian tubuh dan betapa pentingnya merawatnya. Saya juga merasa lebih berempati terhadap mereka yang mungkin tidak seberuntung saya, yang harus hidup dengan keterbatasan fisik setiap hari.

Kedua, kecelakaan ini mengubah cara saya berkendara. Sebelum ini, meski saya adalah pengendara yang cukup hati-hati, emosi kadang-kadang menguasai diri, terutama ketika dihadapkan pada pengemudi lain yang tidak sopan. Malam itu, kemarahan terhadap sopir Metromini yang tidak memberi jalan membuat saya hilang kendali, dan terjadilah kecelakaan. Saya belajar bahwa kesabaran dan kerendahan hati di jalan jauh lebih penting daripada sekadar ingin cepat sampai.

Pelajaran ketiga adalah tentang kebaikan. Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa membantu orang lain adalah investasi moral yang tak ternilai. Pria yang menolong saya malam itu mengingatkan saya bahwa kebaikan harus dibalas, tidak langsung kepada orang yang menolong, tetapi kepada siapa pun yang membutuhkan. Sejak saat itu, setiap kali melihat seseorang mengalami kesulitan di jalan, saya berusaha untuk selalu berhenti dan membantu.

Kecelakaan itu telah mengubah perspektif saya tentang banyak hal. Kini, saya lebih bersyukur, lebih sabar, dan lebih peduli kepada sesama. Di akhir hari, saya selalu mengingat doa sederhana, "Ya Allah ya Tuhan kami... Engkau Maha Pelindung, lindungi kami dari marabahaya."

Wednesday, November 01, 2006

Touring To Carita Beach

Libur Kecil Kaum Kusam

SABTU lalu, 28 Oktober 2006, saya kembali touring naik motor ke Pantai Carita. Kali ini bersama dengan kawan-kawan ‘tongkrongan’ di lingkungan dekat rumah. Jumlah motor dalam rombongan ini, hanya 5 motor. Atau total 10 orang. Jauh sedikit, dibanding dengan tahun lalu, ketika touring bersama dengan kawan-kawan ’tongkrongan’ di Citayam, yang berjumlah 37 motor.

Dalam touring ini, saya didaulat sebagai kepala rombongan. Rombongan berangkat jam 10.30 WIB dari Depok, dan tiba di Carita jam 18.00. Rute yang dilalui adalah lewat Tangerang, Balaraja, Serang, dan Cilegon. Sepanjang perjalanan, banyak memakan waku istirahat. Mungkin hampir 2 jam. Jarak tempuh waktu berangkat sekitar 180 KM. Sangat melelahkan memang. Untung saja, banyak kawan yang bisa bawa GL Pro saya. Sehingga saya bisa saling bergantian mengendarainya. Tidak seperti tahun lalu, pulang-pergi, GL Pro saya bawa sendirian. Hasilnya, sampai rumah harus cari tukang urut.

Di Carita, rombongan menginap di pinggir pantai di salah satu lingkungan tempat wisata yang sepi. Sengaja pilih sepi. Pada sebuah saung yang terbuat dari bambu dan beratap rumbia, kami menginap di dalamnya. Saung ini tidak ditutup penuh oleh dinding. Dindingnya hanya setengah saja, sekitar 50 Cm. Saya tidak terlalu suka tempat ini. Tapi karena kebanyakan anggota rombongan menyepakati, ya sudah, saya ikut.

Di lokasi itu, saya langsung masuk ke dalam saung. Tidak banyak aktivitas yang saya lakukan. Tubuh saya terasa diserang masuk angin. Saya langsung merebahkan diri dan coba memejamkan mata. Sial, ternyata serangan nyamuk pada tengah malam, membuat saya tak bisa tidur nyenyak. Akhirnya sampai matahari terbut saya tetap berada di dalam saung. Sementara kawan-kawan saya lainnya, justru menghabiskan malam dengan begadang. Mereka menikmatinya sambil bernyanyi, bermain gitar dan minum kopi.

Paginya, beberapa orang kawan complain kepada saya, karena saya menghabiskan malam hanya dengan tidur. Dan tidak larut dengan mereka dalam menikmati malam. Tapi setelah tahu, saya diserang masuk angin, mereka memaklumi.

Paginya hari Minggu, sekitar jam 08.30, rombongan kembali bergerak pulang ke Depok. Kami tak punya banyak waktu. Sebagian anggota rombongan, sudah mulai masuk kerja pada hari Senin. Jadi diputuskan untuk bisa tiba di Depok pada sore hari, sehingga punya banyak waktu untuk istirahat. Syukurlah, sejak berangkat dan kembali ke Depok, tidak ada masalah besar yang kami hadapi.


TOURING kali ini merupakan pengalaman pertama bagi komunitas saya yang satu ini. Komunitas ini menamakan diri dengan nama ”Camp Post”. Mereka adalah kawan-kawan lama saya di lingkungan dekat rumah. Sejak 2 bulan lalu, saya mengusulkan rencana touring ini sebagai wahana mengisi liburan Lebaran. Soal tempat tidak masalah bagi saya. Mereka pun setuju. Sebenarnya banyak orang yang mau ikut. Tapi kami sengaja untuk tidak mengajak. Mungkin touring berikutnya kami akan mempertimbangkan melibatkan banyak orang.

Touring ini saya namakan dengan ”Libur Kecil Kaum Kusam.” Sebuah baris judul milik musisi legendaris favorit saya, Iwan Fals. Karena touring kali ini, beda dengan liburan-liburan yang pernah saya lalui, yang lumayan mewah. Liburan ini adalah liburan yang sederhana. Liburan yang menyesuaikan diri dengan isi kantong. Sampai-sampai menginapnya saja di saung dekat pinggir pantai. Tapi biar begitu, esensi liburan tetap dapat dirasakan.

