Pagi itu, dunia masih diselimuti kegelapan, meskipun ayam sudah berkokok dengan semangatnya, seolah mengabaikan kenyataan bahwa matahari belum juga menampakkan wajahnya. Dalam suasana yang sepi dan dingin ini, aku berjuang sekuat tenaga untuk bangkit dari tidur yang penuh mimpi buruk. Dengan gerakan yang lebih mirip pertarungan, akhirnya aku berhasil berwudhu dan berdiri di atas sajadah. Shalat Subuh, yang penuh khusuk, terasa seperti dialog intim dengan Tuhan, di mana air mata tak tertahan mengalir deras, menetes seperti hujan yang jatuh tak terduga.
Hari itu, Selasa pagi, 26 Juni 2007, menjadi hari yang menandai perjalanan emosional yang mendalam. Dalam doa usai shalat, aku memohon ampunan Tuhan atas segala dosa dan merengek agar penyakit yang menimpa tubuhku segera diangkat. Penyakit yang kuceritakan ini adalah malaria—musuh tak kasat mata yang telah membuatku menangis dalam doa dengan intensitas yang belum pernah kukenal sebelumnya.
Segalanya dimulai pada malam gelap di Makassar, 7 Juni pukul 00.00. Tubuhku mulai menggigil seperti sedang dirudung es, namun pagi harinya suhu tubuh kembali normal. Keesokan malamnya, serangan panas dingin kembali datang, dan paracetamol menjadi senjata yang tak cukup kuat. Jumat 8 Juni, panas dingin datang kembali, kali ini diikuti mual dan kehilangan selera makan yang membuatku merasa seperti baru saja dikhianati oleh perutku sendiri.
Sempat bersyukur karena seorang sahabat baik di Makassar mengizinkan aku beristirahat di kamarnya sebelum aku harus kembali ke Jakarta pada sore harinya. Namun, perjalanan pulang ke Jakarta di bandara Hasanuddin dan pesawat penuh dengan drama muntah-muntah yang menjadikannya sebagai penerbangan paling menderita dalam sejarah penerbanganku. Di rumah, muntah-muntah itu terus berlanjut, seolah aku telah menelan racun yang meracuni seluruh tubuhku.
Sabtu pagi, 8 Juni 2007, aku terpaksa mencari bantuan medis. Diagnosis awal adalah maag—sebuah vonis yang tidak terlalu mengkhawatirkan. Namun, pada hari Senin, tubuhku kembali normal, dan pada Selasa dini hari, gejala mual dan panas dingin datang lagi dengan intensitas yang mengerikan. Rabu sore, 13 Juni, aku kembali ke dokter dengan hasil tes darah yang menunjukkan DBD (Demam Berdarah Dengue). Trombositku hanya 44.000 ml, jauh di bawah normal, dan dokter menyarankan rawat inap segera.
Hari-hari berlalu di rumah sakit, lima malam penuh ketidaknyamanan dan infus pertama dalam hidupku. Dokter akhirnya mengizinkan pulang pada 18 Juni, dengan harapan trombositku membaik. Namun, kebahagiaan itu singkat. Dua hari kemudian, demam kembali datang, disertai mual, muntah, dan kepala yang terasa berat seperti memikul beban dunia.
Senin, 24 Juni, aku kembali ke dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut. Kali ini, aku meminta penelitan khusus untuk malaria. Hasilnya, seperti yang aku duga, ditemukan parasit Plasmodium Falciparum alias malaria tropika. Mendengar berita ini, wajahku pucat seolah baru saja mendengar vonis akhir dari Tuhan.
Tak membuang waktu, aku langsung menelan tiga tablet Fansidar dan meminum air rebusan daun pepaya yang pahitnya seperti ujian kesabaran. Alhamdulillah, kondisi mulai membaik. Namun, pengalaman ini tetap meninggalkan bekas yang mendalam.
---------
Apa itu malaria?