Belakangan ini, saya banyak akrab dengan kawan-kawan lama di dekat rumah. Hubungan komunikasi saya dengan kawan-kawan di rumah ini, mulai saya bangun kembali. Setelah sebelumnya, karena aktivitas saya yang banyak di luar rumah, membuat saya jarang berkumpul dan berkomunikasi dengan mereka. Kalau pun ada, hanya sesekali saja.

Hampir setiap malam minggu, saya berkumpul dengan mereka. Kadang jumlahnya bisa 14 orang, kadang hanya 2 orang saja. Dari sekedar ngobrol ”ngalor-ngidul,” bernyanyi dan main gitar bersama, bahkan sampai obrolan yang serius. Kadang diselingi drinking party ala ”peletokan.” Tapi saya kurang suka untuk yang ini. Paling kuat hanya 3-4 teguk saja mampir di tenggorokan. Lebih dari itu, nyerah. Lebih enak neguk Coffemix-nya Indocafe. Itu lebih nikmat. Kalo memasilitasi peletokan sih boleh. Tapi ikut sebagai user, nanti dulu.

Setelah kembali banyak kumpul dengan mereka, saya sadar, bahwa ada sisi positif yang bisa saya dapatkan dan berikan dalam proses ’malam mingguan’. Meski di antara kita menyebut ’malam mingguan’ itu, sebagai forumnya kaum jomblo, tapi di acara itu, saya bisa saling berbagi banyak pengalaman dengan mereka. Di situ saya tahu bagaimana problematika para pemuda desa yang tengah kesulitan menghadapi persaingan di dunia kerja. Dan bagaimana ternyata di dalam dunia kerja yang sudah mereka tekuni, mereka banyak menghadapi problem-problem kerja.

Umumnya, kawan-kawan saya di dekat rumah, adalah lulusan SMU. Di tongkrongan malam minggu itu, hanya ada 1 orang di luar saya yang lulusan S1. Maka itu, problematika yang mereka hadapi adalah input bagi saya. Sehingga problem sosial anak muda semacam itu tidak lagi hanya saya tahu dari buku, atau dari sebait lagu ’Darah Juang’, yakni ”...pemuda desa tak kerja...” Tapi riil, saya tahu dari kawan-kawan saya sendiri.

Sementara yang menjadi output, saya bisa berbagi wawasan saya mengenai hukum perburuhan. Mereka awam tentang hal ini. Padahal, dalam keseharian mereka banyak mengalami problem-problem yang sebenarnya sudah diatur dalam hukum perburuhan. Tapi karena mereka tak tahu, mereka akhirnya menjadi korban pembodohan oleh pihak majikan.

Di luar tentang itu, saya juga banyak meng-output wawasan tentang hukum dan politik kepada mereka. Saya sadar mereka adalah kelompok yang rentan menjadi ekploitasi politik elit. Karena itu, kesadaran politik mereka perlu untuk dibangun. Tapi bukan untuk menjadi apolitis. Melainkan menjadi anak muda yang kritis. Kritis bukan hanya pada level kebijakan politik yang lebih besar, melainkan juga pada problem-problem yang ada di tengah masyarakat lokal. Karena di masyarakat juga ada konflik. Konflik antar pemuda, antar bapak-bapak, juga antar ibu-ibu. Bila kesadaran politiknya sudah dewasa, harapan saya, mereka tidak larut dalam konflik yang tidak produktif. Sebaliknya bisa ikut membantu menyelesaikan konflik.

Maka itu perlu banyak dilakukan proses konsolidasi di kalangan anak muda di tempat saya tinggal. Ada banyak metode yang bisa dilakukan. Tapi saya sadar, ada proses yang harus dilalui. Proses itu penting. Semua tidak bisa instan. Pengentalan emosional adalah salah satunya. Acara touring ke Carita adalah salah satu cara yang digunakan. Sampai saat ini saya belum punya gambaran kongkrit, akan saya bawa kemana komunitas ini ke depan. Mau sekedar kongkow-kongkow aja, atau untuk wadah emansipasi sosial.
Sulit memang untuk menjawabnya. Terlebih saya juga disibukkan dengan banyak kegiatan kantor. Juga ini bukan satu-satunya komunitas yang saya punya. Ada banyak komunitas di tempat lain. Biarlah waktu yang akan menjawab. Yang penting, hari ini saya bisa menikmati proses yang ada di depan mata. Kalo lagunya Raihan tentang ”Lima Perkara,” maka saya menambahnya satu hal lagi. ”Ingat masa lajangmu, sebelum datang masa menikahmu...” Artinya, mumpung masih bujang (mudah-mudahan tidak lapuk), ”jalani terus coy...” Nanti kalau sudah berkeluarga, gak ada banyak lagi kesempatan datang seperti di masa bujang.
Depok, 30 Oktober 2006

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 Hijriah, Mohon Maaf Lahir Bathin

SETIAP Hari Raya Idul Fitri, selalu memiliki kesan yang begitu kuat kepada orang yang merayakannya. Termasuk saya. Tetapi lebaran kali ini, ada hal yang belum saya merasa puas. Bukan materi. Tetapi soal puasa. Puasa kali ini, kalah 16 hari. Angka ini melonjak jauh dibanding puasa tahun lalu yang hanya kalah 3 hari. Bukan apa-apa, tanggal 2 Oktober sampai dengan 17 Oktober lalu, saya ada di Papua, atau sekitar 16 hari. Di Papua saya tak puasa selama 13 hari. Sebelum berangkat ke Papua, sudah kalah 3 hari.

Di Papua, tepatnya di Wasior, agak sulit bagi saya menjalani puasa. Energi saya banyak terkuras, sehingga banyak membutuhkan cairan agar tidak dehidrasi. Dan baru tiga hari terakhir ada di Manokwari, puasa saya di Papua bisa kembali normal.

Di sisi lain saya mendapat kesejukan rohani yang luar biasa. Meski nilainya tak seberapa. Tapi lebaran kali ini, saya punya keberanian lebih untuk menyisihkan sebagian besar isi kantong saya untuk shadaqah kepada orang lain, termasuk juga sanak famili. Apalagi, adat betawi punya budaya angpaw. Budaya memberi uang di dalam amplop yang diadopsi dari orang-orang China saat merayakan hari tahun barunya. Target angpaw saya adalah saudara-saudara sepupu dari pihak ibu, yang jumlahnya ada 32 orang. Kebanyakan mereka masih berusia anak-anak. Ibu saya kebetulan dari keluarga besar dengan 11 orang bersaudara.

Dengan begitu, terpaksa bugjet beli pakaian baru atau pun barang-barang baru saya tiadakan. Ada rasa kepuasan sendiri, dan begitu nikmat ketika melihat orang lain bahagia. Saya termasuk orang yang meyakini, bahwa shadaqah itu adalah pintu rejeki. Semakin banyak kita shadaqah, semakin besar Tuhan membuka pintu rejeki kepada kita. Amin.


ADA dua versi lebaran, ada yang senin, ada yang selasa. Pemerintah memutuskan hari Selasa sebagai 1 Syawal 1427 Hijriyah. Saya dan keluarga ikut yang hari Selasa, 24 Oktober 2006. Warga Muhammadiyah umumnya melaksanakan lebaran pada hari Senin, 23 Oktober 2006. Tapi tak semua seragam, ada juga warga Muhammadiyah yang merayakannya pada hari Selasa. Hal yang sama juga terjadi pada warga NU. Tak semua warga NU merayakannya pada hari Selasa. Di Jombang dan Kediri, Jawa Timur, warga NU memutuskan lebaran pada hari Senin.

Soal perbedaan penentuan 1 Syawal ini, sampai kini masih membingungkan buat saya. Dulu waktu kuliah, ada mata kuliah ilmu falak. Ilmu yang salah satunya mengajarkan cara menghitung dan menetapkan tanggal dalam bulan Hijriyah. Tapi sayang, karena ini bersifat eksakta, membuat saya amat memusuhi mata kuliah ini, dan tidak tertarik untuk mendalaminya.

Memang tidak mengenakkan juga, ada dua versi lebaran. Terkesan, kok Islam beda-beda, Islam terpecah-pecah. Makanya beberapa tokoh agama, kemudian ’pagi-pagi’ sudah mengingatkan, bahwa perbedaan dalam pelaksanaan hari raya, tidak perlu dibesar-besarkan. Perbedaan dalam Islam adalah rahmah. Islam adalah agama yang menghargai perbedaan.

Saya salut atas peringatan ini, baik dari tokoh Muhammadiyah, maupun dari NU. Statemen-statemennya menyejukkan. Nampak sekali sepertinya mereka bukan hanya ulama, tapi juga negarawan.

Tapi ada hal yang saya masih tak habis pikir. Mengapa respon atas perbedaan itu, justru tidak mereka tunjukkan dalam menghadapi fenomena Ahmadiyah. Bisa jadi memang ada yang beda secara subtansial. Dalam kasus Ahmadiyah, ada perbedaan yang bersifat furu’iyah. Sementara, dalam perbedaan 1 Syawal, sebaliknya bersifat Syar’i. Antara keduanya, dianggap yang paling pokok, adalah yang furu’iyah. Sehingga perbedaan dengan Ahmadiyah dianggap sah dihadapi dengan kekerasan. Ulama Muhammadiyah dan NU memang menolak cara kekerasan, namun tak ada upaya kongkrit untuk mencegah kekerasan.

Adapun kasus perbedaan 1 Syawal, menurut saya tak kalah sama bobotnya dengan kasus Ahmadiyah. Karena di sana ada hukum haram yang ternyata dipaksa ditafsirkan secara kompromis. Padahal doktrin hukumnya, bersifat jelas, tidak syak. Hadist Nabi yang shahih menyatakan, barang siapa berpuasa di hari Raya Idul Fitri, maka haram hukumnya.

Haram adalah salah satu dari 4 hukum taklifi dalam hukum Islam selain Wajib, Sunnah, dan Mubah. Haram bermakna, apabila suatu perbuatan dijalankan maka mendapat dosa, dan bila ditinggalkan mendapat pahala.

Saya pernah ditanya oleh seorang kawan. Berdasar hadist Nabi tadi, lantas, apakah kaum muslim yang tetap berpuasa di hari Senin adalah berdosa, dan sebaliknya kaum muslim yang tidak puasa dan merayakan Lebaran di hari Senin justru mendapat pahala? Aduh, ini pertanyaan yang gampang-gampang rumit. Saya tak lincah menjawabnya.

Saya hanya tahu, bahwa para ulama memberikan pendapat dengan jalan tengah. Yakni, mengembalikan keyakinan kepada masing-masing individu. Puasa di hari Senin menjadi haram, apabila orang yang puasa meyakini bahwa di hari itu adalah tanggal 1 Syawal. Juga sebaliknya, tidak menjadi haram apabila diyakini bahwa hari itu masih tanggal 30 Ramadhan. Jadi misalnya, warga Muhammadiyah tidak bisa ’menjudge’ bahwa warga NU yang tetap berpuasa di hari Senin adalah dosa. Vonis dosa tidak bisa dijatuhkan kepada warga NU, karena mereka yakin, bahwa hari itu masih tanggal 30 Ramadhan.

Saya setuju dengan pendapat ini. Keyakinan subjektivitas individu dijadikan alat ukur untuk menjatuhkan vonis hukuman. Haram atau tidak haram. Begitu juga wajib atau tidak wajib, sunnah atau tidak sunnah, mubah atau tidak mubah. Tapi lagi-lagi, mengapa hal ini tidak dipraktekkan dalam menilai kasus Ahmadiyah? Toh secara subtansi juga sama. Ada soal keyakinan yang berbeda.