Malaria adalah penyakit yang sangat eksotis dan misterius. Ia datang dari gigitan nyamuk Anopheles betina dan membawa empat jenis parasit yang bersaing untuk perhatian tubuh manusia. Di antaranya:
- Plasmodium Falciparum: Malaria Tropika—yang paling ganas dari semuanya.
- Plasmodium vivax: Malaria Tertiana—masih terhitung meriah.
- Plasmodium malariae: Malaria Quartana—cukup bersahaja.
- Plasmodium ovale: Malaria yang lebih sering hadir di Afrika.
Gejala malaria tropika bisa bikin pusing tujuh keliling: badan lemas, pucat, mual, muntah, sakit kepala, diare, dan melewati fase-fase klasik yang menggoda: dingin, demam, dan keringat. Penyakit ini dapat merusak fungsi darah, dan jika dibiarkan, bisa mengganggu jantung dan otak—dan akhirnya, sepertinya, membawa kita ke ujung jalan.
------
Malam itu dingin menusuk. Bukan dingin biasa, tapi gigil yang datang dari dalam tubuh, seolah tulang-tulangku sendiri yang menggigil, menjerit meminta kehangatan. Malaria, sang penguasa sunyi yang tak terlihat, kembali menyergapku tanpa ampun. Setiap kali datang, ia tidak pernah menunggu, tak memberi tanda peringatan. Seketika tubuh ini panas membara, kepala berat bagai tertimpa beban tak kasat mata, mual memanjat perlahan, hingga akhirnya muntah-muntah tanpa ampun. Saat itu, hidup rasanya seperti berjalan di ujung jurang. Aku hanya ingin menyerah, meraih kematian sebagai pelarian.
Satu bulan berlalu, dan dua kali aku tergeletak di ranjang rumah sakit. Terakhir, 18 Juli. Hari itu aku menyerah lagi pada tubuhku sendiri, terpaksa membiarkan dokter St. Carolus mencatat namaku di daftar pasien inap. Lima malam aku terperangkap di sana, hingga akhirnya pada 23 Juli, aku terbebas. Bukan kebebasan yang disambut dengan suka cita, namun kelegaan karena setidaknya malam-malam panjang penuh derita itu berlalu.
Di rumah sakit, tidak ada yang bisa dinikmati. Segala sesuatu terasa serba asing, dingin, dan jauh dari keakraban. Makanan yang dihidangkan di depanku? Jangan ditanya. Setiap suapan terasa seolah aku harus berkompromi dengan perut yang memberontak. Tidak ada yang mudah ketika tubuh menolak kenyamanan, hanya rasa kapok yang membekas di hatiku. Kapok yang dalam, yang membuatku berjanji pada diri sendiri, aku tak mau lagi menginjakkan kaki di sana, di ruang yang penuh dengan bau obat dan dinding putih yang membatasi kebebasan.
Ah, Papua... Nama itu kini hanya terngiang sebagai kenangan yang penuh amarah. Malaria ini, penyakit tak terlihat namun begitu kuat mencengkeram, telah membuatku jera. Jera untuk kembali ke tanah itu dalam waktu yang lama. Malaria bukan hanya menggerogoti tubuhku, tapi juga mencuri mimpi dan kebebasan yang pernah kutemukan di sana.
Di tengah kepasrahan ini, aku hanya bisa memanjatkan doa. "Ya Allah, lindungi dan sembuhkan hamba-Mu ini dari segala penyakit." Sebuah bisikan lirih dari hati yang berharap, meski lemah, masih ada kekuatan untuk melawan hari esok.
Jadi, begitulah perjalanan dramatis yang kujalani saat malaria datang menggedor tubuhku. Semoga cerita ini memberikan gambaran yang cukup untuk tidak ingin merasakannya sendiri. Terima kasih untuk semua yang telah menunjukkan perhatian dan dukungan selama masa-masa sulit ini. Dan terima kasih khusus untuk sahabatku di Makassar yang telah menjadi oase di tengah padang pasir penyakit ini.
No comments:
Post a Comment