Saya bukan pembela ajaran Ahmadiyah. Tapi saya hanya tak senang pola intimidasi dan kekerasan dijadikan solusi menghadapi jama’ah Ahmadiyah. Termasuk juga terjadi banyak pada kasus lain. Itulah dinamika problem kaum muslim yang hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi.

ZAMAN sudah semakin canggih. Dahulu orang mengucapkan selamat lebaran kepada sanak famili dan koleganya secara langsung, atau via telepon. Kini di era Handphone (HP), sudah cukup dengan SMS saja. Ini metode yang murah meriah, tetapi efektif untuk menjalin tali silaturahmi.

Sejak tahun 2004 lalu, setiap Hari Raya Idul Fitri, HP saya menjadi sasaran SMS banyak kolega. Baik dari kolega yang muslim, maupun yang non-muslim. Isinya, ucapan selamat Hari Raya dan permohonan maaf lahir bathin. Lebaran kali ini, setelah saya hitung, ternyata saya mendapat kiriman sekitar 120-an lebih SMS. Semua SMS itu saya balas. Di luar angka itu, saya juga mengirim SMS ke sejumlah nomor HP. Sekitar 50-an nomor yang dikirim. Ada yang dibalas, juga ada yang tidak.

SMS di hari raya ini, bak festival. Semua orang sepertinya berlomba merangkai kata-kata puitis. Dari sekian banyak SMS itu, banyak yang isinya unik-unik. Kali ini SMS dari Kepala Divisi saya di kantor, seorang penganut Katolik, saya anggap salah satu yang indah. Saya tidak tahu, apakah teks itu dibuat sendiri olehnya, atau dia dapat dari orang lain lalu diforward ke saya. Isinya:

”Dalam kerendahan hati ada keluhuran budi... Dalam kemiskinan ada kekayaan jiwa... Hidup ini indah jika ada maaf di antara kita... Minal Aidhin wal faizin... Mohon maaf lahir bathin...”

Lalu juga ada SMS dari kawan junior di UIN.

“Berguru hidup pada perjuangan, berguru hati pada keikhlasan, berkaca jiwa pada mereka yang papa. Selamat hari raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir bathin.”

Ada juga yang bernada humor yang dikirim oleh kawan satu kelas di UIN.

“Kirim parcel dilarang KPK, transfer uang gak tahu rekening. Kirim karangan bunga, lo masih hidup. Jadi gw hanya bisa kirim ucap mohon maaf lahir bathin”

”Kadang ucapan tak sejernih XL & hati sulit menerima layaknya FLEXI, sehingga hari tak secerah MENTARI pagi. MY FREN, BEBAS-kan temanmu ini dari dosa-dosa. Mohon maaf lahir bathin.”

Dari semua SMS, ada satu SMS yang cukup istimewa. Karena si pengirim SMS adalah salah seorang kandidat calon wakil Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. Saya kira nomor HP saya sudah hilang di HP-nya setelah kini ia tampil menjadi calon elit politik baru di Aceh. Ternyata tidak, dia masih menyimpan nomor saya, dan mengirim ucapan selamat hari raya kepada saya.

Mendapat serangan SMS-SMS itu, saya juga tak mau kalah. Dua teks SMS saya siapkan untuk dikirim kepada orang-orang berdasarkan konteksnya. Dan kini saya sampaikan juga kepada anda semua.

”Saat politik menjadi pelik, saat hukum menjadi bingung, saat ekonomi menjadi ironi, tapi di hari suci ini, semoga menjadi modal memperbaki masa lalu. Selamat hari raya Idul Fitri, Minal Aidhin Wal Faizhin Mohon Maaf Lahir Bathin.”

”Jika ada lidah yang menikam, ada tingkah yang menghujam, ada janji yang terabai, saya mohon maaf lahir bathin. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1427 Hijriyah.”

LEBARAN kali ini, adalah pertama kalinya lagi saya bersilaturahmi ke seluruh tetangga satu RT (Rukun Tetangga) setelah usai shalat Id. Terakhir kali saya berkeliling adalah saat dulu duduk di bangku SD. Setelah itu tak pernah lagi, kecuali hanya tetangga yang persis di dekat rumah saja.

Dalam proses bersilaturahmi itu, ternyata banyak para tetangga yang baru melihat saya lagi. Mereka umumnya terkejut melihat penampilan fisik saya yang banyak berubah. Selain soal kehebohan melihat perubahan fisik saya, mereka juga ajukan sebuah pertanyaan yang membuat saya jadi risih. Ya, apalagi kalo bukan soal pertanyaan kapan saya menikah. Ini pertanyaan sama yang juga diajukan orang-orang tua dari keluarga Ibu. Lebih dari 10 orang menanyakan hal ini.

Terpaksa, guyonan klasik saya lontarkan. “Iya nih, tanggal dah jelas, bulan dah jelas, cuma tahun yang belum jelas…” jawab saya sambil terkekeh. “Lagian, magang saya di PKS belum selesai...”

“Lho apa hubungannya dengan magang di PKS..?” tanya salah seorang paman.

”Ya itu... Proses Koleksi dan Seleksi-nya belum selesai..!” kata saya dengan maksud sekedar joke. Kontan aja, banyak orang jadi terbahak-bahak mendengarnya.
Writed by Fan
Depok, 26 Oktober 2006

”KELABU DI JUM’AT MALAM”

MESKI jam menunjukkan pukul 23.30 wib, tapi malam itu di tanggal 24 Februari 2006, arus lalu lintas kendaraan di ruas jalan Buncit Raya ramai, meski tak terlalu padat. Langit sangat cerah, dihiasi banyak bintang.

Malam itu saya tengah berada di sebuah kantor LSM di kawasan Mampang-Jakarta Selatan. Di sana saya hendak menjumpai kawan-kawan saya dari Nusa Tenggara Barat (NTB) yang baru saja tiba di Jakarta hari itu. Saya antusias menyambut kedatangan mereka. Saat mengunjungi NTB pada September 2005 lalu, mereka sudah menjamu baik saya.

Rencananya, sepulang dari sana saya ingin meluncur ke Ciputat. Biasa, kadang setiap Jum’at malam ada agenda diskusi ”warung kopian” dengan kawan-kawan lama di kampus. Ini tradisi yang masih dijalani untuk saling share informasi soal situasi nasional up to date di negeri ini. Biar tidak menjumudkan, kadang diselingi juga ngerumpi sana-sini, bak acara ngegosip di infotainment.


MOTOR Honda GL Pro Neo Tech buatan tahun 97 akhir, yang hampir 1 tahun saya tunggangi, menjadi teman setia dalam membelah belantara kemacetan Jakarta. Meski barang lawas, tapi mesinnya bandel. Lebaran tahun lalu, 2005, saya pernah bawa GL Pro ini dari Depok ke pantai Anyar dengan jarak 380 km pulang pergi (PP), bersama rombongan touring 37 motor. Hasilnya, si GL Pro ini sehat-sehat saja, sementara kawan lain yang membawa ”King” dan ”Thunder”, ternyata mesinnya”batuk-batuk.”

GL Pro ini juga yang saya tunggangi pada malam itu. Usai pertemuan, motor langsung saya ‘geber’ ke arah Ciputat. Malam itu, jalan Buncit Raya tak terlalu sepi, juga tak terlalu ramai. Ruas di jalan ini ada 4 jalur. 2 Jalur ke arah Ragunan, 2 jalur ke arah Kuningan. Setiap 2 jalur, difungsikan untuk jalur lambat dan cepat. Antara jalur lambat dan jalur cepat terdapat Separator yang terbuat dari ’semen batu’. Separator berfungsi memisahkan jalur lambat dan jalur cepat agar arus kendaraan teratur. Tinggi separator dari permukaan jalan (aspal) sekitar 30 cm. Dan lebar sekitar 50 cm.

Seminggu sebelumnya saya melewati ruas jalan ini, dan melihat ada razia Polisi. Targetnya adalah pengendara roda dua (motor) yang melintas di jalur cepat. Sepertinya Polisi sudah mulai tegas. Padahal sebelumnya tak pernah terlihat ada razia seperti itu. Untunglah saya lolos, karena tidak jadi masuk di jalur cepat dan tetap di jalur lambat. Itulah mengapa pada malam 24 Februari, saya tetap melaju di jalur lambat, dan tidak tertarik masuk di jalur cepat, yang sebenarnya lebih lebar jalurnya.

Sementara itu, jarum indikator di speedometer menunjuk ke angka 60km/jam. GL Pro melaju kencang di jalur lambat dari arah Kuningan ke arah Ragunan. Di depan, sebuah bus Metromini ’75’ jalur Blok M – Ps. Minggu, berjalan lambat tengah mencari dan menurunkan penumpang. Hampir separuh bodinya menutupi lebar jalan di jalur lambat. Jalan saya terhalang. Emosi saya diuji. Saya pun mencoba bersabar berjalan pelan di belakangnya, sambil bersiap-siap menunggu moment untuk menyalib.

Memasuki sebuah tikungan tipis ke kiri, persis di depan kantor Dealer Nokia Mampang, kesempatan menyalib pun datang. Karena jalur lambat dan jalur cepat menyatu, dan tidak dibatasi separator. Saya bersiap menyalib. Arah belakang ditengok, aman. Dari arah depan, saya tidak mengintip. Pikir saya, menyalib kendaraan di jalan satu arah, tidak perlu mengintip ke depan lagi. Langsung hajar saja, karena toh tidak ada kendaraan dari arah berlawanan. Kecuali berada di jalan dua jalur berlawanan.

Tanpa pikir panjang, bodi motor saya goyang ke samping kanan Metromini. Gas ditarik penuh. ”BRRUUUM....,” GL Pro lincah menyalib. Separuh panjang bodi Metromini sudah berhasil dilewati. Posisi kedua ban GL Pro sudah berada di garis tengah antara jalur lambat dan jalur cepat. Tiba-tiba mendadak, di depan teronggok sebuah ujung separator yang membatasi jalur lambat dan jalur cepat. Jantung saya sepontan berdetak keras. Adrenalin saya meningkat cepat. Sepintas terpikir mau membanting setir ke arah kanan, tapi resikonya besar, karena arus kendaraan dari sebelah kanan cukup ramai dan berkecepatan tinggi. Membanting ke kiri, pasti akan membentur bodi Metromini.

Mau tak mau, rem tangan pun ditarik keras. Rem kaki diinjak dalam-dalam. Dan akhirnya... ”BRAAAAK....!!” Telat... GL Pro yang gagah itu terpental dan terseret di jalur lambat sejauh 10 meter di depan saya. Tubuh saya terlontar dan terguling, dan jatuh di jalur lambat. Kepala saya yang dilindungi helm itu membentur aspal. Tangan kanan membentur siku separator. Sikut menggesek aspal. Pinggul beradu dengan bodi motor. Motor dan saya jauh terpisah. Waktu begitu singkat. Sekejap, saya dapatkan posisi tubuh sudah tergeletak di atas aspal yang berjarak 1 meter dari separator.

Dengan sigap, otak saya yang masih sadar 100% itu meminta segera bangkit dari aspal. Kalau tidak, kendaraan yang datang dari arah belakang pasti akan melindas. Dengan sisa-sisa kekuatan, saya mencoba bangkit berdiri. Namun tak berhasil. Saya kehilangan tenaga. Tetapi perlahan-lahan saya merayap mendekati separator. Setapak demi setapak, separator akhirnya berhasil jangkau.

Dengan tenaga tersisa, saya naikkan tubuh ke atas separator. Lalu menelungkupkan tubuh di atasnya. Sesaat kemudian, saya mulai mengatur nafas dan detak jantung agar teratur. Rasa nyeri mulai muncul terasa di bagian pinggul dan tangan kanan.

Sampai 10 menit, saya masih ‘tengkurap’ di atas separator. Sampai akhirnya, seorang pria pengendara motor menghentikan kendaraannya, lalu menghampiri saya dan memberikan pertolongan. Beberapa orang warga juga ikut menghampiri.

”Mas... helmnya saya buka dulu ya... biar situ bisa bernafas...?” pinta seseorang.

Helm setengah tutup yang saya kenakan mulai dibantu dilepaskan.

”Gimana, masih bisa jalan gak mas...?” tanyanya lagi.

”Gak tau nih, kayanya tangan kanan saya patah...”

Perlahan tubuh saya mulai dibantu berdiri. Beberapa orang awalnya hendak menggotong saya. Tapi saya tolak. Saya mencoba berjalan meski dengan kaki terpincang. Sekitar 3 orang warga membantu memapah saya jalan ke arah trotoar jalan. Segelas air mineral disodorkan oleh salah seorang. Saya lalu meneguknya sembari duduk di atas trotoar. Tak lama, sekitar 20-an orang datang mengerubungi saya, melihat-lihat.

”Kenapa mas..?” tanya salah seorang.

”Iya... saya nabrak pembatas jalan. Niatnya mau nyalib Metromini dari kanan. Eh tau-tau ada pembatas jalan, dan saya gak lihat karena tidak kelihatan, mau banting ke kiri ato kanan ragu, saya sudah usahakan ngerem, tapi gak ketahan juga,” jelas saya.

”Wah, di situ memang sering banyak yang jatuh mas. Bukan mas aja. Emang posisinya di tikungan, jadi banyak orang yang nggak liat.”

Seorang berseragam Satpam menghampiri saya. ”Mas, motornya sudah saya angkat dan saya bawa masuk ke dalam parkiran hotel, biar situ nanti gak ada urusan sama Polisi,” katanya. Saya mengucapkan terimakasih kepadanya.

Saya masih tetap duduk di atas trotoar dengan kondisi yang masih shock. Saya masih tak habis pikir apa yang telah terjadi malam itu. Makian kepada diri sendiri yang ceroboh ini, terus menggumam.

Sementara itu perlahan-lahan, kerumunan orang di sekitar saya mulai menyepi. Mungkin mereka melihat kondisi luka saya nampak tak terlalu serius. Dan akhirnya hanya satu orang saja yang tetap tinggal di samping saya. Nampaknya seperti orang yang pertama kali membantu membuka helm saya. Ia adalah seorang pria pengendara motor yang kebetulan lewat dan kemudian menolong saya. Sepertinya sebaya dengan saya.

”Mas mau ke arah mana dan tinggal di mana?”

”Saya tinggal di Depok, tapi rencana mau ke Ciputat.”

“Mas, situ saya mau bantu apa..? Apakah saya antar ke rumah sakit, atau saya antar pulang ke rumah...? Boncengan naik motor Tiger saya juga boleh, atau kita naik taksi ke Depok..? kebetulan saya juga ke arah Depok,” tanyanya menawarkan bantuan.

“Oya terimakasih bung..., sebentar ya... saya cek dulu kondisi saya dan motor saya,” pinta saya dengan terbata-bata menahan sakit.

Perlahan saya bangkit berdiri dan berjalan menuju Hotel tempat motor saya yang diparkirkan oleh Satpam tadi. Hotel ini hanya berjarak 10 meter dari posisi saya jatuh. Saat berjalan, kembali rasa sakit timbul menyengat di bagian pinggul dan lutut, sehingga jalan pun menjadi tidak normal, terpincang-pincang. Terlihat, di bagian kiri pinggul ada luka memar lebam berwarna biru dengan diameter 10 cm. Lutut lecet, dan celana jeans hitam yang saya pakai juga terlihat robek di beberapa bagian.

Di bagian lain, jaket saya juga robek di lengan kanan. Saya merasa tangan kanan benar-benar telah patah. Sebab rasa nyeri dan kesemutan terus menjalar ke arah tangan kanan. Tangan kanan pun mulai tak bisa digerakkan. Sepertinya aliran darahnya mulai tersumbat. Saya teringat, sewaktu jatuh, tangan kanan mengalami benturan keras dengan siku separator.

”Oh Tuhan, semoga tidak apa-apa dengan tangan kanan ku ini,” gumam saya.

Sampai di parkiran hotel, ”Ya Tuhan,” saya terperanjat melihat bentuk GL Pro yang tadinya gagah itu kini tak lagi gagah. Kedua velg bannya sudah tak berbentuk lingkaran lagi. Velgnya meliuk-liuk bak ular menari. Lampu depan pecah. Speedometer hancur. Knalpot pengok. Dan Tanki remuk. Motor tak mungkin lagi dipaksa jalan.

Akhirnya saya putuskan menitipkan motor di parkiran Hotel kepada Satpam. Dan berjanji akan ada orang lain yang mengambilnya besok. Dengan dikawani oleh pengendara Tiger tadi, saya ambil Taksi menuju tempat dukun patah tulang terkenal di bilangan Cilandak. Ini adalah kedatangan saya yang kedua kali ke tempat ini. Setelah sebelumnya pertama kali pada tahun 1991 silam. Waktu itu pergelangan tangan kanan saya juga pernah patah akibat jatuh dari atas truk saat sedang meramaikan kampanye Pemilu salah satu partai. Luka patah yang pertama itu dapat sembuh total setelah 1 bulan. Karena mungkin tulang saya waktu itu masih muda, sehingga lebih cepat dipulihkan.

Di tengah perjalananan, di dalam Taksi, kembali saya lontarkan rasa terimakasih saya kepada pengendara Tiger.

”Waduh bung, saya terimasih banyak ini, bung sudah mau antar saya... dengan apa saya bisa membalas kebaikan bung?” ucap saya.

”Gak apa-apa mas, saya begini karena saya mau balas jasa orang lain yang pernah menolong saya sewaktu kecelakaan di Bekasi dulu. Waktu itu, malam-malam seperti ini juga saya pernah jatuh, sepi gak ada orang yang nolong. Tapi ada satu yang orang baik sama saya, lalu menolong dan mengantar saya ke Rumah Sakit. Nah sekarang saya mau balas jasa dia sama mas, saya kira mas juga harus begitu. Balasnya mungkin gak sama saya, tapi sama orang lain aja,” jawabnya datar.

Terenyuh hati mendengarnya. Betapa di zaman yang serba individualis ini, ternyata masih ada orang begitu baik seperti orang ini. Hingga kini, pernyataannya selalu saya ingat. Di dalam hati, saya berjanji akan memenuhi permintaannya untuk membalas kebaikannya kepada orang lain.

Sesampai di rumah, sudah pukul 01.30. Mata sudah lelah, tak tahan lagi untuk mengurangi rasa nyeri dengan tidur. Seperti biasa, menyaksikan berita di TV selalu menjadi teman memejamkan mata.

Dalam sebuah siaran berita di Global TV, diberitakan tentang adanya 10 orang mahasiswa Papua yang ditangkap karena membakar sebuah gedung di kawasan Kuningan. Dalam tayangannya, Seorang pria mengenakan batik tengah diwawancarai oleh wartawan dengan kapasitasnya sebagai pengacara dari 10 orang mahasiswa.

Saya baru teringat, ternyata tadi siang saya berada di sebuah kantor Polisi, dan di sana saya sempat memberikan keterangan kepada wartawan mengenai kasus yang sedang saya tangani. Dan kini malamnya, saya terbaring mengerang kesakitan. Sungguh, sesuatu yang tidak dapat dipercaya, tapi terjadi. Siang ’masuk TV,’ malam ’masuk perawatan’.


KECELAKAAN di malam itu akhirnya diketahui, hasil rontgen menunjukkan tulang ulna (tulang lengan bawah) saya patah. Atau istilah medisnya ”fracture des ulna 3/4 distal.” Arti teksnya saya kurang tahu. Tapi tafsiran bebasnya, tulang ulna saya mengalami patah dan terjadi pergeseran posisi sebanyak 3/4. Dokter orthopedi di Depok menyarankan saya untuk menjalani operasi pemasangan pen. Tapi setelah mendengar banyak pertimbangan dari banyak kawan dan keluarga, saya pilih pengobatan alternatif, dukun patah tulang. Tujuannya agar masa penyembuhannya lebih cepat, ketimbang cara medis yang bisa makan waktu 1 tahun lebih.

Sejak saat itu, semua aktivitas saya terhenti. Kondisi tangan kanan yang luka patah dan disertai pembengkakan, membuat saya tidak bisa melakukan aktivitas secara leluasa. Termasuk naik motor. Akhirnya, hari-hari saya selama 2 bulan lebih, dihabiskan hanya di rumah saja. Ini menjadi rutinitas baru yang amat menjumudkan. Izin istirahat terpaksa saya ajukan ke kantor.

Waktu istirahat, benar-benar dimaksimalkan untuk penyembuhan dan pemulihan. Selama 2 bulan itu, 7 kali saya mendatangi dukun patah di Cilandak. Sampai satu bulan, hasilnya belum memuaskan. Tangan kanan belum menunjukkan kemajuan. Bunda meminta saya agar bersabar. Tetapi saya tak sabar. Dan saya putuskan untuk cari alternatif berobat di tempat lain. Sekian banyak kawan saya hubungi. Akhirnya dipilihlah Bandung sebagai target. Tepatnya di daerah Ciparay. Seorang kawan lama yang tinggal di Bandung merekomendasikannya dan bersedia mengantar saya ke sana.

Dengan keadaan tangan kanan masih dibalut perban, dan belum bisa banyak digerakkan, saya berangkat sendiri ke Bandung dengan menumpang bus umum. Padahal banyak tawaran datang untuk mengantar dan menemani ke Bandung. Prinsip saya yang tak mau merepotkan orang lain, membuat saya mengabaikan tawaran itu. Pulang dari Bandung, hasilnya cukup positiv. Ada perubahan. Tangan kanan sudah bisa melakukan beberapa ’manuver,’ meski belum sempurna 100%.


PROSES penyembuhan yang saya jalani adalah masa-masa krisis. Ketidakyakinan akan kesembuhan terus menghantui pikiran, dan selalu membuat gelisah. Apalagi tekanan pyikis, amat kuat menghujam. Sehingga makian kepada diri sendiri dan mengutuk nasib terus merapal di bibir. Yang paling berat adalah melawan tekanan pisik. Karena tugas-tugas si tangan kanan, terpaksa harus diambil alih oleh si tangan kiri dalam melewati hari-hari.

Syukurlah, dukungan keluarga dan kawan-kawan yang datang menjenguk, membuat saya dapat mengolah proses ini secara rohani dengan baik. Terutama Bunda. Ia tidak bosan-bosannya memberikan semangat. Katanya, Tuhan itu punya banyak cara untuk mengangkat derajat hambanya. Nah, memberikan ujian dan cobaan dengan musibah adalah salah satu caranya.

Ya memang, sudah sepatutnya saya harus bersyukur. Mestinya, kecelakaan di Buncit itu, sudah cukup untuk merenggut nyawa saya. Tapi Tuhan memang maha besar. Di tangannya, ia selamatkan hidup saya.

Di kala musibah sedang membekap, beruntunglah, pada 10 Maret 2006 lalu, sebuah pengumuman membuat saya menjadi sadar betapa rasa syukur harus dipanjatkan kembali kepada Tuhan. Di hari itu, Perhimpunan Advokat Indonesia (biasa disebut PERADI) mengumumkan nama-nama peserta yang lulus dalam Ujian Advokat (Pengacara) pada 4 Februari lalu. Tiga minggu sebelum kecelakaan menimpa, bersama 6000-an orang peserta di seluruh Indonesia, saya mengikuti ujian calon advokat. Dalam pengumuman itu, nama saya tercantum. Berita ini sedikit membantu mengurangi tekanan pyikis yang tengah saya hadapi.

Bisa dibayangkan, bagaimana seandainya kalau musibah ini terjadi sebelum ujian advokat dilaksanakan. Tentu masalah besar. Karena tangan kanan saya tidak akan mampu menulis. Padahal ujian itu adalah salah satu taruhan masa depan.

Kini, kondisi tangan kanan mulai membaik, meski belum bisa difungsikan maksimal mengangkat benda-benda berat. Awal Mei lalu, aktivitas harian mulai kembali dijalani seperti biasa. Saya mulai kembali masuk kantor. Untuk mobilitas, saya terpaksa mengunakan angkutan umum, karena si tangan kanan ini belum cukup kuat memegang setang motor.

Dan baru di akhir Juni, GL Pro yang babak belur itu, mulai saya persolek dan akhirnya kembali bisa ditunggangi. Senyum menghias lagi. Bisa mengendarai motor kembali, adalah kebahagiaan tersendiri yang tak tergantikan. Begitu pun juga dengan Senar gitar yang sudah bisa saya petik dengan lincah. Sehingga alunan suara gitar yang saya mainkan, kembali dapat menjadi teman mesra dalam kesepian mengisi masa lajang. Ehem... %^$(&*%$#.


DARI cerita ini semua, tidak ada maksud saya untuk mencari empati orang lain. Tulisan ini hanya untuk menyampaikan bahwa ada pesan moral dibalik cerita ini. Karena banyak pelajaran dan hikmah yang dapatkan dikemukakan. pertama, tentu saya belajar bagaimana mensyukuri nikmat Tuhan. Musibah ini, menyadarkan betul, betapa memiliki organ tubuh yang dapat berfungsi dengan baik, adalah suatu nikmat yang tiada taranya. Dan karenanya patut disyukuri dan dirawat sebaik mungkin.

Bisa dibayangkan, tidak berfungsinya tangan kanan dalam jangka waktu lama (hampir 3 bulan), membuat tangan kiri terpaksa mengambil-alih semua tugas-tugas si tangan kanan. Dan betapa repot luar biasanya si tangan kiri melaksanakan kerja-kerja yang biasa dilakukan si tangan kanan, dan tidak biasa dilakukan oleh tangan kiri. Keadaan ini menguatkan empati saya kepada orang-orang yang nasibnya tidak seberuntung saya. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya orang-orang yang kehilangan anggota tubuhnya dalam menjalani hari-harinya.

Sebagai wujud rasa syukur, relasi dengan Yang Maha Kuat mulai saya perbaiki. Sebelumnya, relasi formalitas kering yang dijalani, saya coba ubah agar lebih bermakna dan lebih kontemplatif. Berbagi kasih kepada yang papa juga bagian yang tak ingin terlewatkan.

Pelajaran kedua, adalah saya mulai mengubah cara prilaku dalam mengendarai motor. Selama ini, karakter naik motor saya termasuk pengendara yang ’sopan’. Tetapi, terkadang situasi di jalan, emosi saya mudah terpancing oleh prilaku dari pengendara lain. Dalam situasi emosi itu, kehati-hatian dan akal sehat bisa menjadi hilang. Ini yang terjadi pada malam 24 Februari lalu. Sikap supir Metromini yang tidak memberi jalan, akhirnya membuat emosi menguap. Dan akhirnya, terjadilah. Sikap kesabaran dan kerendah-hatian dalam mengendara sangat penting. Kini saatnya berusaha belajar menjalaninya.

Dan pelajaran ketiga, membantu orang lain adalah karma. Yaitu budi baik yang harus kita tanam kepada siapa saja agar kita juga mendapat kebaikan di suatu hari nanti. Tanpa melihat latarbelakangnya apa, seorang yang mesti ditolong, haruslah ditolong dengan tenaga kita yang paling maksimal. Balasan kebaikan yang kita berikan, jangan pernah kita harapkan balasannya saat itu juga. Tetapi harus difahami ada balasan dalam bentuk lain, di waktu lain, dan dalam situasi di mana kita ternyata membutuhkan kebaikan orang lain.

Selama kita dalam kondisi bisa membantu dan menolong orang lain, kenapa toh tidak kita segera lakukan. Kita juga manusia mahluk yang lemah. Mahluk yang suatu saat juga membutuhkan pertolongan orang lain. Dan sejak kejadian itu, ketika menjumpai orang-orang yang mendapatkan kecelakaan di jalan, saya mulai memarkir motor saya dipinggir jalan. Lalu membantu mereka secara maksimal mungkin. Meski melihat darah dan luka adalah sesuatu pemandangan yang sebelumnya sering saya hindari dari penglihatan, namun demi kemanusiaan, hal itu harus saya kesampingkan.

Akhirnya, ”Ya Allah ya Tuhan kami... Engkau Maha Pelindung, lindungi kami dari marabahaya...”

Depok, 30 September 2006